Ekspor Biji Coklat Sumut “Terjun Bebas” Hingga 73 Persen

Medan | Jurnal Asia
Kendati masih adanya hangguan hama yang menyebabkan produksi turun ditambah Pantai Gading dan Ghana sedang panen raya mengakibatkan ekspor biji coklat Sumatera Utara (Sumut) “terjun bebas”. Tercatat, hingga April 2015, nilai ekspor biji coklat turun 73,11 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.

Dari data Surat Keterangan Asal (SKA) Sumut, nilai ekspor biji coklat dari periode Januari-April 2015 turun 73,11 persen dari USD14,71 juta dengan volume 3.058 ton pada periode yang sama tahun lalu menjadi USD3,95 juta dengan volume sebesar 3.972 ton pada tahun ini.

Kepala Seksi Hasil Pertanian dan Pertambangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sumut Subdis Perdagangan Luar Negeri, Fitra Kurnia mengatakan, banyak masalah yang menimpa biji coklat sehingga membuat nilai ekspor komoditas ini turun cukup signifikan.

Dari dalam negeri, produksi terganggu karena perubahan iklim cukup ekstrim ditambah lagi ada gangguan hama. “Memang masih ada yang produksi, namun kualitasnya tidak akan bagus jadi tidak sesuai dengan permintaan eksportir. Karenanya petani memilih tidak ekspor. Jadi bisa dikatakan biji coklat dari sini yang tidak ada makanya nilai ekspor turun signifikan,” katanya di ruang kerjanya, Selasa (26/5).

Bukan hanya masalah dalam negeri, tambahnya, faktor eksternal juga mem­pengaruhi nilai ekspor. Di mana pengaruh besarnya adalah negara Pantai Gading dan Ghana sudah memasuki panen raya sehingga biji coklat dari dua negara ini membanjiri pasar internasional. Dua negara ini merupakan produsen utama biji coklat jadi ketika keduanya panen raya maka permintaan ke Sumut akan turun.

Permintaan dari negara utama peng­impor juga turun hanya dari dua negara yaitu Malaysia dan Singapura. Jumlah importir itu berkurang dari tahun lalu karena masih ada permintaan dari Srilanka. Bahkan pada 2013, negara Spanyol, Amerika Serikat (AS) dan Belanda masih mengimpor biji coklat dari Sumut. “Negara yang setia mengimpor biji coklat dari Sumut itu adalah Malaysia dan Singapura. Setahun belakangan ini mereka tetap memilih biji coklat dari Sumut,” ucapnya.

Terpisah, Petani kakao di Kabupaten Dairi, Romell mengatakan, penurunan permintaan juga dikarenakan harga di tingkat lokal relatif lebih tinggi dibandingkan ekspor. Saat ini sudah mengalami penurunan dari sebelumnya Rp30.000 per kg jadi Rp23.000 per kg.

“Selain faktor harga, eksportir kurang semangat melakukan ekspor karena hanya sedikit yang memproduksi biji coklat. Saat ini produksi kakao pada umumnya atau 70 persen berasal dari Sulawesi dan sisanya dari Sumatera. Sedangkan untuk sentra-sentra kakao di Sumatera berada di Aceh, Deliserdang, Tanjungbalai, dan lainnya,” tandasnya.
(netty)

Close Ads X
Close Ads X