Jakarta – Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Bahlil Lahadalia, mengingatkan, meski dampaknya kepada perekonomian Indonesia tidak seberapa, tetapi fenomena Brexit dapat memicu meningkatnya dukungan terhaddap proteksionisme perdagangan.
“Dampak langsung terhadap perdagangan dengan Inggris tidak terlalu mengganggu. Meski demikian, semangat Brexit ini dapat mempengaruhi suasana kebatinan negara-negara yang tergabung dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA),” kata Lahadalia di Jakarta, Minggu (25/6).
Fenomena Brexit atau keluarnya Inggris dari Uni Eropa bisa saja menjadi inspirasi bagi beberapa negara Asean untuk keluar dari MEA, bila fakta perdagangan bebas ini ternyata malah merugikan negara tersebut.
Selain itu, ujar dia, dalam jangka pendek dampak Brexit bisa saja memicu proteksionisme di antara negara-negara MEA, padahal maksud MEA adalah mendorong deregulasi dan mempercepat arus barang, jasa, investasi, dan manusia di antara anggota-anggota MEA. “Namun setelah Brexit menang ini, anggotanya malah akan memicu proteksi di negara-negara masing-masing. Ini yang harus kita cermati,” katanya.
Ketum Hipmi menyatakan, sejak awal memang terlihat adanya paradoks pada era globalisasi di mana saat perdagangan bebas dicanangkan tetapi di lain pihak proteksionisme menguat. Sementara itu, Ketua Bidang Luar Negeri Hipmi, Alexander Tio, mengingatkan agar pemerintah memperkuat MEA, terlebih mengingat peran historis Indonesia sebagai salah satu inisiator.
Di sisi lain, Bank Indonesia mengingatkan terdapat dampak lanjutan yang harus diwaspadai dari keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Britain Exit/Brexit), yakni potensi terganggunya kerja sama perdagangan antara dua pihak tersebut, yang juga bisa berpengaruh terhadap kinerja ekspor Indonesia.
Pangsa ekspor Tanah Air ke Eropa, terkecuali ke Inggris, cukup besar yakni mencapai 11,4 persen, dengan mayoritas ekspor itu adalah bahan baku dan mentah, kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (25/6). “Bank Indonesia akan terus mencermati potensi risiko yang muncul dari hasil referendum di Inggris,” ujar Tirta dalam sebuah pernyataan.
Dampak lanjutan Brexit terhadap pasar keuangan global juga sudah diwanti-wanti sebelumnya oleh Gubernur BI Agus Martowardojo. Menurut Agus, sentimen Brexit terhadap pasar keuangan global juga masih bisa membayangi karena jalan politik keluarnya Inggris dari Uni Eropa masih akan berlanjut.
Sesuai perjanjian UE (EU Treaty), kata Agus, Inggris harus mengajukan permintaan secara resmi untuk keluar dari UE. Dalam proses permintaan itu, kata Agus, akan terjadi negosiasi, yang juga menyangkut perundingan soal tarif perdagangan dan insentif dalam kegiatan ekonomi.
Dinamika yang terjadi dalam proses negosiasi itu bisa berpengaruh terhadap pasar keuangan global. “Itu implikasinya biasanya jangka panjang. Jadi secara jangka pendek ada implikasi, tapi kami lihat implikasi yang benar adalah jangka panjang” kata Agus.
Dampak Jangka Menengah
Adapun untuk jangka menengah, BI melihat dampak Brexit terhadap kinerja perdagangan, pasar keuangan dan investasi akan terbatas. Untuk investasi misalnya. Menurut data yang dilansir BI, dalam lima tahun terakhir, pangsa penanaman modal asing langsung dari Inggris terhadap total penanaman modal asing di Indonesia tercatat di bawah 10 persen. Begitu juga dengan yang terjadi di pasar keuangan.
Pada Jumat sore, atau setelah hasil refrendum yang menegaskan keinginan Brexit, rupiah menurut kurs tengah BI berada di Rp13.296 per dolar AS, melemah namun tidak signifikan dibanding Kamis (23/6) sebesar Rp13.265
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia juga sempat melemah pada Jumat siang, namun mampu “rebound” sebelum penutupan pasar pada Jumat sore. Tercatat, IHSG melemah 39,74 poin atau 0,81 persen menjadi 4.834,56.
“Di pasar uang dan pasar saham Indonesia terdapat koreksi yang relatif terbatas, terutama apabila dibandingkan dengan koreksi di negara-negara lain seperti India, Thailand dan Korea Selatan,” kata Tirta.
Dari sisi fundamen ekonomi, BI menilai ketahanan cukup terjaga, yang tercermin dari laju inflasi yang rendah, defisit transaksi berjalan yang terkendali, dan nilai tukar rupiah yang relatif stabil. (ant)