Baja Impor Tiongkok Harus Dibatasi

Jakarta | Jurnal Asia
Pemerintah harus membatasi impor baja secara langsung oleh kontraktor asing yang sedang mengerjakan proyek infrastruktur di Indonesia karena melonjaknya produk baja dari Tiongkok.
“Impor baja batangan dari Tiongkok tidak akan turun selama konten baja masih digabung dalam paket pengerjaan proyek yang dikerjakan kontraktor asing. Selama paket proyek asing masih diperbolehkan impor baja, industri lokal sulit mendapatkan bagian,” kata Direktur Eksekutif Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA), Hidayat Triseputro, Selasa (15/3).

Pemerintah, menurut Hidayat, telah mengeluarkan dasar hukum untuk memberi privilege atau keistimewaan wajib menggunakan produk lokal dalam proyek pem­bangunan tower transmisi pembangkit listrik 35.000 MW sepanjang 46.597 kilometer.

“Keistimewaan yang meno­leransi penggunaan baja lokal dengan harga lebih tinggi dari produk impor itu, dapat diduplikasi kepada seluruh proyek infrastruktur yang dibiayai oleh APBN. Kami bersama Kementerian Perindustrian tengah merumuskan program tersebut,” papar dia.

Berdasarkan data IISIA, impor baja batangan dari Tiongkok pada tahun lalu mencapai 3 juta ton, melonjak 94% dibandingkan dengan 2014. Di sisi lain, industri baja global diprediksi akan pulih dari krisis globat dalam waktu lima tahun ke depan. Hal ini dikatakan Kepala Eksekutif JFE Holdings Eiji Hayashida, produsen baja terbesar kedua asal Jepang.

Hayashida mengatakan kondisi pasar diprediksi akan meningkat setelah Tiongkok menutup be­berapa pabrik baja akibat kele­bihan kapasitas. Namun, ia mengatakan masih terlalu dini untuk menga­takan aksi Tiongkok ini bisa mem­perbaiki kondisi baja global. Pabrik baja Tiongkok telah dituduh mempersulit pemenuhan per­mintaan pasar dengan melakukan dumping kelebihan baja ke pasar internasional.

“Saya rasa yang kita lihat saat ini adalah puncaknya dan tidak akan bertambah parah. Namun, permasalahan di China tidak akan pulih hanya dalam satu hingga dua tahun. Paling tidak tiga sampai lima tahun,” katanya seperti dikutip dari Financial Times.

Kelebihan pasokan baja tahun lalu telah menjatuhkan harga baja. Merugikan produsen besar seperti ArcelorMittal, US Steel dan Posco Korea Selatan. Oleh karena itu, Jepang menyiasatinya dengan fokus memproduksi baja dengan kualitas yang lebih tinggi tapi dengan volume yang kecil, seperti yang dilakukan JFE Holdings.

Saat ini produsen tengah menghadapi tekanan, seperti yang terjadi pada Kobelco yang terancam merugi 20 miliar yen (US$176 juta) dan JFE Holdings sebesar 25 miliar yen. “Yang kami hadapi saat ini bisa dibilang mendekati krisis terburuk bagi industri baja dibanding situasi pada krisis ekonomi Asia pada 1990-an,” ujarnya.

Hayashida mengatakan bah­wa pihaknya akan mencari investasi dan kerja sama teknologi dengan pemain global. Meski sedang mengalami krisis, JFE Holdings tengah mencatatkan pertumbuhan di bagian Asia lainnya dan memunculkan pasar untuk mengendalikan permintaan baja yang dibutuhkan otomotif dan infrastruktur. (imq-bc)

Close Ads X
Close Ads X