Kasus Delay Penerbangan Marak | Tolak Refund Tiket Maskapai Didenda Rp2 Miliar

Jakarta | Jurnal Asia
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Ardiansyah Parman mengatakan maskapai yang mencantumkan peraturan bahwa tiket tidak bisa dibatalkan atau refund, bisa dikenakan sanksi hukum.

Menurut dia, hal tersebut bertentangan dengan Pasal 62 Ayat 1 UU No. 8 Tahun 1999 mengenai perlindungan konsumen, dengan ancaman penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp 2 miliar.
“Ke depan (BPKN) dan kementerian terkait (perhubungan) perlu melakukan pengawasan pada klausul baku/dokumen perjanjian maskapai. Karena di UU No. 8 tersebut ada 8 butir yang mengatur hak konsumen dan klausul baku itu melanggar salah satunya,” jelas Ardiansyah, Selasa (7/4).

Selain penegasan terhadap klausul baku tersebut, BPKN akan merekomendasikan kepada Kementerian Perhubungan untuk mengeluarkan ketentuan untuk mengatur pembatalan tiket dikarenakan konsumen.

“Saat ini ketentuan yang diatur dalam Permenhub No. 77 dan 92 tahun 2011, baru mengatur pembatalan tiket dikarenakan pelaku usaha saja, belum karena konsumen,” jelas Ardiansyah.
Koordinator Komisi III BPKN, Djainal Abidin, mengatakan dirinya kaget ketika dalam forum ada salah satu maskapai yang mengaku menggunakan klausul baku tersebut. “Meski sudah ada peraturannya tapi masih ada yang melanggar UU No. 8 tahun 1999 tersebut. Entah dibaca atau tidak peraturan tersebut ketika membuat maskapai,” terang Djainal dalam acara yang sama.

Hal senada juga disampaikan oleh perkataan Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Penjual Tiket Penerbangan Indonesia (Astindo), Rudiana. Meski sudah tercantum di UU PK No. 8 tahun 1999, namun masih banyak maskapai penerbangan yang mencantumkan tiket no-refund atau no-reroute tersebut.

“Di UU PK No. 8 ini memang ditulis bahwa tidak boleh ada klausal yang menyatakan bahwa barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan, tapi hampir di semua airline ada tulisan itu. Ditulis jelas bahwa tiket ini tidak bisa dikembalikan,” kata Rudiana dalam acara yang sama.

-Agen Perjalanan Daring Bisa Timbulkan Masalah
Wakil Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Penjual Tiket Penerbangan (Astindo), Rudiana mengkhawatirkan maraknya agen perjalanan daring (online) yang tidak memiliki kantor secara fisik. Menurut dia, hal tersebut akan menyulitkan konsumen jika terjadi pembatalan tiket atau proses refund. “Nah di Indonesia apakah ada peraturan yang jelas mengenai perusahaan online. Kalau terjadi refund, Anda mau datang ke mana? Kalau misalkan anda beli meja saya secara online, anda beli barang ga datang mau komplain ke siapa,” jelas Rudiana dalam Forum Badan Perlindungan Konsumen, di Jakarta, Selasa (7/4).

Kemudian Rudiana mengatakan, kekurangan dari agen perjalanan daring tanpa kantor ini adalah tidak adanya pelayanan setelah pembelian tiket. Menurut dia, tidak semua orang cocok dengan pembelian tiket secara daring. “Lalu after sales service-nya, tentu akan mengurangi service ke tamu. Lagipula belum tentu by digital/IT bisa memuaskan semua konsumen,” tutur Rudiana.

Selain itu, Rudiana juga menyoroti soal kebijakan Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan beberapa waktu lalu untuk meniadakan loket tiket di bandara. Menurut dia, lebih baik pemerintah fokus kepada pembersihan calo-calo yang menjadi sumber permasalahan bukan menutup penjualan tiket di loket. “Pertanyaan gampang saya begini, lumbung Anda ada tikus, masa Anda bakar lumbungnya, tangkap tikusnya saja kan alias calonya yang ditangkap. Kalau ditutup orang ke mana, mau online? Apakah semua orang Indonesia sudah ngerti beli tiket online,” tutur Rudiana.

-Silahkan Tuntut Maskapai Penerbangan
Badan Perlindungan Konsumen Nasional atau BKPN mengimbau masyarakat untuk melapor ke call center BKPN di 153 (atau 021-153, jika dari telepon seluler), jika terjadi pembatalan penerbangan akibat kesalahan maskapai penerbangan. Hal ini menyusul meningkatnya laporan selama tiga bulan terakhir di jasa transportasi. “Selama tiga bulan (Januari-Maret 2015) aduan mengenai jasa transportasi itu meningkat tajam yaitu 25 persen dari total laporan sebanyak 16 laporan di bidang jasa. Mungkin ini karena kasus delay (penundaan) yang marak akhir-akhir ini,” jelas Koordinator Komisi III BPKN, Djainal Abidin Simanjuntak, di Jakarta, Selasa (7/4).

