Lahan Bermasalah Kendala Replanting Kebun Sawit Petani

Pekerja memuat tandan buah segar (TBS) kelapa sawit hasil panen di Tangkit Baru, Sungai Gelam, Muaro Jambi, Jambi, Senin (19/9). Pemerintah Indonesia dan Malaysia telah menginisiasi kerja sama bidang ekonomi melalui pembentukan lembaga persatuan negara penghasil minyak kelapa sawit atau Council Palm Oil Producing Countries (CPOCP) untuk mendorong pengembangan industri olahan kelapa sawit di bagian hilir sebagai upaya peningkatan nilai tambah produk, di antaranya menjadi biodiesel dan oleokimia. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/foc/16.
Pekerja memuat tandan buah segar (TBS) kelapa sawit hasil panen di Tangkit Baru, Sungai Gelam, Muaro Jambi, Jambi, Senin (19/9). Pemerintah Indonesia dan Malaysia telah menginisiasi kerja sama bidang ekonomi melalui pembentukan lembaga persatuan negara penghasil minyak kelapa sawit atau Council Palm Oil Producing Countries (CPOCP) untuk mendorong pengembangan industri olahan kelapa sawit di bagian hilir sebagai upaya peningkatan nilai tambah produk, di antaranya menjadi biodiesel dan oleokimia. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/foc/16.

Jakarta – Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit sampai Agustus lalu telah mengimpun dana sebesar Rp 7,19 triliun. Dana tersebut berasal dari pungutan atas ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) atau CPO Supporting Fund (CSF) alias dana ‘cele­ngan’ sawit.

Direktur Utama BPDP Sawit, Bayu Krisnamurthi mengungkapkan, alokasi dana pungutan sawit salah satunya untuk bantuan peremajaan perkebunan sawit rakyat atau replanting. Namun, upaya replanting terbilang sangat lambat.

“Replanting masih banyak kendalanya. Kami harus pastikan betul lahan sawitnya bukan lahan sengketa, bukan hutan, bukan gambut dalam, dan masalah lainnya,” kata Bayu di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin (3/10). “Meski sudah banyak yang masuk, karena verifikasinya sangat lambat, itu harus diakui. Karena BPDP tidak didesain untuk melakukan verifikasi sendiri,” tambahnya.

Menurut Bayu, dari total 29.000 hektar lahan yang sudah diajukan mendapat mendapat bantuan peremajaan tahun ini, baru sedikit sekali yang sudah disetujui untuk pencairan bantuannya. Dirinya enggan menyebut berapa lahan perkebunan rakyat yang sudah didanai lembaganya.

“Sudah disetujui masih sangat sedikit. Semua sudah beres, petani sudah oke, tapi masalahnya di lahan. Jadi ini banyak sekali kasusnya di petani. Karena misalnya lahannya si A, dijual ke si B, dijual lagi ke si C. Nah jual beli si A ke B tak pakai balik nama. Si C mengajukan bantuan replanting, akhirnya susah,” terangnya.

Dia mengungkapkan, dana di BPDP sudah tersedia namun belum banyak terpakai untuk replanting. Di sisi lain, peremajaan kebun sawit rakyat sudah sangat mendesak lantaran produksinya yang terus menurun.

“Dari sudut suistanability, dengan replanting kesempatan menata ulang kebun itu ada, sehingga lebih suistanable. Swasta produksinya (tandan sawit) 7 ton per hektar, petani cuma 2 ton. Jadi sayang sekali,” pungkas Bayu.

Isu Kerusakan Hutan
Sementara itu, meski data ekspor dari tahun ke tahun terus meningkat, pasar produk kelapa sawit Indonesia ke Eropa masih dihantui sejumlah kampanye negatif, khususnya terkait masalah kerusakan hutan dan tarif masuk seperti pajak super dan anti dumping.

Direktur Utama BPDP Sawit, Bayu Krisnamurthi mengatakan, isu utama yang masih jadi perhatian pemerintah dan BPDP sawit yakni penetapan anti dumping di Uni Eropa (UE), dan pengenaan super tax di Perancis.

“Pasar Eropa masih butuh penanganan. Tahun 2013 UE tetapkan tarif anti dumping karena mereka menuduh kita melakukan anti dumping atas produk sawit Indonesia untuk biodiesel sebesar 18,9%,” ucap Bayu lagi.

