Medan |Jurnal Asia
Ketua Komisi Perlindungan anak Indonesia (KPAI) Provinsi Sumatera Utara, Zahrin Piliang menilai sudah saatnya Kota Medan sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara memiliki rumah penampungan atau rumah aman yang berfungsi menangani kasus-kasus human trafficking (perdagangan manusia), juga anak-anak yang sifatnya sementara, sebelum ada penanganan lebih lanjut.
“Saya kira sudah saatnya Medan punya rumah aman, artinya rumah itu benar-benar aman dengan menyiapkan tenaga pendamping yang terus menerus dan sifatnya penanganan korban sementara,” kata Zahrin saat menghadiri pembahasan rancangan peraturan daerah (Ranperda) Human Trafficking bersama Panitia Khusus (Pansus) dari DPRD Kota Medan, Kamis (11/2) di ruang Badan Anggaran (Banggar) lantai dua DPRD Medan.
Zahrin mengatakan, melihat kondisi saat ini Kota Medan dinilai sangat layak memiliki rumah penampungan atau rumah aman tersebut. ”Bukan rumah singgah, itu tak selesaikan masalah. Kalau rumah aman itu memang rumah yang benar-benar aman, dengan menyiapkan pendamping,” katanya.
Zahrin juga menilai keberadaan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang tidak termasuk dalam organ struktur di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) hanya sekedar ada. Karena mereka-mereka yang bergabung di P2TP2A, bukan secara khusus disiapkan pemerintah.
Lebih lanjut, Zahrin mengatakan tidak menyetujui bila kasus human trafficking terbilang tinggi di Kota Medan. Hal ini seperti yang tertera di dalam draft Ranperda tersebut. Untuk di KPAIDSU sendiri tahun 2015 menerima 7 kasus perdagangan orang, sementara di tahun 2014 sebanyak 6 kasus.
“Memang ada tren peningkatan. Tapi jika dibandingkan dari kasus kekerasan anak dan perempuan, lebih besar lagi kejahatan seksual seksual terhadap anak. Di Sumut saja kasus kejahatan seksual terhadap anak mendominasi di urutan kedua setelah rebutan kuasa asuh,” ujarnya.
Dia juga mengomentari salah satu undang-undang yang tertera dalam draft tersebut, padahal undang-undang tersebut sudah diganti dengan undang-undang lainnya. Lalu, Zahrin kembali mengomentari mengenai pemberian restitusi (ganti kerugian,red) kepada korban. Sepanjang ia memenangani kasus di KPAIDSU, belum pernah ada korban yang mendapat restitusi.
“Kami pernah mengajukan restitusi untuk korban human trafficking *Di pengadilan dimenangkan permintaan kami. Tapi eksekusinya tidak ada. Artinya, kemenangan hanya ada di atas kertas saja,” ungkapnya.
Untuk itu, menurutnya, Pemerintah Kota (Pemko) Medan perlu melakukan langkah-langkah khusus agar warga Medan tidak masuk ke dalam jebakan human trafficking. emko medan harus melakukan koordinasi dengan kepolisian untuk penanganan korban.
“Penanganannya ini perlu kerjasama semua pihak, seperti kepolisian, badan pemberdayaan perempuan, dinsos, dinas pendidikan dan dinas kesehatan. Sebab kalau selama ini korban sudah ada mau dimana ditampung? Bagaimana koordinasinya dengan daerah asal si korban? Ini antar kota antar provinsi. Yang menjadi korban itu pihak luar. Tempat penampungannya dimana? Siapa yang mendampinginya, berapa lama? Berapa biayanya? Itu harus dipikirkan,”ujar mantan politisi PPP ini.
Adanya rumah aman, ditegaskan Zahrin dapat menampung seseorang yang memerlukan penanganan khusus sebelum kembali ke daerah asal. Perlu adanya rehabilitasi psikis. Sebenarnya ini yang perlu dilakukan Pemko Medan. Tapi sampai saat ini enggak ada.
Masukan terpenting disampaikan Zahrin Pilian kembali, agar Pansus Ranperda Human Trafficking DPRD Kota Medan mengoreksi judul Ranperda yang kecenderungannya menggunakan bahasa asing.
”Menurut saya kata trafficking itu harus diganti menggunaan Bahasa Indonesia. Penggunaan kata trafficking juga dinilai tak pas, saat melihat dibagian menimbang dari Ranperda dikaitkan dengan perdagangan orang,”kritiknya pada pimpinan rapat Pansus yang diketuai Irsal Fikri dari Fraksi PPP DPRD Medan tersebut.
Menyahuti sejumlah masukan tersebut, seluruh anggota Pansus Ranperda Trafficking yang hadir seperti Hendrik H Sitompul, M Yusuf, Wong Chun Sen, Beston Sinaga dan Edward HUtabarat, sepekat dengan ketua Pansus agar dilakukan perombakan terhadap draft Ranperda tersebut.
Namun sayangnya di pertemuan tersebut, anggota Pansus tidak melihat kehadiran bagian hukum Pemko Medan yang sebenarnya cukup berperan dalam penyusunan draf itu. “Ini sangat luar biasa sekali masukan-masukannya. Saya awalnya agakhilang harapan. Tapi mendengar ini semua sepertinya ada pencerahan. Baik akan kita lanjutkan rapat ini dengan draf yang lebih matang,” papar Irsal. (mag-01)