Jakarta – Dalam kesepakatannya dengan sejumlah produsen dan distributor, Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita, menetapkan harga gula yang dijual di pasar paling mahal Rp 12.500/kg. Selanjutnya, Mendag juga akan menemui produsen gula tebu dalam negeri agar ikut menekan harga gula sesuai keinginan pemerintah.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Sumitro Samadikun, mengungkapkan rencana Mendag tersebut justru bakal mematikan industri lokal. Yang diuntungkan dengan adanya kebijakan ini adalah perusahaan swasta yang mendapat izin impor.
Sementara, pelaku usaha dalam negeri khususnya akan semakin sulit bersaing. Karena, saat ini harga lelang gula petani yang dilakukan oleh pabrik gula sendiri saat ini sudah sekitar Rp 12.500/kg. Sehingga sangat tidak mungkin bagi industri dalam negeri untuk memenuhi ketetapan harga seperti yang diinginkan pemerintah, Rp 12.500/kg di tingkat konsumen.
“Sudah kita dapat rendemen rendah, sekarang diminta pemerintah harga gula Rp 12.500/kg. Tahun 2013 harga gula jatuh karena impor kita dibiarkan, lelang gula saja sekarang Rp 12.000/kg, bagaimana kita mau jual Rp 12.500, rumusnya dari mana,” ucap Sumitro, Rabu (18/1).
Dia mengasumsikan, dengan produksi tebu petani per hektar sebesar 100 ton, maka dengan tingkat rendemen rata-rata nasional saat 6, maka didapat gula sebesar 6 ton. Setelah dibagi dengan pabrik gula dengan rasio 64:36, maka gula yang diperoleh petani adalah 3,84 ton.
“3,84 ton ini dikalikan dengan harga lelang sekarang Rp 12.000/kg, petani mendapatkan pendapatan dari gula Rp 48 juta. Nah sementara modal tanam tebu, biaya tembang dan angkut, pupuk sampai sewa tanah paling murah totalnya Rp 45 juta. Untungnya berapa itu, malah ada yang sampai biayanya Rp 50 juta,” jelas Sumitro.
Menurut dia, ketimbang pemerintah menekan harga gula yang berakibat petani tebu merugi, sebaiknya pemerintah merevitalisasi atau membangun pabrik gula baru milik BUMN, agar tingkat rendemen bisa naik.
Sebagai informasi, rendemen tebu sendiri adalah kadar kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen. Bila dikatakan rendemen tebu 10%, artinya ialah bahwa dari 100 kg tebu yang digilingkan di Pabrik Gula akan diperoleh gula sebanyak 10 kg.
“Tanam tebu itu susah. Waktunya juga setahun lebih, beda dengan tanam padi 3 bulan sudah panen. Lebih baik pemerintah bantu petani tingkatkan rendemen, itu pabrik-pabrik sudah tua tidak pernah diganti. Kalau rendemen tinggi, otomatis harga gula bisa otomatis murah,” ujar Sumitro.
Sebelumnya, dalam pertemuannya dengan pabrikan dan distributor gula konsumsi, Mendag menginginkan harga gula bisa ditekan hingga Rp 12.500/kg. Pasalnya harga rata-rata gula saat ini Rp 14.000/kg dianggap terlalu membenani masyarakat.
“Kesepakatan antara produsen pabrikan dengan distributor yang bertanggung jawab untuk distribusi sampai ke pasar, akan mengikuti harga acuan sebesar Rp 12.500/kg. Itu garis besarnya,” kata Enggar.
Kesepakatan harga lewat intervensi ke distributor itu, sambungnya, sudah sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.
Data Kemendag, harga rata-rata gula pada Januari 2017 yakni sebesar Rp 14.087/kg atau turun 0,33% dibandingkan harga pada Desember 2016 sebesar Rp 14.133/kg. Harga rata-rata gula di beberapa daerah terendah yakni Yogjakarta Rp 12.933/kg, serta tertinggi di Tanjung Pinang, Tanjung Selor, dan Manokwari sebesar Rp 17.000/kg.
Bahaya Bila Swasta Impor Gula
Selain itu, Sumitro Samadikun, mengatakan kebijakan impor gula langsung dilakukan oleh pabrik gula (PG) gula rafinasi swasta serta distributornya itu berpotensi meningkatkan merembesnya gula rafinas ke pasar.
Gula rafinasi adalah gula yang harusnya dijual ke industri dan tidak dijual ke pasar sebagai gula konsumsi karena dapat merusak industri gula lokal.
“Justru potensi itu yang terbaca (rafinasi semakin merembes). Di situ gula konsumsi 400.000 ton didistribusikan lewat distributor yang selama ini jual gula dari produsen gula rafinasi,” ucap Sumitro.
Kekhawatirannya cukup beralasan karena beberapa waktu lalu, Bareskrim Mabes Polri mengungkap adanya kasus perembesan gula rafinasi skala besar yang diduga dilakukan oleh PT Berkah Manis Makmur (PT BMM) melalui PT Lyus Jaya Sentosa dan PT Duta Sugar Internasional (PT DSI).
“Gula rafinasi kan seharusnya oleh pabrik gula langsung dipasarkan ke industri makanan minuman, ini disalurkan lewat distributor. Jadinya dengan dia pegang 400.000 ton, dia bisa sekalian rembeskan gula rafinasinya ke pasar saat menjual gula konsumsi,” katanya lagi.
Tanpa impor gula mentah sekalipun, saat ini banyak perusahaan distributor nakal yang sengaja merembeskan gula rafinasi ke pasar. Dampaknya, rembesan gula rafinasi tersebut membuat gula konsumsi lokal anjlok.
“Kalau lewat distributor, kemudian (gula rafinasi) masuk ke konsumsi. Dalilnya apa distribusi seperti ini, enggak masuk di akal,” ujar Sumitro.
Sebagai informasi, beberapa produsen gula yang dapat izin impor tersebut antara lain PT Sentra Usahatama Jaya, PT Permata dunia Sukses Utama, PT Angels Product, PT Makassar Tene, PT Medan Sugar Industry, PT Jawa Manis Rafinasi, dan PT Duta Sugar International.
(dtf)