Harga Anjlok Hanya 20%, Perusahaan Tambang Batu Bara Beroperasi

Jakarta | Jurnal Asia
Harga batu bara yang terjun bebas sejak 2012 membuat industri tambang dalam negeri banyak menutup operasi tambangnya. Tercatat saat ini hanya 20% perusahaan tambang batu bara yang beroperasi dari 3.000 perusahaan di Indonesia.

Deputi Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengungkapkan, sudah ada ribuan perusahaan batu bara yang berhenti beroperasi. “Pak Dirjen (Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM) kan bilang izin ada 4000-an, kalau yang batu bara sekitar 3000-an izin, tapi yang (masih) produksi yah kemarin catatan kami 600-700 yah (20%),” kata Hendra di Kantor Dirjen Minerba Jakarta Selatan, kemarin.

Menurutnya, dengan harga komoditas emas hitam ini yang terus anjlok, daftar perusahaan yang berhenti beroperasi dipastikan semakin bertambah. “Sekarang nggak tahu yang masih operasi berapa, yang pasti sudah banyak yang tutup,” jelas Hendra.

Ia melanjutkan, sebagian perusahaan yang menutup usaha karena margin yang semakin tipis, beberapa di antaranya sudah gulung tikar. “Yah di Sumatera, di Jambi dan Sumsel, kan di sana kalorinya rendah. Jumlahnya kita nggak tahu persis, karena itu kan di daerah. Yang di data Minerba (ESDM) kan PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) sama PMA (penanaman modal asing) yang bisa dikontrol, yang di daerah kan ratusan. Ada PHK lapornya ke daerah, dan nggak lapor ke sini (minerba),” ungkap Hendra.

Kendati demikian, lanjut Hendra, pihaknya belum bisa memastikan berapa jumlah pasti perusahaan gulung tikar, tapi yang pasti cukup banyak. Menurut Hendra, berhentinya kegiatan pertambangan batu bara ini membuat perusahaan-perusahaan batu bara di 2 provinsi tersebut terpaksa melakukan PHK pada pekerjanya. “Ada PHK lapornya ke daerah, dan nggak lapor ke sini (Minerba),” katanya.

Hendra mengungkapkan, kualitas batu bara yang rendah membuat harga batu bara asal Sumatra jauh lebih rendah dibandingkan dengan batu bara asal Kalimantan, sehingga membuat industri batu bara di pulau tersebut paling terimbas dampak anjloknya harga batu bara global.

Mengutip data Kementrian ESDM, harga batu bara dengan kandungan kalori 7.000 saat ini dihargai pada kisaran US$ 63,75/ton. Harga komoditas batu bara terus menurun sejak 2012, komoditas ini pada waktu itu masih dihargai sebesar US$ 103,89/ton.

Harga batu bara acuan bulan Juni 2015 turun US$ 1,49 atau 2,4% menjadi hanya US$ 59,59/ton, dibandingkan harga bulan sebelumnya US$ 61,08/ton. Harga batu bara pada Juni 2014 mencapai US$ 73,64/ton. Artinya bila dibandingkan year on year, harga batu bara anjlok 19% atau sebesar US$ 14,05/ton.

Kondisi yang sama ternyata juga terjadi di Tiongkok, yang juga merupakan produsen batu bara terbesar di dunia. “Kurang lebih di Tiongkok sama seperti di Indonesia. Bahkan 80% industri batu bara yang minus atau negatif,” kata Hendra lagi.

Kondisi kritis industri batu bara di Tiongkok ini lebih parah ketimbang nasib perusahaan-perusahaan batubara di Indonesia. “Di Indonesia, kisarannya pada Desember tahun lalu itu saja sudah 40%. Tapi kan dengan berjalannya waktu, prediksi saya pasti lebih, sekarang 60% sudah minus (menghentikan produksi) perusahaan-perusahaan tambangnya,” tutur Hendra.

Hingga saat ini, Tiongkok tercatat sebagai negara yang paling banyak mengimpor batu bara asal Indonesia. Perlambatan ekonomi di negara tersebut berimbas negatif pada permintaan batu bara dunia, sehingga harganya jatuh dibandingkan tahun lalu. “Sebelum krisis saja, kita ekspor 100-an juta ton lebih ke Tiongkok, kita total ekspor setahun 300 juta ton lebih, Tiongkok sekitar 40%,” tandas Hendra.

Penambang Ilegal
Di sisi lain Hendra mengatakan, harga batu bara penambang ilegal jauh lebih murah, membuat harga salah satu komoditas energi paling penting setelah migas ini semakin merosot.
Hendra mengungkapkan, untuk memperbaiki harga batu bara yang kini untuk jenis kalori rendah hanya US$ 36/ton, pemerintah seharusnya bisa memberantas praktik tambang liar, terutama yang banyak di Sumatera dan Kalimantan. “Yang ilegal-ilegal ini harus diberantas. Mungkin bisa pengaruh ke harga, karena ini kan yang ilegal ada yang puluhan juta per tambang ilegal,” ujar Hendra.

Menurut Hendra, penertiban tambang-tambang liar akan cukup membantu menaikkan harga batu bara di dalam negeri. “Kalau itu bisa diterapkan dengan diberantas, mungkin ada perubahan harga agar suplai nggak banyak, tapi nggak akan terlalu signifikan,” jelasnya.

Meski tak akan mendongkrak harga secara siginifikan, sambung Hendra, dalam jangka panjang, pemberantasan tambang liar akan menciptakan iklim harga yang sehat. “Bisa berubah harganya, karena yang jatuhin harga batubara kan salah satunya dari yang ilegal-ilegal ini juga. Mereka nggak bayar pajak, nggak bayar ini itu jadi mereka bisa jual lebih murah. Itu akhirnya yang lain pembeli beli yang lebih murah dari yang ilegal,” katanya. (dc)

Close Ads X
Close Ads X