Budaya Suap di DPR

Mengapa anggota DPR masih saja melakukan korupsi dan menerima suap? Entahlah, padahal mereka adalah orang-orang yang terpelajar, bertitel, berpendidikan dan terhormat. Namun anehnya tetap saja menutup mata untuk kejahatan-kejahatan yang berbau duit tersebut. Seperti yang dialami anggota DPR RI dari Partai Hanura, Dewie Yasin Limpo menjadi tersangka suap Rp1,7 Miliar. Ia pun kini menjadi pesakitan di tahanan KPK.

Tahukah anda, kalau sistem dan suasana kebatinan oknum di DPR sendiri diduga sudah bobrok dan busuk. Setelah terpilih menjad anggota DPR, politisi mau tidak mau harus masuk dan betah berada di tengah struktur dan suasana kebatinan yang bobrok. Pilihannya, mengikuti arus dengan mengambil sedikit keuntungan beerbentuk rente ekonomi atau mencoba tetap bertahan bersikap jujur dengan konsekuensi akan dikucilkan oleh teman-teman Anggota Dewan yang lain. Kebanyakan anggota DPR “kepincut” untuk ikut bermain karena godaan untuk ikut memang berseliweran dalam keseharian mereka di DPR.

Sebagai kader Partai Politik, politisi punya kewajiban membayar iuran dan sumbangan kepada Partainya, baik pusat maupun daerah. Kebijakan iuran dan sumbangan tersebut sendiri tergantung kepada kebijakan masing-masing Partai tersebut. (Hal ini biasanya tertulis dalam AD/ART Partai). Akan tetapi di luar itu, juga melihat bahwa Partai Politik melihat politisinya di DPR sebagai sumber pembiayaan Partai, di luar iuran (wajib) dan sumbangan (sukarela) yang dimaksud.

Iuran (wajib) dan sumbangan (sukarela) adalah hal yang wajar dalam sebuah organisasi ataupun Partai, karna membesarkan dan mengurus organisasi atapun Partai memang membutuhkan biaya. Tapi yang sering terjadi dan sangat disayangkan adalah di luar dari Iuran (wajib) dan sumbangan (sukarela) para politisi DPR seringkali mendapatkan tuntutan permintaan dana lain dari partai. Selain itu, Anggota DPR juga harus membiayai hubungan politiknya dengan konstituen khususunya (Daerah Pemilihannya).

Di kantor saja dipastikan akan banyak masuk proposal dan tamu yang akan datang yang meminta bantuan dana, secara langsung ataupun tidak langsung. Sedang ke konstituen di daerah pemilihannya dana yang akan keluar bergantung bagaimana pola hubungan yang dijalin politisi tersebut. Biaya akan membesar ketika politisi cenderung menggunakan pendekatan “uang tunai” (money politic) dalam memelihara hubungan politiknya, seperti membagi-bagikan uang atau barang untuk mengikat dukungan pemilih pada Pemilu berikutnya.

Sistem Pemilu bangsa kita memang secara umum memerlukan biaya politik yang mahal untuk melakukan sosialisasi ataupun kampanye. Bukan saja bersaing dengan politisi dari partai-partai lain, persaingan juga terjadi di dalam partai sendiri. Biaya Pemilu yang mahal itu tentu saja harus dibayar oleh politisi tersebut saat menjadi anggota DPR nanti, belum lagi dia juga harus menyiapkan dana untuk Pencalegan Pemilu berikutnya jika dia ingin maju kembali. Jika seorang politisi tersebut didanai oleh kelompok bisnis atau pengusaha tertentu, pola korupsinya lebih pada kebijakan yang dibuat yang akan menguntungkan kelompok bisnis atau pengusaha yang telah menjadi donaturnya. Korupsi di DPR terjadi akibat besarnya kewenangan. Kewenangan besar yang dimiliki DPR dalam penentuan APBN bisa menjadi alat korupsi.

Ketiga, rekrutmen kader dan Caleg oleh Partai yang asal-asalan. Rekrutmen kader yang buruk, apa lagi tanpa perkaderan yang baik, menjadi penyebab banyaknya politisi yang tidak berintegritas. Akibatnya membuat seseorang mencari pekerjaan menjadi politisi dan masuk parlemen untuk memperkaya diri. Partai harus melihat track record setiap politisi, yang sangat pragmatis adalah partai sering kali membuat keputusan yang penting si calon potensial untuk lolos ke senayan karena modalnya besar atau kepopuleran namanya.

Inilah yang nantinya menyebabkan anggota DPR tidak bekerja memperjuangkan rakyat dan tidak amanah. Jadi prakterk-praktek korupsi dalam berbagai bentuk di DPR tidak mungkin dihentikan apabila akar persoalannya tidak menjadi prioritas untuk dibenahi. Seperti aturan pendanaan Partai, sistem rekrutmen kader dan Caleg oleh Partai, pendanaan Pemilu dan sistem Pemilu, termasuk waktu pelaksanaan Pemilu Legislatig dan Presiden menjadi Pemilu serentak agar biaya pelaksanaan dapat lebih murah.

“Lebih baik mencegah dari pada mengobati” Inilah yang harus kita lakukan, karna persoalan korupsi kembali kepada individu masing-masing. Ada baiknya kita membuat pendidikan tentang korupsi sejak dini, kalau perlu di masukan ke dalam kurikulum mulai dari tingkat Sekolah Dasar. “Kalau bukan kita siapa lagi? Kalau bukan sekarang kapan lagi?” (*)

Close Ads X
Close Ads X