Pengusaha Tolak RUU CSR

Jakarta – Kalangan pengusaha me­nolak RUU Tanggung Jawab Sosial (Corporate Social Res­ponsibility/CSR), yang akan mewajibkan perusahaan me­nga­lokasikan besaran dana 2-3% untuk CSR. RUU inisiasi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang tengah dibahas di DPR itu akan menyebabkan pengenaan pajak berganda, padahal untuk memperoleh pajak saat ini saja susah akibat lesunya ekonomi global maupun dalam negeri.

Ketua Umum Asosiasi Pe­ngu­saha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani me­nga­takan, para pengusaha sangat menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) CSR. “Secara global pun tidak ada CSR menjadi kewajiban, apalagi ditentukan besaran atau jumlah sumbangan. Perusahaan kan sudah membayar pajak kepada negara. Ini sama saja seperti memberi beban pajak baru. Intinya, dunia usaha menolak sangat keras RUU tersebut,” kata dia, Jumat (26/8).

Hariyadi menjelaskan, CSR merupakan program yang murni sukarela dari perusahaan sebagai bentuk partisipasi terhadap lingkungan sekitar perusahaan atau program yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat.

Di negara lain, jika perusahaan tidak melakukan CSR pun tidak menjadi masalah, karena mereka sudah memenuhi kewajiban membayar pajak kepada negara. “Memungut CSR secara wajib sudah menyalahi prinsip CSR itu sendiri. Bila dipungut, tentu akan menjadi beban besar bagi perusahaan. Selain itu, mewajibkan besaran CSR bisa berdampak negatif pada minat investasi. Pasalnya, beban biaya perusahaan semakin meningkat, sehingga membuat daya saing Indonesia semakin tidak menarik,” ujar Hariyadi.

RUU itu juga bertentangan dengan arah kebijakan pe­merintah Indonesia yang me­mang­kas praktik pengenaan pajak berganda agar tidak meng­hambat perekonomian. Pemerintah juga memberikan sejumlah insentif pengurangan pajak untuk mendorong masuknya investasi lebih banyak. Indonesia juga membuat perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) dengan negara-negara lain dengan prinsip saling menguntungkan perekonomian kedua negara.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan, meski CSR merupakan kegiatan yang bersifat sukarela dalam praktik bisnis global, perusahaan-perusahaan di Indonesia mau mematuhi ketentuan CSR yang berlaku selama ini di Tanah Air. CSR sudah dilaksanakan perusahaan sesuai kebutuhan perusahaan dan masyarakat.

“Selama ini, perusahaan sudah menjalankan CSR cukup baik, seperti penyediaan dana CSR sekitar 1% (dari keuntungan) untuk pendidikan angkatan kerja. CSR yang semestinya bersifat sukarela ini jangan kemudian diatur dengan undang-undang yang mematok besaran dananya, misalnya 3% atau 5%. Ini tidak boleh, karena akan membuat industri kita yang masih ‘bayi’ tambah terpuruk,” kata Ade.

Ia menegaskan, industri di Indonesia yang masih dalam tahap awal, belum tumbuh kuat, janganlah diganggu dengan RUU Tanggung Jawab Sosial yang programnya tidak jelas. Jika diundangkan, CSR itu akan cenderung diselewengkan oleh oknum calon kepala daerah atau calon anggota legislatif untuk kepentingan mereka.
(bs)

Close Ads X
Close Ads X