Petani Rugi Bila Gula Dijual Rp12.500 per Kilogram | Industri Lokal Terancam Mati

Pekerja memanggul tebu hasil tebangan menuju truk pengangkut di Tulungagung, Jawa Timur, Jumat (7/10). Petani mengeluhkan terus menurunnya rendemen tebu dari 6,5 persen menjadi 5,8 persen akibat hujan yang mengguyur daerah tersebut sejak Agustus hingga awal Oktober 2016 sehingga harga jual anjlok. ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko/pd/16

Jakarta – Dalam kesepakatannya dengan sejumlah produsen dan distributor, Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita, menetapkan harga gula yang dijual di pasar paling mahal Rp 12.500/kg. Selanjutnya, Mendag juga akan menemui produsen gula tebu dalam negeri agar ikut menekan harga gula sesuai keinginan pemerintah.

Ketua Umum Asosiasi Pe­tani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Sumitro Samadikun, mengungkapkan rencana Men­dag tersebut justru bakal me­matikan industri lokal. Yang diuntungkan dengan adanya kebijakan ini adalah perusahaan swasta yang mendapat izin impor.

Sementara, pelaku usaha dalam negeri khususnya akan semakin sulit bersaing. Karena, saat ini harga lelang gula petani yang dilakukan oleh pabrik gula sendiri saat ini sudah seki­tar Rp 12.500/kg. Sehingga sa­ngat tidak mungkin bagi indus­tri dalam negeri untuk memenu­hi ketetapan harga seperti yang diinginkan pemerintah, Rp 12.500/kg di tingkat konsu­­men.

“Sudah kita dapat rendemen rendah, sekarang diminta pe­merintah harga gula Rp 12.500/kg. Tahun 2013 harga gula jatuh karena impor kita dibiarkan, lelang gula saja sekarang Rp 12.000/kg, bagaimana kita mau jual Rp 12.500, rumusnya dari mana,” ucap Sumitro, Rabu (18/1).

Dia mengasumsikan, dengan produksi tebu petani per hektar sebesar 100 ton, maka dengan tingkat rendemen rata-rata nasional saat 6, maka didapat gula sebesar 6 ton. Setelah diba­gi dengan pabrik gula dengan rasio 64:36, maka gula yang diperoleh petani adalah 3,84 ton.

“3,84 ton ini dikalikan de­ngan harga lelang sekarang Rp 12.000/kg, petani men­dapatkan pendapatan dari gula Rp 48 juta. Nah sementara mo­dal tanam tebu, biaya tembang dan angkut, pupuk sampai sewa tanah paling murah to­talnya Rp 45 juta. Untungnya berapa itu, malah ada yang sampai biayanya Rp 50 juta,” jelas Sumitro.

Menurut dia, ketimbang pe­merintah menekan harga gula yang berakibat petani tebu merugi, sebaiknya pemerintah merevitalisasi atau membangun pabrik gula baru milik BUMN, agar tingkat rendemen bisa naik.

Sebagai informasi, rendemen tebu sendiri adalah kadar kan­dungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen. Bila dikatakan rendemen tebu 10%, artinya ialah bahwa dari 100 kg tebu yang digilingkan di Pabrik Gula akan diperoleh gula sebanyak 10 kg.

“Tanam tebu itu susah. Wak­­tunya juga setahun lebih, be­da dengan tanam padi 3 bu­lan sudah panen. Lebih ba­ik pemerintah bantu petani ting­katkan rendemen, itu pabrik-pabrik sudah tua tidak per­nah diganti. Kalau rendemen tinggi, otomatis harga gula bisa otomatis murah,” ujar Sumitro.

Sebelumnya, dalam per­te­­muannya dengan pabrikan dan distributor gula konsumsi, Men­dag menginginkan harga gula bisa ditekan hingga Rp 12.500/kg. Pasalnya harga rata-rata gula saat ini Rp 14.000/kg dianggap terlalu membenani masyarakat.

“Kesepakatan antara pro­dusen pabrikan dengan dis­tributor yang bertanggung jawab untuk distribusi sampai ke pasar, akan mengikuti harga acuan sebesar Rp 12.500/kg. Itu garis besarnya,” kata Enggar.

Kesepakatan harga lewat intervensi ke distributor itu, sambungnya, sudah sesuai de­ngan Peraturan Presiden No­mor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.

Data Kemendag, harga rata-rata gula pada Januari 2017 yakni sebesar Rp 14.087/kg atau turun 0,33% dibandingkan harga pada Desember 2016 sebesar Rp 14.133/kg. Harga rata-rata gula di beberapa daerah terendah yakni Yogjakarta Rp 12.933/kg, serta tertinggi di Tanjung Pinang, Tanjung Selor, dan Manokwari sebesar Rp 17.000/kg.

Bahaya Bila Swasta Impor Gula
Selain itu, Sumitro Samadi­kun, me­ngatakan kebijakan impor gula langsung dilakukan oleh pabrik gula (PG) gula rafina­si swasta serta distributornya itu berpotensi meningkatkan merembesnya gula rafinas ke pasar.

Gula rafinasi adalah gula yang harusnya dijual ke industri dan tidak dijual ke pasar sebagai gula konsumsi karena dapat merusak industri gula lokal.

“Justru potensi itu yang ter­baca (rafinasi semakin me­rembes). Di situ gula konsumsi 400.000 ton didistribusikan lewat distributor yang selama ini jual gula dari produsen gula rafinasi,” ucap Sumitro.

Kekhawatirannya cukup be­ralasan karena beberapa waktu lalu, Bareskrim Mabes Polri mengungkap adanya kasus pe­rembesan gula rafinasi skala besar yang diduga dilakukan oleh PT Berkah Manis Makmur (PT BMM) melalui PT Lyus Jaya Sentosa dan PT Duta Sugar Internasional (PT DSI).

“Gula rafinasi kan seharusnya oleh pabrik gula langsung di­pasarkan ke industri makanan minuman, ini disalurkan lewat distributor. Jadinya dengan dia pegang 400.000 ton, dia bisa sekalian rembeskan gula rafinasinya ke pasar saat menjual gula konsumsi,” katanya lagi.

Tanpa impor gula mentah sekalipun, saat ini banyak pe­rusahaan distributor nakal yang sengaja merembeskan gula rafinasi ke pasar. Dampaknya, rembesan gula rafinasi tersebut membuat gula konsumsi lokal anjlok.

“Kalau lewat distributor, ke­mudian (gula rafinasi) masuk ke konsumsi. Dalilnya apa distribusi seperti ini, enggak masuk di akal,” ujar Sumitro.

Sebagai informasi, beberapa produsen gula yang dapat izin impor tersebut antara lain PT Sentra Usahatama Jaya, PT Permata dunia Sukses Utama, PT Angels Product, PT Makassar Tene, PT Medan Sugar Industry, PT Jawa Manis Rafinasi, dan PT Duta Sugar International.
(dtf)

Close Ads X
Close Ads X