Disebut Bermasalah Kemendikbud: PPDB Zonasi Masih Proses

Wisatawan berada di lokasi wisata sejarah Museum Tsunami, Banda Aceh, Kamis (21/6). Museum Tsunami yang berbentuk kapal dengan luas 2.500 meter persegi itu selain menjadi pusat pendidikan tentang tsunami, juga dapat berfungsi sebagai pusat evakuasi jika terjadi bencana gempa dan tsunami. ANTARA FOTO/Ampelsa/Spt/18

Jakarta | Jurnal Asia

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) angkat bicara ketika Ombudsman menyebut penerimaan peserta didik baru (PPDB) berdasarkan zonasi bermasalah. Kemendikbud menyebut PPDB berdasarkan zonasi masih berjalan.

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud, Hamid Muhammad mengatakan, saat ini proses PPDB masih berlangsung.

“Biarkan proses itu berjalan sesuai Permendikbud yang baru diterbitkan,” katanya, Kamis (21/6)

Seperti diketahui, Kemendikbud mengeluarkan peraturan teranyar mengenai PPDB. Peraturan Mendikbud (Permendikbud) Nomor 14 Tahun 2018 tentang PPDB menyebutkan zonasi menjadi salah satu unsur utama menerima peserta didik baru mulai jenjang sekolah dasar hingga menengah.

Hamid mengatakan, Permendikbud itu mengamanatkan bahwa nilai Ujian Nasional (UN) bukan menjadi kriteria utama dalam PPDB. Kriteria utama adalah jarak yang sesuai dengan sistem zonasi.

Hamid mengatakan, sekolah milik pemerintah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada zona terdekat. Permendikbud menyebutkan kuota peserta pada zona terdekat ini minimal 90 persen dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.

Kuota sisanya diberikan untuk dua kategori lainnya. Yaitu, lima persen untuk siswa yang masuk melalui jalur prestasi dan lima persen untuk siswa pindahan atau terjadi bencana alam atau sosial.

Sebelumnya, Ombudsman menilai PPDB 2018 SMA/Sederajat dengan sistem zonasi berpotensi memunculkan sejumlah permasalahan.

Koordinasi Tim Bidang Pendidikan Ombudsman Rully Amirulloh pun mengkritik sistem zonasi dengan jalur Warga Penduduk Setempat (WPS) yang menentukan calon peserta didik bukan dari nilai melainkan berdasarkan jarak terdekat dari sekolah.

“Kalau nilai Ujian Nasional dia 15 atau paling rendah banget, namun karena jaraknya dengan sekolah negeri dekat misal cuma 100 meter, ya sudah diterima. Jadi ini bagian yang Ombudsman kritik tentang aturan ini,” kata Rully.

Selain itu, Rully juga menyoroti jumlah pendaftar yang sudah melebihi kuota. Seharusnya rata-rata rombongan belajar (rombel) untuk SMA/Sederajat sebanyak 12 kelas, namun berdasarkan pantauan Ombudsman sejak sebelum lebaran, masih banyak sekolah yang hanya membuka sembilan kelas.

“Kalau bicara infrastruktur yang ada dengan jumlah siswa yang telah lulus dari SMP itu enggak sebanding, lebih banyak jumlah siswa yang lulus dibandingkan dengan infrastruktur yang ada,” kata Investigator Om­buds­man tersebut.

Tidak hanya itu, besarnya kuota yang diterima dari jalur keluarga tidak mampu yaitu 20 persen di seluruh jumlah siswa yang diterima membuat banyak orang tiba-tiba menjadi ‘mendadak miskin’.

Ia pun memuji langkah Walikota Depok Mohammad Idris yang menginstruksikan kelurahan untuk tidak menerbitkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) secara dadakan tanpa sejumlah syarat. Salah satunya calon siswa miskin tersebut harus terdata di SMP asal dan terdata sebagai siswa miskin sejak awal.

Rully melanjutkan, Ombudsman hingga saat ini memang belum bisa memberikan rekomendasi lantaran masih sebatas potensi. Namun ia mengatakan ke­cen­derungannya tahun ini lebih baik dibanding tahun kemarin.
(rep/rol)

Close Ads X
Close Ads X