Banyak Lahan Tebu Berubah Jadi Real Estate

Seorang buruh tani membawa batang tebu yang telah dipanen di lahan pertanian Klego, Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (15/7). Pemerintah tengah menyiapkan skema bisnis untuk lahan pertanian tebu bagi pelaku industri
swasta, guna mendorong meningkatkan industri gula di dalam negeri. ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/aww/16.

Jakarta – Menteri Perdagangan Eng­gartiasto Lukita mengung­kapkan, Indonesia dalam be­­berapa tahun mendatang belum bisa terlepas dari ke­tergantungan atas impor gula konsumsi.

Pasalnya, kata dia, lahan tebu yang terus menyusut lantaran berubah jadi peruma­han. Selain itu banyak petani yang mengalihkan lahan te­bunya ke tanaman lain.

“Sampai kapan kita impor? (Swasembada gula) Itu belum bisa dicapai karena gula tebu masih kekurangan lahan untuk penanaman. Mau investasi (bangun pabrik gula) berapa pun tak masalah, mau Rp 1 triliun atau Rp 3 triliun,” ujar Enggar di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (16/1).

“Tapi sources (bahan baku) yang jadi soal. Sebagai con­­toh di kampung saya (Cirebon), dulu ada 5 pabrik gula di Cile­dug, Karangsuwung, Majalen­­­­ka, dan Kadipaten. Berkurang ja­di 3 pabrik, kemudian seka­rang turun lagi jadi tinggal 1 pabrik gula. Sama teman-teman saya, salah satunya lahan tebu sudah jadi real estate,” katanya lagi.

Alih fungsi lahan tebu ini, menurut Enggar, tak lepas dari pendapatan petani tebu yang jauh dari layak akibat rendahnya rendemen pabrik gula.

“Karena petani enggak da­­patkan imbal yang cukup. Ren­demen kadang dibohongin, rendemennya dapat sedikit. Kita lagi sama Menko Ekonomi sedang susun roadmap-nya,” ungkap mantan Ketua Real Estate Indonesia (REI) ini.

Dijelaskan Enggar, dengan kebutuhan gula konsumsi se­tiap tahun mencapai 3,2 juta ton, pabrik gula dalam negeri hanya mampu memproduksi 2,2 juta ton. Sementara sisanya sebesar 1 juta ton dipenuhi dari impor.
(dtf)

Close Ads X
Close Ads X