Separuh Guru Besar Berstatus tak Aktif

Jakarta – Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) menyatakan separuh guru besar di Tanah Air berstatus tidak aktif karena menjabat di tempat lain.

“Jumlah guru besar kita mencapai 5.200, namun sebagian besar tidak aktif karena bertugas di tempat lain. Akibatnya mereka tidak bisa menyumbangkan tulisan untuk jurnal ilmiah,” ujar Sekretaris Jenderal Kemristekdikti Ainun Naim, kemarin.

Para guru besar yang bertugas di instansi lain tersebut, tidak mempunyai kewajiban untuk menulis jurnal internasional sesuai dengan Permenristekdikti 20/2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor.

Dalam Permenristekdikti tersebut dijelaskan lektor kepala harus menghasilkan sedikitnya tiga karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal nasional terakreditasi, dan satu karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional, paten, atau karya seni monumental/desain monumental.

Lektor kepala yang tak dapat memenuhi karya ilmiah tersebut, dihentikan sementara tunjangan profesinya. Hal serupa juga berlaku untuk para profesor. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan publikasi ilmiah .

Ainun mengatakan ada kecenderungan dosen lebih suka mengajar dibandingkan menulis karya ilmiah. Untuk meningkatkan produktivitas dosen tersebut, pihaknya juga akan mengoptimalkan mahasiswa pascasarjana yang terdiri dari 21.600 mahasiswa doktoral dan 239 ribu mahasiswa pascasarjana.

“Kami harapkan dengan upaya-upaya ini, jumlah publikasi ilmiah turut naik,” ujar dia.

Pada 2016, jumlah jurnal internasional Indonesia yang mencapai 9.000 penelitian masih kalah jauh dari Malaysia, Singapura dan Thailand. Malaysia mampu menghasilkan sebanyak 23 ribu, Singapura 17 ribu, dan Thailand 13 ribu penelitian.

Sementara itu Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) M Nasir juga pernah mengultimatum seluruh profesor di perguruan tinggi Indonesia.

Ia mengancam akan me­nang­guhkan tunjangan guru besar, jika mereka tidak mempublikasikan karya ilmiahnya secara ber­kelanjutan.

“Guru besar harus publikasi. Kalau tidak tunjangannya akan kami evaluasi,” kata Nasir.

Menurutnya, tindakan ini menjadi salah satu upaya Kemenristekdikti untuk mem­pertanggungjawabkan status akademik para akademisi. Selain itu, hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan produktivitas dosen dalam mempublikasikan karya ilmiah mereka. Pasalnya publikasi karya ilmiah di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan negara lain.

Akhir tahun ini, Kemenristekdikti menargetkan publikasi karya ilmiah mencapai 15 sampai 16 ribu, sejak 2015. Nasir meyakini target tersebut pasti akan terlampaui.

“Karena 2015 sampai 2017 sebenarnya kami hanya menargetkan 8.000 karya ilmiah, tapi sampai sekarang sudah mencapai 10.500 karya ilmiah” kata mantan Rektor Undip itu.

Ia menyampaikan, Kemenristekdikti akan melakukan evaluasi perguruan tinggi secara menyeluruh setiap tiga tahun sekali. Dari hasil evaluasi tersebut akan diketahui mana saja perguruan tinggi yang belum memenuhi target publikasi yang telah ditentukan.

“Evaluasi itu kan memang tiga tahun sekali. Kalau mulainya 2015 evaluasinya berarti November 2017. Tapi bisa saja saat itu ada perguruan tinggi yang belum siap,” kata Nasir.
(ant)

Close Ads X
Close Ads X