Berharap Ada Efek Jera, Perppu Kebiri Resmi Diberlakukan

Budiansyah (tengah) pelaku pembunuhan dan pemerkosaan anak dibawah umur, bersama pelaku kriminal lainnya digelandang saat gelar perkara di Mapolres, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (11/5). Korban pemerkosaan anak dan pembunuhan  berniinisial LN (2,5) diperkosa dan dibunuh oleh Budiansyah (26), pada (8/5/2016) di Kampung Pabuaran Tonggoh RT 03/05 Desa Girimulya Cibungbulang Kabupaten Bogor, sehingga pelaku dituntut pidana UU perlindungan anak pasal 339 Kuhp dan pasal 351 ayat 3 Kuhp dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara. ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya/ama/16 *** Local Caption *** Budiansyah (26) (tengah) pelaku pembunuhan dan pemerkosaan anak dibawah umur digelandang saat gelar perkara di Mapolres, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (11/5)
Budiansyah (tengah) pelaku pembunuhan dan pemerkosaan anak dibawah umur, bersama pelaku kriminal lainnya digelandang saat gelar perkara di Mapolres, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (11/5). Korban pemerkosaan anak dan pembunuhan berniinisial LN (2,5) diperkosa dan dibunuh oleh Budiansyah (26), pada (8/5/2016) di Kampung Pabuaran Tonggoh RT 03/05 Desa Girimulya Cibungbulang Kabupaten Bogor, sehingga pelaku dituntut pidana UU perlindungan anak pasal 339 Kuhp dan pasal 351 ayat 3 Kuhp dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara. ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya/ama/16 *** Local Caption *** Budiansyah (26) (tengah) pelaku pembunuhan dan pemerkosaan anak dibawah umur digelandang saat gelar perkara di Mapolres, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (11/5)

“Saya baru saja me­nan­datangani Perppu No. 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,” kata Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu, 25 Mei 2016.

Presiden mengatakan, pe­merintah telah menetapkan ke­jahatan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa. Sebab, kejahatan itu dapat me­ngancam dan membahayakan jiwa anak. Untuk itu, dalam Perppu diatur mengenai pidana pemberatan, pidana tambahan, dan tindakan lain bagi pelaku.

Pemberatan pidana berupa tambahan pidana sepertiga dari ancaman penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun. Selain itu, ancaman hukuman seumur hidup dan hukuman mati pun masuk dalam pemberatan pidana.

Selanjutnya, untuk tambahan pidana yang diatur ialah pe­ngumuman identitas pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan alat deteksi elektronik. “Agar menimbulkan efek jera terhadap pelaku,” dia menegaskan.

Juru Bicara Presiden, Johan Budi mengatakan, Perppu Kebiri merupakan respons pemerintah terkait maraknya kasus kejahatan seksual, khususnya yang menimpa anak. “Artinya bahwa kejadian-kejadian itu bisa jadi karena punishment-nya belum berat. Dan itu direspons Presiden dan terbitlah perppu,” ujarnya.

Sekretaris Menteri Pem­berdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Wahyu Hartomo mengatakan, kasus kekerasan seksual seperti fenomena gunung es. Untuk itu ia berharap, dengan dikeluarkan perppu akan menciptakan efek jera bagi pelaku. “Ini kuncinya di aparat penegak hukum, karena ini sudah kuat. Kalau seumur hidup atau mati, ya harus maksimal,” ujarnya.

Menteri Koordinator Pem­bangunan Manusia dan Ke­budayaan, Puan Maharani mengatakan, beleid yang baru saja diteken Presiden tersebut merupakan komitmen kepala negara dan pemerintah bahwa tindak pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan luar biasa.

“Kekerasan itu hukumannya harus bisa memberikan efek jera.” Namun, asumsi itu dibantah sejumlah aktivis perempuan. Latiefah misalnya. Menurut dia, kebiri dan hukuman mati tak akan efektif dan tidak bisa memberi efek jera kepada pelaku. Sebab, kekerasan seksual bisa terjadi dengan cara apa pun.

Menurut dia, perkosaan bisa dengan bagian tubuh mana pun. “Jadi, kebiri bukan hukuman yang pas bagi pelaku,” ujarnya. Selain itu, kebiri dan hukuman mati akan memperbesar ruang intimidasi bagi korban.

Karena, ketika korban perkosaan mau melapor, bisa saja keluarga pelaku mengintimidasi korban karena tak ingin pelaku mendapatkan hukuman. “Lalu, kalau pelakunya orang terdekat korban. Misalnya ayah. Dia semakin ragu melaporkan karena takut ayahnya dihukum mati,” dia menambahkan.

Penolakan juga disampaikan Misiyah. Ia sepakat pelaku ke­jahatan seksual dihukum berat, namun bukan dengan dikebiri. “Tak setuju dengan kebiri. Setuju dengan hukuman seberat-beratnya, namun tidak melanggar HAM,” ia menegaskan.

