4 WNI Sandera Abu Sayyaf Bebas | Kerap Diancam Penggal, Ditembak dan Diikat Bersama

Menlu Retno Marsudi (kedua kanan) didampingi empat anak buah kapal (ABK) berwarganegaraan Indonesia memberikan keterangan setibanya di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (13/5). Sebanyak empat (ABK) Kapal Henry tersebut akhirnya dibebaskan setelah disandera kelompok militan Abu Sayyaf sejak 15 Maret lalu. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/aww/16.
Menlu Retno Marsudi (kedua kanan) didampingi empat anak buah kapal (ABK) berwarganegaraan Indonesia memberikan keterangan setibanya di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (13/5). Sebanyak empat (ABK) Kapal Henry tersebut akhirnya dibebaskan setelah disandera kelompok militan Abu Sayyaf sejak 15 Maret lalu. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/aww/16.

Jakarta | Jurnal Asia
Empat Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi sandera kelompok teroris Abu Sayyaf, di Filipina Selatan akhirnya bebas tanpa tebusan. Mereka kembali ke tanah air pasca 28 hari ditawan. Sepanjang berada di pedalaman hutan rimba, seluruh korban menjadi sasaran penganiayaan serta diancam akan dipenggal.

Meski demikian, peristiwa mendebarkan tersebut bisa diselesaikan pasca negosiasi panjang. Jumat (13/5) pagi, keempat korban tiba kembali di Indonesia. Pe­merintah Indonesia melalui Ke­menterian Luar Negeri menye­rahkan kepada keluarga empat warga negara Indonesia (WNI) anak buah kapal (ABK), yang sebelumnya disandera kelompok bersenjata Abu Sayyaf di Filipina Selatan.

“Pada sore ini Pemerintah Republik Indonesia dapat menye­rahkan kepada keluarga empat anak buah kapal warga Indonesia yang disa­ndera kelompok bersenjata di Fili­pina selatan sejak tanggal 15 April,” kata Menteri Luar Negeri RI Ret­­no LP Marsudi di Jakarta, Jumat sore.

Keempat WNI yang telah berhasil dibebaskan tersebut adalah Moch Aryani (master) asal Bekasi Timur, Jawa Barat, Loren Marinus Petrus Rumawi (chief officer) asal Sorong, Papua Barat, Dede Irfan Hilmi (second officer) asal Ciamis, Jawa Barat, dan Samsir (anak buah kapal) asal Kota Palopo, Sulawesi Selatan. “Pemerintah Indonesia sudah memberikan perhatian yang sangat besar terhadap upaya pembebasan keempat ABK WNI ini,” ujar Menlu Retno.

Keempat WNI tersebut meru­pakan Anak Buah Kapal (ABK) tugboat bernama Kapal Henry milik perusahaan PT Global Trans-Energy International. Menurut Menlu RI, keempat ABK itu juga telah menjalani pemeriksaan kesehatan di rumah sakit dan telah dinyatakan sehat. “Saya telah melakukan pembicaraan dengan wakil dari perusahaan untuk memastikan hak-hak para ABK ini dipenuhi sesuai peraturan perusahaan,” kata dia.

Pada kesempatan itu, Menlu Retno mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang terlibat dalam proses pembebasan keempat ABK WNI. “Saya mengucapkan terimakasih atas kerja sama semua pihak, termasuk TNI. Begitu saudara-saudara kita ini sudah selamat, saya juga telah menghubungi Menlu Filipina untuk menyampaikan terimakasih atas kerja sama pemerintah Filipina dalam proses pembebasan,” ujar dia.

Sebelumnya diketahui, perompakan terjadi pada 15 April lalu sekitar pukul 18.30 Wita di perairan Filipina. Saat itu, ada lima pria bercadar dengan pakaian loreng-loreng yang membawa senjata api mendekati kapal tunda Henry. Mereka menggunakan kapal kecil yang juga berwarna loreng-loreng seperti tentara. Bahkan sepuluh ABK sempat melakukan perlawanan dengan perlengkapan seadanya. Namun, para ABK akhirnya menyerah karena sudah ada satu rekannya yang tertembak.

Diancam Gorok
Namun, di balik berita bahagia itu, Samsir salah satu ABK mengaku tidak akan melupakan kejadian tersebut. Dia pun hingga saat ini masih tidak percaya bisa bebas dan berkumpul dengan keluarganya kembali.

Betapa tidak, saat disandera kelompok Abu Sayyaf, ia sudah menyerahkan hidupnya kepada Sang Khalik. Sebab, sering kali kelompok Abu Sayyaf mengancam akan membunuh empat ABK jika pemerintah Indonesia tidak membayar tebusan.

“Ada ancaman, kalau tebusan tidak dituruti, kami dikasih lihat video akan seperti ini. (Isi videonya) digorok,” ucap dia dengan suara tersendak. Menurutnya, isi video itu adalah korban-korban terdahulu yang tidak ditebus oleh negaranya. Hal serupa akan terjadi kepada empat ABK jika uang tebusan tidak diberikan.

Selain itu, hal yang membuat Samsir dan rekannya pasrah adalah seringnya para penyandera memperlakukan mereka dengan kasar. “Kami terima kekerasan misal karena terlambat jalan terus ditendang. Yang ngawal sekitar 20 lebih nodong senjata,” bebernya.

Bahkan selama 28 hari menjadi sandera kelompok Abu Sayyaf, empat anak buah kapal (ABK) TB Henry kerap mendapat kekerasan. Samsir mengaku setiap siang hari, ia beserta rekan-rekannya diikat oleh penyandera di pohon-pohon hutan Pulau Zulu. “Selama di sana diikat pake tali di satu pohon. Diikat berempat mengelilingi pohon,” ungkap dia.

Para penyandera hanya melepas ikatan itu, ketika saat waktu buang hajat, makan, dan beribadah. Selain itu, tali akan dilepas saat malam tiba. Sebab, mereka harus berjalan berpindah-pindah tempat guna menghindari militer Filipina.

Samsir menceritakan, di antara rekan-rekannya itu, Loren lah yang paling lemah. Para penyandera yang menurut dia berjumlah 20 orang dan bersenjata lengkap, kerap memberlakukan Loren dengan semena-mena. “Ada teman satu, Loren. Dia sering terima kekerasan misal karena terlambat jalan dan ditendang. Sebab, kami selalu pindah lokasi setiap malam,” tandasnya.

Peran Filipina
Terkait aksi pembebasan sandera, Menhan Ryamizard Ryacudu menyebut banyak peran Filipina kali ini. “Itu diplomasi lebih banyak bantuan Filipina. Kita ada juga di sana. Pak Kivlan dulu juga sempat tugas di sana sih, misi perdamaian keamanan, kenal dengan Nur Misuari. Tetapi kemarin, dia enggak kenal. Nur dan Abu Sayyaf kan lain,” kata Menhan di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Jumat (13/5).

Ryamizard menegaskan tak ada tebusan yang dibayarkan pemerintah dalam pembebasan WNI. Tetapi dia mengaku tak tahu apabila ada pihak swasta atau pun Filipina yang membayar tebusan.
“Terserah swasta, kalau Filipina terserah,” sebut Menhan.

Meski banyak peran Filipina, bukan berarti TNI tak berkontribusi. TNI tetap siaga apabila dibutuhkan bantuannya. “Tapi kan tetap masuk (wilayah Filipina) enggak boleh, kita juga enggak mau kalau enggak ada izinnya. Kita enggak masuk juga,” ujar dia. (ant/dtc/kcm)

Close Ads X
Close Ads X