Pemerintah Diminta Fokus Tingkatkan Pendapatan Petani Tebu

Seorang buruh memotong bibit tebu untuk ditanam di Desa Jatilawang, Tegal, Jawa Tengah, Senin (23/5). Untuk mencapai target produksi gula 3,26 juta ton pada 2019, Kementerian BUMN menargetkan perluasan areal tebu secara bertahap hingga 357.177 hektar. ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/aww/16.
Seorang buruh memotong bibit tebu untuk ditanam di Desa Jatilawang, Tegal, Jawa Tengah, Senin (23/5). Untuk mencapai target produksi gula 3,26 juta ton pada 2019, Kementerian BUMN menargetkan perluasan areal tebu secara bertahap hingga 357.177 hektar. ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/aww/16.

Surabaya | Jurnal Asia
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPP APTRI), Abdul Wachid, mengatakan, rencana impor 381.000 ton gula mentah (raw sugar) yang diperuntukkan bagi PTPN, sebagai upaya untuk mensubsidi pendapatan petani tebu, merupakan hal yang wajar.

“Tujuan utamanya jelas, untuk meningkatkan pendapatan petani dengan pola subsidi, sebagai konsekuensi dari program pem­berian jaminan pendapatan petani setara dengan rendemen 8,5 persen. Hal ini menjadi terobosan baru dari Menteri BUMN yang patut didukung,” kata Abdul Wachid, dalam keterangan resminya, Rabu (25/5).

Menurut Wachid, upaya Menteri BUMN, Rini Soemarno, yang menjamin pendapatan petani tebu setara dengan 8,5 persen adalah kebijakan yang mempunyai tujuan mulia. “Selama ini, lebih 70 persen petani punya rendemen tebu mereka di bawah 8,5 persen, sehingga kalau Menteri BUMN ingin memberikan jaminan pendapatan setara 8,5 persen dengan ditopang dari pendapatan pabrik gula (PG) mengolah raw sugar, maka hal itu patut dihargai,” kata dia.

Abdul Wachid mengingatkan, pemerintah sendiri telah meng­gagas program dan visi ke depan pada pencapaian percepatan swasembada gula. Karenanya, lanjut dia, pemerintah tidak boleh terjebak pada agenda tersembunyi pihak tertentu. Dalam hal ini, Wachid memminta pemerintah untuk fokus pada peningkatan pendapatan petani dan revitalisasi PG.

“Bila ada kelompok me­nga­tasnamakan petani yang tiba-tiba menolak PTPN untuk melakukan impor raw sugar, padahal jelas-jelas bahwa impor tersebut terkait dengan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan petani, merupakan hal yang patut diwaspadai. Apalagi, merekalah yang sebelumnya menyetujui impor jutaan ton untuk industri gula non PTPN,” kata Wachid.

Dalam kaitan ini, kata dia, pihaknya menunjuk pada kasus pengajuan permohonan impor gula mentah oleh tujuh PG swasta pada 2015 lalu yang angkanya mencapai 775.000 ton dengan alasan sebagai fasilitasi investasi dan commitioning test serta pemanfaatan idle capacity untuk investasi revitalisasi PG.

“Itu belum termasuk impor raw sugar yang dilakukan oleh sebelas PG Rafinasi yang jumlahnya mencapai jutaan ton dan peredaran serta pendistribusiannya sering bocor ke pasar dan dijual sebagai gula konsumsi,” ungkap Wachid.

Anehnya, lanjut dia, pengajuan impor gula mentah oleh PG swasta yang jelas-jelas tidak berperan secara signifikan terhadap petani tebu malah didiamkan bahkan mendapat rekomendasi dari pihak penentang yang me­ngatasnamakan petani tebu tersebut.

Sementara, lanjut Wachid, impor yang jumlahnya pro­porsional dan ditujukan untuk mensubsidi pendapatan petani, untuk mensejahterakan petani dan dilakukan oleh BUMN malah ditentang. “Ini kan aneh, dan perlu di­pertanyakan. Ada kepentingan apa di balik penentangan impor gula mentah oleh PTPN dan untuk kepentingan ‘siapa’ rekomendasi impor raw sugar yang di­berikan oleh organisasi yang mengatasnamakan organisasi petani tebu ke PG swasta itu,” tambahnya. (bs)

Close Ads X
Close Ads X