Makan Malam Bersama, Tradisi Etnis Tionghoa Sambut Imlek

Makan Bersama : Pandita Narapati Widyanata (Bambang ES) saat makan malam bersama keluarga pada Imlek tahun lalu.Ist

Medan | Jurnal Asia
Makan besar bersama keluarga di malam tahun baru Imlek menjadi tradisi yang wajib bagi keluarga Tionghoa. Selain mempererat hubungan keluarga, makan bersama ini menyongsong kedatangan tahun baru Imlek.

Pandita Narapati Widyanata (Bambang ES) mengatakan, malam tahun baru disebut chuxi artinya menghapus yang lama dan hal-hal jelek. Di malam tanggal 30 atau malam terakhir sebelum Imlek diisi dengan berdoa untuk menyongsong kedatangan tahun baru atau Da Nian Ye.

Tradisi lainnya, sambungnya, biasanya seluruh anggota keluarga kembali ke rumah orang tuanya untuk makan bersama. Ini sebagai ungkapan kebersamaan dan keutuhan keluarga dalam menyambut tahun baru Imlek bersama sama mensyukuri kehidupan.

“Ada empat makanan wajib yang biasa disajikan saat makan besar di malam Imlek bagi keluarga kami yakni daging, ayam, ikan dan mie,” katanya, Senin (28/1).

Dikatakannya, setiap makanan yang tersaji memiliki arti. Seperti mie yang bermakna panjang umur, ayam dan ikan berarti kebahagiaan dan keberuntungan sehingga diharapkan setiap tahun memiliki rezeki dan daging yang berarti kemapanan diharapkan dapat terus makan enak.

Makanan wajib lainnya, kata dia, yakni kue keranjang atau nian gao. Dengan makan kue keranjang diharapkan rezeki seseorang setiap tahun bertambah tinggi.

“Memang, makanan yang disajikan  di malam tahun baru Imlek sedikit berbeda dengan hari biasa. Harapan kita, agar keluarga selalu terjaga keharmonisan dan kebaikan,” ucapnya.

Ia menambahkan, dikutip dari buku Tiongkok, sejak zaman Dinasti Tang, malam tahun baru Imlek dirayakan dengan pesta kembang api atau mercon. Sehingga kebanyakan keluarga tidak tidur sampai pagi untuk menyambut tahun baru.

Menyalakan petasan dan kembang api dipercaya dapat mengusir ‘nian’ mahluk jahat yang menurut legenda hobby makan manusia. Suara keras petasan dipercaya menakuti si nian tadi.

Ia menambahkan, dalam agama Buddha yang berakulturasi terhadap budaya setempat, tidak melarang adanya perayaan tahun baru Imlek ini. Tahun baru Imlek sebagai wujud rasa bakti dan memiliki makna tersendiri.

Biasanya, hal yang dilakukan ialah sembayang tutup tahun dan menyalakan pelita serta mendoakan semua keluarga memiliki kesehatan, kesejahteraan dan keharmonisan begitu juga dengan bangsa dan negara ini.

Setelah itu yang terpenting adalah ungkapan terima kasih dan permohonan maaf atas semua kesalahan kepada orang tua dengan bersujud sebagai bentuk bakti.

“Adat dan tradisi seperti ini harus tetap dijalankan oleh generasi muda saat ini. Dengan begitu, budaya tidak akan luntur tergerus oleh zaman,” tandasnya.(net)

Close Ads X
Close Ads X