Berdasarkan data BPKN keluhan konsumen terkait kasus pembatalan tiket mencakup enam hal yakni mulai dari proses refund (pengembalian uang pembelian tiket akibat pembatalan penerbangan) tiket yang lama (5 bulan-1 tahun), lalu refund bukan dalam bentuk uang, pelaku usaha tidak merespons keluhan konsumen, hingga tidak ada standar acuan nilai refund antara travel dan maskapai. “Kemudian kalau dari hasil pemantauan melalui media, kita temukan keluhan konsumen bahwa tidak adanya kejelasan lamanya proses refund yang diajukan konsumen. Kemudian maskapai tidak menepati janji waktu pembayaran refund pembatalan tiket,” kata Djainal.

Menurut, Djainal dengan pengaduan tersebut, pihaknya bisa membuat rekomendasi peraturan ke Kementerian Perhubungan atau meneruskan kasus ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). “Aduan dari masyarakat kita masukkan dalam data lalu diolah dan diteruskan ke BPSK untuk diselesaikan atau ke pelaku usaha dulu untuk diklarifikasi apakah benar terjadi pembatalan tersebut,” terang Djainal.

Selain itu, kata dia, laporan pengaduan tersebut dikumpulkan lalu dianalisis, kemudian diserahkan ke kementerian terkait untuk dijadikan rekomendasi peraturan. “Setiap tiga bulan kita kasih rekomendasi, mulai ke presiden, hingga kementerian-kementrian. Tapi kalau data masih dangkal kita kaji lagi seperti membuat forum yang mengundang beberapa stakeholder,” kata Djainal.

Sayangnya, Djainal mengatakan masih sedikit konsumen atau masyarakat yang meneruskan aduannya hingga ke BPSK atau pengadilan. Menurut dia, dengan modal UU No. 8 tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen, masyarakat yang merasa dirugikan akibat kesalahan maskapai penerbangan bisa menuntut langsung ke pengadilan ataupun ke BPSK. “Masih sedikit, padahal konsumen bisa langsung menuntut dengan mengatakan bahwa ada pelanggaran UU Perlindungan Konsumen,” jelas Djainal.

Selain itu, kata dia, konsumen tidak hanya bisa mendapat pengembalian dari biaya tiket yang dibatalkan. Menurut Djainal, ganti rugi oleh maskapai penerbangan bisa mencakup acara atau kegiatan yang batal dihadiri akibat pembatalan penerbangan. “Ketika ada pembatalan penerbangan itu penggantian bukan tiket saja, tapi kerugian konsumen akibat pembatalan itu. Saat ini masih sedikit paling baru minta pengembalian biaya tiket saja. Misal, mau seleksi pekerjaan terus batal karena delay, nah itu berapa yang rugi, tidak hanya uang tiket,” demikian Djainal.

-Banyak Maskapai Langgar Ketentuan
Wakil Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Penjual Tiket Penerbangan (Astindo) Rudiana mengatakan, peraturan-peraturan pemerintah mengenai pembatalan tiket dan pengembalian tiket (refund) masih abu-abu.
Rudiana merujuk pada Permenhub No 77 Tahun 2011 dan UU No 8 Tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen. “Di UU Perlindungan Konsumen ini memang ditulis bahwa tidak boleh ada klausul yang menyatakan bahwa barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan, tapi hampir di semua airline ada tulisan itu. Ditulis jelas bahwa tiket ini tidak bisa dikembalikan,” kata Rudiana, Selasa (7/4).
Kemudian, dalam Permenhub No 77 Tahun 2011 dijelaskan bahwa pihak airline memberikan perlindungan kepada konsumen dengan memberi kewajiban pada perusahaan penerbangan jika terjadi pembatalan yang disebabkan maskapai itu sendiri. Namun, menurut Rudiana, peraturan tersebut kekurangan sebab pembatalan yang diakibatkan oleh konsumen.
“Tapi, tidak dijelaskan secara eksplisit jika terjadi pembatalan oleh pihak konsumen. Belum terimplementasi dengan baik ke masyarakat, menurut kami,” jelas Rudiana.
Untuk itu, asosiasi ini berharap agar pemerintah memberikan batasan refund tiket yang disertai dengan alasan pembatalan. Menurut dia, hal tersebut akan mencegah terjadinya kesengajaan dari konsumen untuk membatalkan tiket.
“Refund kan ada dua, voluntary dan unvoluntary. Kalau keinginan tamu dia harus punya alasan, jangan enak aja sudah booking lalu batal, harus disertai bukti-bukti. Jika sudah, airline harus refund karena konsumen tidak ada niatan untuk membatalkan secara sepihak,” kata Rudiana.
Rudiana mengatakan, pihaknya juga dirugikan dengan tidak adanya peraturan yang jelas mengenai refund ini. Menurut dia, ketidaktahuan konsumen mengenai hak-haknya menyebabkan komplain yang bertubi-tubi ke pihak agen perjalanan.
“Kita enggak bisa menguntungkan juga dengan abu-abunya peraturan refund ini karena konsumen tahunya kan refund, malah komplain terus. Padahal, dari pihak airline tidak dapat refund,” jelas Rudiana.
Selain itu, Rudiana mengatakan, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) perlu lebih giat dalam menyosialisasikan hak-hak konsumen yang tertuang dalam UU PK No 8 Tahun 1999 tersebut.
“Hotline call 153 dari BPKN saja kan belum banyak yang sadar. Masyarakat tidak tahu bahwa hak-hak mereka sebagai konsumen itu dilindungi,” jelas Rudiana. (kcm)

Close Ads X
Close Ads X