Pemerintah Jangan Buat Kebijakan Populis Melulu

Jakarta | Jurnal Asia

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan perlu usaha bersama-sama antara pemerintah, otoritas dan pengusaha dalam menjaga rupiah demi ketahanan ekonomi dalam negeri. Untuk itu, pihaknya memaklumi langkah Bank Indonesia (BI) yang telah menaikkan bunga acuan hingga ke level 6% sampai saat ini.

Namun dia berharap pemerintah bisa lebih realistis dalam membaurkan kebijakan. Kebijakan-kebijakan yang diambil seharusnya tak melulu populis atau menyenangkan hati masyarakat, seperti penahanan kenaikan harga BBM subsidi di saat harga minyak dunia justru tengah tinggi.

“Jadi kalau semua itu bisa kita lakukan, berarti pemerintah juga harus menjalankan PR (pekerjaan rumah)-nya, jangan populis melulu. Misalnya seperti BBM kalau subsidi begitu, BBM lama-lama jebol itu APBN. Kan itu trennya naik terus,” jelas dia, Kamis (16/11).

Ia menjelaskan, dampak dari kebijakan BI untuk menaikkan suku bunga berdampak pada banyaknya pengusaha yang menahan ekspansi. Hal tersebut dilakukan untuk melihat dampak kebijakan dari skema penguatan rupiah yang dilakukan pemerintah, terutama menjelang tahun politik.  “Jadi kalau menurut saya, kalau dalam kondisi yang seperti ini, harus direspons dengan hati hati. Percuma kan kita ekspansi kalau market meresponsnya nggak siap. Kan malah tambah rugi kan kita,” katanya.

Apindo sendiri melakukan langkah kerja sama swap mata uang dengan negara importir, seperti China agar mengurangi efek penguatan dolar AS. Dengan usaha tersebut diharapkan tekanan dolar AS terhadap rupiah tak terlalu berat.

“Kalau kita bisa lakukan itu, maka kita berharap dari segi moneternya juga kebijakannya akan kendor yang tadinya bunganya 6%, nanti akan turun. Nah nanti akan kita harapkan, akan kembali di bawah level 5% misalnya jadi 5% atau 4,5%, pokoknya di bawah 5%,” katanya.
Jangan Nyalahin Global Melulu!

Menyinggung tertekannya mata uang rupiah, Hariyadi Sukamdani menyatakan, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) belakangan semakin menguat setelah beberapa pekan lalu mata uang Paman Sam sempat tembus Rp 15.700.  Pagi ini penguatan rupiah terhadap dolar AS terjadi lagi, the greenback bisa ditekan hingga Rp 14.595. Tertekannya rupiah kerap kali disangkutkan pada berbagai kondisi perekonomian global.

Namun, menurut Hariyadi, tertekannya mata uang rupiah bukan hanya karena kondisi perekonomian global, namun juga karena masalah perekonomian di dalam negeri.

“Jangan nyalahin global melulu. Ini kan harus ada upaya misalnya untuk konversi perdagangan dari dolar AS ke renminbi nah itu kan dari swasta itu dari kita,” jelas dia, Jumat (16/11).

Ia menjelaskan, pihaknya bisa menerima upaya dari pemerintah untuk menguatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melalui skema dinaikannya suku bunga menjadi 6%. Pihak swasta juga membantu penguatan tersebut dengan meningkatkan produksi untuk diekspor.

“Langkah awal yang akan dilakukan tadi ya kita melakukan konversi (dari dolar AS ke yuan China), kemudian untuk dolar kita bisa meningkatkan perdagangan dengan upaya-upaya ekspor. Kan sekarang kami didata nih, siapa sih pemain-pemain besarnya ekspor-impor ke China. Nah harapan saya sih kita sudah bisa mulai di Desember ini,” kata dia.

Ia berharap, strategi kenaikan suku bunga acuan berhasil membuat rupiah makin kuat sehingga dolar AS bisa turun hingga ke kisaran Rp 14.000.

“Sekarang kita konsetrasi memperkuat rupiah dulu karena kalau rupiah bisa diperkuat dan bisa ditahan di bawah Rp 14.000 itu kita otomatis seluruh biaya produksi akan turun. Karena kita kan biaya produksi kan tergantung sama impor, jadi kalau itu bisa turun kemudian harga murah nah itu ada ruang tuh, daya beli naik,” jelas dia.
(dc-van)

Close Ads X
Close Ads X