Dia melanjutkan, meski saat ini pengadilan Uni Eropa atau EU Court telah memutuskan pembatalan anti dumping biodiesel, namun diperkirakan keputusan pembatalan tersebut akan disidangkan kembali lewat banding sampai November 2016 nanti.

“Tanggal 16 September lalu pengadilan UE telah menetapkan pembatalan atas anti dumping Indonesia dan Argentina. Tapi kemudian ada upaya peninjauan kembali di Eropa. Padahal harga biodiesel kita bisa murah bukan karena dumping, tapi karena daya saing kita tinggi,” jelas Bayu.

Masalah lainnya, lanjut dia, yakni rencana pengenaan super tax Perancis atas produk sawit Indonesia. Namun rencana tersebut saat ini masih digodok oleh parlemen negara itu.
“Ketidakpastian pasar Eropa juga masih dihadang oleh super tax Perancis. Ada usulan tetapkan € 300 per ton produk sawit, kemudian kita nego bisa turun lagi ke € 30 per ton pajaknya. Tapi kita masih negosiasikan terus,” kata Bayu.

“Kemudian masih ada aturan sustainable trade di perjanjian CEPA untuk produk vegetable oils termasuk sawit, hutan, dan perikanan. Kalau hutan kan terkait masalah illegal logging, ikan terkait illegal fishing, nah kalau vegetable oils ini masih harus diperjelas lagi,” tambahnya.

Masalah lainnya yang juga tak bisa diremehkan, yakni kampanye negatif terkait kerusakan lingkungan akibat produksi sawit Indonesia oleh beberapa lembaga. Seperti blokade atas kapal milik perusahaan trader minyak sawit Malaysia, IOI.

“Kita beberapa minggu mendengar aktivis Greenpeace lakukan blokade kepada kapal Malaysia. Ini terkait dengan isu negatif lingkungan. Memang itu bukan kapal Indonesia, tapi ini sangat serius dampaknya ke kita juga,” ujar mantan Wakil Menteri Perdagangan ini.

Bayu merinci, ekspor produk sawit ke Eropa pada tahun 2012 tercatat sebesar 3,6 juta ton, tahun 2013 naik menjadi 4,8 juta ton, kemudian kembali mengalami tren positif di tahun 2014 sebesar 5 juta ton. Sementara untuk angka ekspor hingga Agustus 2016 saja sudah mencapai 4,35 juta ton.

Tarif Anti Dumping Biang Masalah
Akibat pengenaan tarif anti dumping sebesar 18,9% oleh Uni Eropa yang berlaku tahun 2014, membuat ekspor biodiesel Indonesia dihentikan sampai saat ini. Produk biodiesel dari minyak sawit asal Indonesia dianggap melakukan praktik dumping, meski pada 16 September lalu tarif tersebut akhirnya dicabut.

Di lokasi yang sama, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Paulus Tjakrawan mengungkapkan, ekspor biofuel yang saat tahun 2014 mencatatkan 1,8 juta ton, kemudian dihentikan pada tahun 2015 sampai sekarang.

“Dulu terakhir ekspor ke Eropa kan tahun 2014 kita 1,8 juta ton biodiesel. Argentina ekspor 2 juta lebih. Sekarang nol, tak ada ekspor sama sekali karena dumping,” ujar Paulus. Tahun 2015, meski masih ada ekspor biodiesel ke Eropa, itu pun jumlahnya tak seberapa. Beberapa pabrik biodiesel pun akhirnya tak beroperasi karena ekspor ke Eropa dihentikan.

Pengusaha biodiesel saat ini hanya menunggu pesanan saja meski tarif anti dumping sudah dicabut. “Nggak diproduksi saja. Jadi kalau ada pesanan baru diproduksi. Harga sekarang biodiesel Rp 8.000/liter lebih. Tahun depan belum tahu, karena ekspor sekarang kan nol. Kita tetap cari pasar baru seperti ke India dan lainnya sebagai pengganti Eropa,” ujar Paulus.

Tarif dumping atas biodiesel dilakukan Uni Eropa, menurut dia, karena di sana produksi bahan bakar dari nabati itu kelebihan produksi. “Mereka terganggu. Indonesia kapasitas 12 juta ton produksi setahun. Di eropa 22 juta ton setahun. Tapi dia hanya pakai 12 juta ton setahun. Nganggur sisanya. Marah lah dia waktu itu impor dari Indonesia 1,8 juta ton dan dari Argentina 2 juta. Kena lah kita dumping,” ujar Paulus.
(dtf)

Close Ads X
Close Ads X