Jakarta | Jurnal Asia
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah meresmikan program pembangunan satu juta rumah dalam lima tahun mendatang. Dalam program ini, pemerintah telah memberikan insentif masyarakat berpenghasilan rendah untuk mendapatkan rumah subsidi skema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan dapat dinikmati mulai April.
Adapun insentif tersebut antara lain suku bunga tetap 5 persen, uang muka 1 persen serta bantuan uang muka tunai Rp4 juta per unit. Emiten pengembang properti, PT Binakarya Jaya Abadi Tbk (BIKA) menilai, program tersebut menguntungkan calon pemilik rumah namun tidak bersahabat dengan pengembang properti.
Hal itu disampaikan Presiden Direktur PT Binakarya Jaya Abadi Tbk (BIKA) Budianto Halim di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (14/7). Menurutnya, program tersebut sulit tercapai karena harga tanah di pulau Jawa sudah terlalu mahal. “Jika harga jual rumah untuk MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) Rp125 juta maka akan sulit menemukan keekonomiannya bagi pengembang,” sambungnya.
Dia menjelaskan, dengan harga jual di atas, maka harga tanah di Pulau Jawa berada di atas Rp1 jutaan per meter perseginya. Terlebih lagi lahan untuk pembangunan rumah tersebut sulit didapat. “Apalagi pemerintah telah melarang lahan pertanian seperti sawah di ubah peruntukannya menjadi perumahan,” sambungnya.
Dirinya pun memperkirakan, program satu juta rumah dalam lima tahun mendatang akan sulit tercapai. Kendati demikian, pihaknya mengusulkan untuk lebih mengutamakan pengembangan perumahan strata title atau Rumah Susun Milik (Rusunami). Sebab dengan harga tanah Rp2 juta per meter masih dalam batas keekonomian pengembang.
“Nanti kami (pengembang) akan menjualnya Rp8 juta per meter perseginya karena bangunan bertingkat itu biaya lebih mahal,“ sebutnya. Selain itu, pembangunan dan pengembangan perumahan harus lebih fokuskan di luar Pulau Jawa di mana harga tanah masih terjangkau. “Di daerah masih bisa, tinggal bagaimana memobilisasi konsentrasi penduduk ke luar Jawa,” tukasnya.
(oz)