Industri Agribisnis Tak Siap Bila Indonesia Gabung TPP

Jakarta | Jurnal Asia
Industri pertanian, per­ke­bunan, dan perikanan di Tanah Air dinilai belum siap bila In­donesia bergabung dengan Ke­mitraan Trans Pasifik (TPP). Ketua Umum Asosiasi Pe­ngu­saha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan In­donesia (AP5I) Thomas Darmawan mengatakan, TPP beranggotakan lebih banyak negara maju yang menetapkan standar berbeda dibandingkan dengan negara berkembang. “Kalau kita ekspor ke sana ada banyak hambatan termasuk isu-isu lingkungan yang mesti dipenuhi oleh negara pengimpor,” ujarnya, Senin (9/11).

Menurut Thomas, manfaat TPP lebih cocok untuk produk-produk otomotif dan teknologi informasi karena Indonesia memiliki basis produksi. Sementara untuk men­dapatkan manfaat di sektor agribisnis lebih pas bergabung dengan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).

Kemitraan dagang ini berang­go­takan negara-negara Asean plus enam negara lain yakni Australia, Tiongkok, India, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru. “Kalau RCEP penduduknya sekitar 3,4 miliar. TPP paling banter 1 miliar. Kalau kita fokus ke RCEP kita bisa lebih bersaing,” tuturnya.

Thomas memprediksi negara-negara RCED akan menjadi penopang pertumbuhan ekonomi global. Bila ini terjadi, kata dia, konsumsi masyarakat akan me­ningkat sehingga mendongkrak ekspor produk per­ta­nian, pe­rikanan, dan perkebunan. “Kalau eko­nomi mereka tumbuh, orang yang dulunya makan ikan asin naik jadi ikan kaleng dan naik makan ikan sushi,” ujarnya.

Niat Indonesia bergabung de­ngan TPP dikemukakan Presiden Joko Widodo usai bertemu Pre­siden Amerika Serikat Barack Obama di Washington DC, Senin (26/10) lalu. “Kami adalah ne­gara ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Dan Indonesia berniat bergabung dengan TPP,” kata Presiden Jokowi.

TPP dibentuk atas inisiatif Amerika Serikat pada 2008 dan kemudian disepakati oleh negara Pasifik lain seperti Australia, Brunei Darussalam, Cili, Malaysia, Selandia Baru, Peru, Singapura, dan Vietnam. Keanggotaan TPP kemudian bertambah setelah masuknya Jepang, Kanada, dan Meksiko. Tanpa Indonesia, nilai produk domestik bruto ke-12 negara itu mencapai hampir US$30 triliun.

Thomas mengungkapkan ne­gara-negara TPP pun masih belum kompak untuk menyepakati aturan main kongsi dagang ter­sebut. Dia mencontohkan in­dustri udang di AS takut dengan produk-produk murah dari Vietnam. Se­baliknya, Vietnam mencemaskan hambatan-hambatan non tarif seperti subsisi impor di Negeri Pa­man Sam. “Jadi di negara anggota me­reka sendiri pun masih ada kek­hawatiran-kekhawatiran seperti itu,” ujar Ketua Komite Tetap In­dustri Makanan dan Minuman Kadin ini.

Saling Menguntungkan
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat, mendesak pemerintah agar perundingan Trans Pacific Partnership (TPP) harus saling menguntungkan.
“Dua manfaat yang harus dipetik dari setiap kemitraan, harus mendatangkan devisa dan membuka lapangan pekerjaan. Ini berlaku tidak hanya untuk TPP yang dikomandoi Amerika Serikat (AS), tetapi juga ke­mi­t­raan lainnya,” katanya di Jakarta.

Ade menilai ada beberapa program kemitraan dalam sektor eko­nomi seperti Comprehensive Eco­n­omic Partnership Agreement (CEPA) yang diinisiasi Uni Eropa, dan Regional Comprehensive Eco­nomic Partnership (RCEP) yang digerakkan Tiongkok.

“Tiga blok perundingan perd­agangan bebas ini masih tarik-menarik. Kepentingan Indonesia harus yang ke depan, karena kita adalah negara nonblok maka harus bisa memanfaatkan perundingan perdagangan tersebut untuk kepentingan kita sendiri, yakni devisa dan lapangan kerja,” papar dia. Ade menambahkan, Uni Eropa dan AS memegang pe­ra­nan penting dalam perun­dingan perdagangan karena me­­miliki pendapatan per ka­pita yang tinggi. “Kerja sama dengan mereka, berpotensi meningkatkan devisa Indonesia melalui industri manufaktur,” ujarnya. (bc-imq)

Close Ads X
Close Ads X