Daya Saing Gula RI Kalah dari Filipina dan Thailand

Pekerja menggiling tebu di Pabrik Gula (PG) Gempolkrep Mojokerto, Jawa Timur, Senin (14/5). PG Gempolkrep menargetkan memproduksi 87.503 ton Gula Kristal Putih dengan tebu digiling sebanyak 1.082.200 ton pada musim giling 2018. ANTARA FOTO/Umarul Faruq/aww/18.

Jakarta | Jurnal Asia

Daya saing gula Indonesia terbilang rendah bila dibandingkan dengan sejumlah negara lain di kawasan Asia Tenggara. Bahkan ada tebu petani tidak mampu diserap pabrik gula di dalam negeri.

Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengatakan, peningkatan produktivitas gula nasional melalui nilai rendemen tebu sangat diperlukan untuk menambah daya saing gula produksi petani tebu.
Kepala Penelitian CIPS Hizkia Respatiadi mengatakan, hingga pertengahan 2018, tingkat ekstraksi tebu di Indonesia hanya 7,50%. Angka itu berada di bawah Filipina (9,20%) dan Thailand (10,70%).

Jika ketiga negara tersebut mem­pro­duksi gula dalam jumlah yang sama, In­donesia perlu panen 22,67% lebih banyak daripada Filipina dan 42,67% lebih banyak daripada Thailand.

”Sebagai contoh, jika Indonesia, Filipina, dan Thailand masing-masing perlu memproduksi satu juta ton gula, Indonesia perlu panen sekitar 13,3 juta ton tebu, sementara Filipina hanya perlu panen 10,8 juta ton dan Thailand hanya membutuhkan 9,3 juta ton,” kata Hizkia, Minggu (21/10)

Peningkatan nilai rendemen dapat dilakukan salah satunya melalui efisiensi pabrik gula. Untuk itu diperlukan upaya nyata untuk merevitalisasi pabrik gula yang ada di Indonesia.

Pabrik gula di Indonesia umumnya sudah berusia ratusan tahun karena sudah beroperasi sejak pendudukan Belanda di Indonesia. Selain itu petani juga butuh ketersediaan benih dan pupuk yang berkualitas baik.

Peningkatan nilai rendemen ini sangat diperlukan untuk menambah daya saing gula petani lokal. Walaupun harga serapan Bulog sudah ditetapkan di angka Rp9.700 per kilogram, rendahnya nilai rendemen ini diduga menjadi penyebab gula petani lokal sulit terserap.

Di sisi lain jika Bulog tidak mau membeli, dikhawatirkan ini jugalah yang menjadi pertimbangan industri komersial untuk tidak membelinya juga. Walaupun demikian Hizkia juga mengungkapkan kemungkinan lain.

”Kita perlu melihat masalah ini dari perspektif bisnis. Kemungkinan lainnya mengapa para petani tidak dapat menjual panen tebu mereka, mungkin karena saat ini terdapat banyak stok gula di pasar sehingga pabrik-pabrik penggilingan gula berpikir bahwa mereka tidak perlu memasok pasar dengan gula lagi sehingga mereka menolak untuk membeli tebu petani dan karena itu Bulog tidak dapat membeli gula dari pabrik,” urainya.

Namun, lanjutnya, hal itu hanya bisa terealisasi jika harga gula Indonesia rendah. Rata-rata harga gula kristal putih nasional pada Agustus 2018 mencapai Rp12.386 per kilogram yang berarti hampir tiga kali lipat harga dunia yang sebesar Rp4.591,48 per kilogram pada periode yang sama.
(oz|swm)

Close Ads X
Close Ads X