Keberagaman Budaya Bantu Wujudkan Geopark Kaldera Toba

Medan | Jurnal Asia
Dalam konteks mendukung pembangunan wisata nasional di kawasan Danau Toba masuk Global Geopark Network (GGN) Unesco, keberagaman budaya khususnya di kawasan tersebut menjadi salah satu unsur penting. Keberagaman budaya ini diharapkan menjadi salah satu penarik bagi dunia luar.
Demikian dikatakan Pembina RE Foundation, RE Nainggolan di sela-sela kegiatan diskusi terfokus “Danau Toba Apa Kabarmu” di Medan, Kamis (25/9).
Ia melanjutkan, Geopark ini merupakan menejemen kawasan dengan daya tarik wisata yang mencakup Geologi, Biologi,Sosial, Budaya dan Pariwisata. Di kawasan Danau ini akan menjadi destinasi wisata bertaraf internasional.
“Jika kita berbicara keberagamaan budaya, kita memiliki kebudayaan yang luar biasa dengan adat istiadat yang sangat banyak. Konsep keberagaman kebudayaan ini diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat, di mana budaya yang beragam akan menarik wisatawan asing khusunya di wilayah Kaldera Toba,” ujarnya.
Untuk itu, lanjutnya, ia meminta pemerintahan Sumatera Utara segera mengusulkan kepada Unesco bahwa wilayah Danau Toba menjadi wilayah Geopark. Mengingat, di daerah tersebut sudah memiliki sejumlah unsur penting menjadi wilayah Geopark.
“Kita menyakini, Pemerintah provinsi Sumatera Utara akan konsen dalam mewujudkan Geopark Kaldera Toba. Baik itu dari segi infrastukturnya, SDM dan lainnya, karena hal tersebut akan memberikan manfaat yang besar untuk Sumut,” tandasnya.
Salah satu negara yang sukses dengan Geopark, kata dia, ialah Tiongkok. Tiongkok adalah salah satu pemiliki situs GGN terbanyak di dunia, sekaligus yang paling sukses mengelolanya, baik dalam perspektif lingkungan hidup, sosial, budaya, dan terutama sekali ekonomi.
Sementara salah satu sumber dalam diskusi tersebut, Budayawan Toba, JP Sitanggang mengatakan, kehidupan orang Batak Toba akan tetap mengamalkan ajaran-ajaran adat istiadat Batak walaupun dia memeluk agama kristen. Kebatakannya lebih kuat bahkan dalam situasi tertentu bisa lebih kuat dibanding kekristenannya.
“Orang Batak seakan-akan memiliki terowong waktu yang dilalui secara leluasa. Seorang Batak penganut kristen, ilmuan, pejabat tinggi, padanya akan sirna jika dia memasuki terowong waktu menuju alam animism. Di sana sang tokoh tampil sebagai pemeran upacara tradisi leluhur yang sakral walaupun tak sesuai dengan agama yang dianut,” ujarnya.
(netty guslina)

Close Ads X
Close Ads X