Jakarta – Riau terancam mengalami pengurangan tenaga kerja di sektor kehutanan dan perkebunan. Hal ini terkait dengan paket regulasi gambut, di mana 1,5 juta hektare atau 30% dari kesatuan hidrologis gambut (KHG) akan dialokasikan sebagai fungsi lindung.
“Secara teknis, implementasi PP 57/2016 dituangkan dalam Permen LHK No 14/2017, 15/2017, 16/2017, 17/2017, serta Kepmen LHK No 129/2017 dan 130/2017. Jika kebijakan ini diimplementasikan saat ini, akan menimbulkan dampak pada kondisi ekonomi, sosial, dan lingkungan,” kata Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Riau (LPPM-UR) Almasdi Syahza, Rabu (3/5).
Regulasi tersebut, kata dia, akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan iklim dunia usaha yang akan berimbas pada turunnya investasi. Kondisi ini akan berdampak terhadap penurunan PDRB Riau serta pertumbuhan ekonomi di Provinsi Riau dan Indonesia.
Apabila implementasi fungsi lindung diterapkan pada kawasan bukan hutan (APL), sektor unggulan Pemerintah Riau akan mengalami stagnasi dan terhambat pengembangannya. Dia menegaskan diperlukan komitmen stakeholder terhadap pengelolaan KHG, sehingga fungsi lindung dan budi daya ekosistem gambut dapat dilakukan secara seimbang berkelanjutan.
Pasalnya, ekosistem gambut Indonesia telah mengalami kerusakan yang masif akibat pemanfaatan yang melebihi daya dukung dan tampungnya. Komitmen pemerintah untuk perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut telah dilakukan lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2016 juncto PP Nomor 71 Tahun 2014.
Di lain pihak, para pelaku bisnis, baik perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan maupun perkebunan, menyatakan bahwa penerapan peraturan ini akan berdampak negatif terhadap bisnis yang mereka jalankan. Lebih jauh lagi, hal ini akan berdampak negatif bagi perekonomian daerah, yakni menurunnya pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan neraca pembayaran, yakni defisit neraca perdagangan dan kapital. (oz)