Azriana mengatakan, se­be­narnya tidak ada yang baru dalam perppu tersebut, kecuali kebiri dan pemasangan chip. Menurut dia, di dalam undang-undang, hukuman bagi pelaku kejahatan seksual sebenarnya sudah berat. Namun, implementasinya yang ringan.

Menurut dia, hukuman kebiri masuk ke dalam hukuman yang dilarang. Sebab, Indonesia sudah meratifikasi konvensi anti penyiksaan. “Hukuman mati dan kebiri dianggap kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan. Kita tidak perlu hukuman kebiri kalau kita serius tegakkan hukuman yang sudah ada.”

Arist Merdeka Sirait me­nga­takan hukuman kebiri dan suntik kimia akan membuat pelaku kejahatan seksual jera. Pendapat berbeda disampaikan Arist Merdeka Sirait. Menurut dia, saat ini hukuman bagi pelaku kejahatan seksual masih ringan, sehingga tak menimbulkan efek jera. Untuk itu, ia menyambut baik terbitnya Perppu Kebiri. “Hukuman kebiri dan suntik kimia saya rasa akan membuat mereka jera,” ujar Arist.

KPAI juga mendukung lang­kah Presiden. Wakil Ketua KPAI, Susanto mengatakan, Presiden melakukan langkah tepat dengan mengeluarkan perppu, me­ngingat kejahatan seksual anak merupakan kejahatan luar biasa. Kejahatan ini mengancam dan membahayakan jiwa serta tumbuh kembang anak. Bahkan mengancam kemanusiaan.

“Perppu ini menemukan urgensinya untuk mengatasi ke­gentingan atas fenomena ke­jahatan seksual terhadap anak yang semakin meningkat si­gnifikan. Tentu tidak fair kalau korbannya meninggal, dimutilasi, pelaku hanya dihukum 15 tahun, atau 20 tahun.”

Mengedepankan Pencegahan
Latiefah mengatakan, pe­merintah seharusnya tak melulu bicara penindakan, namun abai terhadap pencegahan. Menurut dia, salah satu bentuk pencegahan adalah dengan menjelaskan apa saja bentuk kekerasan seksual dan pencegahannya.

Selain itu, harus mem­per­hatikan soal rehabilitasi. “Karena pidana penjara tidak cukup me­ngubah kesadaran pelaku dan mayoritas masyarakat. Karena korban perkosaan justru kerap disalahkan,” ujarnya.

Selain itu, masyarakat diminta tak lagi menghakimi perempuan dan tak memandang perempuan sebagai objek seksual. “Harus ada pendidikan seksualitas yang berkeadilan gender.”
Sementara itu, menurut Misiyah, yang pertama dilakukan adalah memberikan perlindungan hukum yang kuat dengan me­ngesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan merevisi pasal-pasal di KUHP yang me­lemahkan korban.

“Hapus peraturan-peraturan yang mendiskriminasi perempuan,” ujarnya. Kedua, mengefektifkan layanan korban untuk pencegahan, penanganan, pemulihan korban yang peka terhadap situasi korban. Ketiga, memberikan pendidikan publik untuk membangun ke­sadaran terhadap masalah ke­jahatan seksual, baik yang terintegrasi dalam kurikulum se­kolah formal maupun dalam pendidikan masyarakat di luar sekolah.

Wahyu mengklaim, sambil menunggu pelaksanaan perppu, KPPPA terus meningkatkan upaya pencegahan. Salah satunya dengan melatih jaksa agar peduli dan memihak anak. Selain itu, KPPPA akan melatih satgas provinsi untuk menangani korban dan pendampingan.

“Maunya kita ada gerakan nasional, seluruh lapisan. Karena ini sudah luar biasa kegentingannya. Pencegahan dan pelayanan kita kuatkan. Kita kuatkan kelembagaan Satgas dan kerja sama dengan unit pelayanan perempuan dan anak,” tuturnya.

Menurut Azriana, kasus ke­kerasan seksual tak bisa di­tangani secara parsial. Selain mengedukasi publik terkait per­lindungan, penanganan dan pencegahan, pemerintah harus memastikan penegakan hukum terhadap pelaku berjalan seoptimal mungkin. Apalagi jika pelakunya adalah orang-orang yang punya jabatan dan berkuasa. “Selain optimalisasi penegakan hukum juga harus dikuatkan upaya pemulihan korban,” ujarnya.

Pemerintah juga diminta men­yiapkan regulasi yang bisa me­lindungi perempuan dan anak dari kekerasan seksual. Sebab, regulasi yang ada belum menjawab ke­butuhan. “Regulasi bukan hanya soal penghukuman apalagi melanggar HAM. Tapi regulasi yang bisa memastikan korban mudah men­dapatkan akses terhadap pemulihan,” katanya. (vn)

Close Ads X
Close Ads X