Tiga Negara Siap Dongkrak Harga Karet

Buruh menata kaleng berisi getah karet yang disadap dari hutan karet Tlogo, Tuntang, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Senin (12/10). Produksi getah karet daerah setempat mengalami penurunan sekitar 50 persen karena banyak daun pohon karet yang rontok dan rentan serangan jamur selama musim kemarau sehingga berdampak pada tidak maksimalnya proses produksi getah karet pada pohon. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/ama/15.
Buruh menata kaleng berisi getah karet yang disadap dari hutan karet Tlogo, Tuntang, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Senin (12/10). Produksi getah karet daerah setempat mengalami penurunan sekitar 50 persen karena banyak daun pohon karet yang rontok dan rentan serangan jamur selama musim kemarau sehingga berdampak pada tidak maksimalnya proses produksi getah karet pada pohon. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/ama/15.

Jakarta | Jurnal Asia
Kerjasama tiga negara produsen karet alam yaitu Indonesia, Thailand dan Malaysia untuk melakukan pengurangan volume ekspor sebesar 615 ribu ton sejak Maret hingga 31 Agustus 2016, mulai mendongkrak harga karet di pasar internasional. Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Kalsel dan Kalimantan Tengah Andreas Winata mengatakan, kini harga karet internasional dari Kalimantan Selatan mulai merangkak naik dari sebelumnya Rp12 ribu per kilogram menjadi Rp16 ribu per kilogram.

Menurut Andreas, upaya pemerintah melalui Gapkindo melakukan perjanjian dengan tiga negara yang tergabung dalam “International Tripartite Rubber Council (ITRC) tersebut cukup berhasil.
“Dari 615 ribu ton tersebut, khusus Kalsel dan Kalteng pengurangannya sebesar 80 ribu ton selama enam bulan,” katanya, Jakarta, Minggu (24/4).

Pengurangan tersebut, tambah dia, tampaknya membuat pasar internasional menjadi panik, karena barang di pasaran ber­kurang, sehingga secara perlahan mendongkrak harga karet.
Apalagi, beberapa negara produsen karet lainnya, kini sedang mengalami musim kemarau, sehingga hasil sadapnya berkurang drastis.

Kebijakan pengurangan vo­lume ekspor tersebut, kata dia, pada dasarnya cukup merugikan bagi para pengusaha, karena berkurangnya pengiriman karet tentu berkurang juga pendapatan, sementara pengusaha banyak memiliki beban kredit.

Namun, kata dia, upaya ter­sebut harus tetap ditempuh karena saat ini yang terpenting adalah mendorong petani agar bersedia kembali menyadap po­hon karetnya. Pengurangan 80 ribu ton sela­ma enam bulan, kata dia, bukanlah jumlah yang sedikit, sehingga perlu perhitungan yang tepat bagi pengusaha, untuk mengatur kuota pengiriman karet tersebut. “Dengan terdongkraknya harga, saya harap sebagian petani yang sebelumnya mulai meninggalkan ladangnya, kembali menyadap karet,” katanya.

Mengatasi berlimpahnya karet di daerah akibat pengurangan tersebut, kata dia, pengusaha kini lebih selektif untuk melakukan pembelian, jangan sampah bokar-bokar menumpuk di dalam gudang.

Sehingga, kata dia, pen­gu­sahapun akan lebih selektif untuk menerima pembelian bokar dengan kualitas bagus, dengan harapan akan mampu melatih petani untuk bisa menghasilkan bokar lebih bagus dan bersih. Selama ini, bokar dari petani banyak bercampur kerikil dan sampah lainnya, sehingga har­ganyapun menjadi rendah.
(oz)

Close Ads X
Close Ads X