Kredit Properti Lesu | Uang Muka Rumah Harus Diturunkan

Jakarta – Daya beli yang melesu turut mempengaruhi penyaluran kredit, termasuk penyaluran kredit properti yang juga mengalami perlambatan.

Pengamat menilai, dibutuhkan pelonggaran untuk mendorong pertumbuhan kredit sektor properti ini. Misalnya penurunan uang muka ketika mengajukan kredit.

Ekonom The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, untuk mendorong pertumbuhan kredit khususnya properti dan kendaraan bermotor dibutuhkan stimulus moneter seperti aturan down payment (DP) atau uang muka kredit yang lebih rendah.

Ini artinya, Bank Indonesia (BI) harus menaikkan rasio loan to value (LTV) yang saat ini 85% menjadi sekitar 90%-95%. LTV adalah nilai kredit atau jumlah pembiayaan yang bisa diberikan bank kepada pemohon kredit dengan jaminan atau agunan berupa properti atau kendaraan.

“Dengan kenaikan LTV, maka otomatis uang muka bisa lebih rendah. Dengan syarat uang DP 5% debitur bisa mengajukan dan mencicil kredit lebih mudah,” ujar Bhima saat dihubungi, Senin (14/8).

Dia menyebut, perubahan uang muka juga diharapkan bisa meringankan beban masyarakat untuk mengambil kredit, baik properti maupun kendaraan bermotor. “Kebijakan ini diyakini akan sangat membantu masyarakat kelas menengah ke bawah, terlebih daya beli kelompok ini cukup lemah tiga tahun lalu,” ujar dia.

BI menetapkan rasio LTV untuk kredit pemilikan rumah (KPR) untuk rumah pertama 15%. Sedangkan untuk rumah kedua 20% dan rumah ketiga 25%. Pada Juni 2017 kredit properti tercatat Rp 746,8 triliun atau tumbuh 12,1% dibandingkan periode bulan sebelumnya 13,7%.

Jika dijabarkan, penyaluran KPR per Juni 2017 tercatat Rp 382,3 triliun. Kredit konstruksi Rp 232,6 triliun dan kredit real estate Rp 129,2 triliun.

Pengembang Akui
Penyaluran kredit properti pada kuartal II-2017 tercatat mengalami perlambatan. Survei Bank Indonesia (BI) mencatat, penjualan properti residensial pada kuartal II-2017 menurun. Angkanya pada kuartal II-2017 adalah 3,61% atau lebih lambat dibandingkan dengan kuartal sebelumnya sebesar 4,16% (qtq).

Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah benar daya beli masyarakat Indonesia saat ini tengah lesu. Asosiasi pengembang Realestat Indonesia (REI) mengakui, penjualan rumah non subsidi atau non MBR (masyarakat penghasilan rendah) masih menunjukkan angka yang stagnan.

Berdasarkan data Ditjen Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR, hingga akhir Juli 2017 jumlah rumah non MBR yang terbangun hanya mencapai 85.479 unit dari total target 287.013 unit rumah tahun ini. Hal ini berbanding terbalik dengan realisasi rumah MBR yang mencapai 414.223 unit rumah, dari target 712.987 unit rumah hingga akhir tahun.

Sekretaris Jenderal Realestat Indonesia (REI), Totok Lusida, menuturkan serapan penjualan rumah untuk non MBR tersebut dipicu oleh ditundanya pengeluaran masyarakat untuk belanja properti. Hal itu dapat dilihat dari jumlah simpanan tabungan di perbankan yang mengalami peningkatan. Tercatat jumlah tabungan di perbankan meningkat hingga 15%.

“Memang serapan sekarang per hari ini memang masih rendah. Tren untuk non MBR itu stagnan. Makanya kita harus men-trigger supaya masyarakat itu bisa ada keyakinan untuk belanja,” katanya saat dihubungi di Jakarta, Senin (14/8).

Meski menolak mengatakan daya beli masyarakat lesu, namun dia bilang hal tersebut lebih dikarenakan ada beberapa kebijakan pemerintah yang sedang dipantau oleh masyarakat untuk berinvestasi.

Ia mengatakan, saat ini REI dan Bank Indonesia (BI) telah membentuk tim yang bertugas untuk mengkaji kendala apa yang sebenarnya ada di masyarakat. Kajian tersebut diharapkan akan membantu pemerintah untuk mengambil kebijakan yang bertujuan menstimulus masyarakat untuk mau membelanjakan uangnya, termasuk di sektor properti. “Memang REI dan BI membentuk tim bersama melakukan penelitian di seluruh Indonesia. Kita sudah ketemu tiap dua minggu dengan BI untuk meneliti hasilnya itu untuk membuat kebijakan supaya makro ekonomi Indonesia jalan, masyarakat berani membelanjakan uangnya. Kebijakannya apa, kita belum tentukan bersama. Kita lagi analisa,” ungkapnya.

Beberapa kebijakan yang tengah dikaji pemerintah adalah penurunan suku bunga Kredit Kepemilikan Rumah (KPR), percepatan perizinan pembangunan rumah, hingga kebijakan perpajakan.

“Salah satunya adalah spread suku bunga, sekarang BI menentukan 4,75%. Tapi bunga kredit berapa? Masih 12-14%. Bedanya terlalu besar. Ini yang harus kita kurangi, bagaimana caranya,” tukasnya.

(dtc)

Close Ads X
Close Ads X