Perkara Membludak, Calo Sidang Tilang Berkeliaran

Mantan Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa (kanan) bersama Mantan Komisioner KPK Chandra M. Hamzah menjadi pembicara dalam diskusi yang diselenggaran oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) di Jakarta, Rabu (25/11). Diskusi itu membahas penanganan perkara pelanggaran lalu lintas oleh pengadilan negeri. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/nz/15
Mantan Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa (kanan) bersama Mantan Komisioner KPK Chandra M. Hamzah menjadi pembicara dalam diskusi yang diselenggaran oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) di Jakarta, Rabu (25/11). Diskusi itu membahas penanganan perkara pelanggaran lalu lintas oleh pengadilan negeri. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/nz/15

Persoalan tilang merupakan masalah lama yang penyelesaiannya tidak pernah tuntas. Apalagi perkara tilang di Pengadilan Negeri melebihi tiga juta perkara dan memunculkan banyak permasalahan, seperti keberadaan calo-calo serta persidangan yang memakan banyak waktu

Demikian ungkap Mantan Ketua Mah­­kamah Agung (MA), Harifin Tumpa. “Kalau ibarat makanan, ini su­dah basi. Akan tetapi, tilang ini sen­diri tidak pernah diusahakan penyelesaiannya dengan tuntas,” kata Harifin dalam acara diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (25/11).

Menurut Harifin, pengadilan harus mempersiapkan diri untuk menangani persoalan-persoalan yang ditimbulkan dari tingginya angka perkara tilang. Terlebih lagi, Jakarta merupakan kota dengan perkara tilang terbanyak se-Indonesia. Solusi pertama yang ditawarkannya adalah menyediakan waktu sidang tilang di luar jam kerja.

“Saya bilang, pengadilan harus membuat terobosan. Terobosan yang bisa dilakukan adalah menyediakan waktu (sidang) tilang di luar jam kerja. Pada malam hari misalnya,” tutur dia.
Jika waktu malam hari tak me­­mungkinkan, maka pilihan lain­nya, menurut Harifin, adalah menyediakan waktu sidang tilang pada akhir pekan. Selain itu, hakim secara bergilir diberi tugas untuk menyelesaikan perkara tersebut.

Namun, menurut dia, yang mungkin membuat usulan tersebut tak dijalankan adalah kondisi bahwa hakim juga perlu dibayar jika bekerja di luar jam kerja mereka. “Nah, ini yang belum terako­mo­dasi dalam anggaran,” kata dia.

Solusi kedua adalah kesepakatan antara penegak hukum, dalam hal ini polisi, jaksa, dan hakim, untuk menyepakati bahwa persidangan tilang tak perlu dihadiri oleh pelaku atau pelanggar. “Ini dimungkinkan oleh undang-undang. Kalau baca KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), dikatakan bahwa jika si terdakwa tidak hadir, maka sidang bisa jalan terus. Namun, selama ini ada kesan bahwa tilang seolah wajib dihadiri,” ujar Harifin.

Di dalam Pasal 213 KUHAP disebutkan bahwa terdakwa dapat menunjuk seseorang dengan surat untuk mewakilinya dalam sidang. Adapun pada Pasal 214 ayat (1) dijelaskan bahwa jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir dalam persidangan, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan. “Kedua cara ini dalam waktu singkat dapat dilaksanakan. Tidak perlu ada perubahan apa-apa. Cukup kesepakatan di antara penegak hukum,” ujar Harifin.

Ubah Undang-undang
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, M. Nur Sholikin menuturkan, perkara tilang menempati peringkat teratas dari keseluruhan perkara yang ditangani Pengadilan Negeri (PN).

Dari total lebih dari tiga juta perkara pidana yang ditangani PN, perkara tilang mencapai lebih dari 96 persen. Maka dari itu, Sholikin mengusulkan dalam jangka panjang untuk mengubah peraturan perundang-undangan agar tidak semua perkara tilang diajukan ke pengadilan. Terutama, kata dia, untuk perkara tilang di mana pelanggar telah mengakui kesalahannya.
“Ketika sudah mengakui, tidak perlu ikut sidang di pengadilan,” ujar Sholikin dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (25/11).

Usulan agar perkara tilang tidak semuanya dibawa ke meja hijau ini mempertimbangkan tingginya jumlah perkara. Apalagi, saat kepolisian memberlakukan razia yang jumlah pelanggarannya bisa mencapai ribuan. “Bisa kita bayangkan ribuan pelanggar datang ke pengadilan dalam waktu yang sama,” sambung dia.

Lantaran mengubah undang-undang perlu waktu yang lama, Sholikin mengajukan agar Mahkamah Agung (MA) menebritkan kebijakan untuk membenahi penanganan tilang terlebih dulu. Dia mendorong MA membuat standar nasional penanganan perkara tilang sehingga bisa pengadilan bisa memberikan pelayanan yang baik.

Selain itu, dia juga menilai sudah saatnya Surat Kesepakatan Bersama antara Kepolisian, Kejaksaan dan MA tentang penanganan tilang pada tahun 1993 direvisi. “Acuan dari SKB itu sudah banyak perubahan. Sehingga sudah berbeda. Kami juga mengusulkan untuk MA berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dan Kepolisian untuk mengelola perbaikan-perbaikan dalam penanganan perkara tilang,” kata Nur Sholikin.

Pelanggaran Administratif Saja
Praktisi Hukum, Chandra M. Hamzah menuturkan, perkara tilang merupakan hal kecil yang menjadi besar karena menimbulkan beban yang besar bagi pengadilan. Menurut dia, salah satu solusi menghilangkan beban tersebut adalah dengan mengubah Undang-Undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Perubahan dengan menyatakan perkara tilang sebagai pelanggaran administratif bukan sebagai pelanggaran pidana.

“Kenapa tidak dengan beraninya pelanggaran ini dinyatakan bukan pidana, adminiatratif saja. Seperti buang sampah di jalan,” kata Chandra dalam acara diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (25/11).

Dengan menyatakan tilang sebagai pelanggaran administratif, menurut Chandra, maka kepolisian bisa menjatuhkan hukuman langsung di tempat. Ia menambahkan, jika pelanggar tidak menerima maka barulah dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), termasuk jika menerima keputusan administratif yang bersifat negatif.

“Jadi kenapa kita tidak menyatakan pelanggaran lalu lintas ini masuk dalam ranah administrasi? Ini bisa menyederhanakan proses,” ujar mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini.

Namun, Chandra menambahkan, pelanggaran lalu lintas lain yang menyebabkan hilangnya nyawa orang tetap perlu dimasukkan ke ranah pidana. Menurut dia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga sudah mengatur itu.

“Yang ingin kita kurangi adalah beban semua orang. Di pengadilan, si pelanggar dan aparat hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran yang termasuk pelanggaran kecil itu bisa dimasukkan ke dalam kewenangan administratif,” kata Chandra. (kcm) Pengadilan Negeri Dipastikan Kewalahan

Close Ads X
Close Ads X