Dr. Hj. Sylviana Murni, SH, M.Si | Cetuskan Sekolah Gratis

Sylviana Murni
Orang Betawi–apalagi kaum perempuannya–selama ini diidentikan dengan sifat pemalas, kampungan, nggak berbudaya, dan ketinggalan zaman. Semua gambaran buruk tersebut nyatanya sanggup dipatahkan oleh Dr. Hj. Sylviana Murni, SH, M.Si, mantan Walikota Jakarta Pusat. Wanita yang akrab disapa Sylvi ini benar-benar lahir dari keturunan keluarga Betawi yang religius. Ayahnya yang berprofesi sebagai tentara mendidiknya belajar disiplin dalam berbagai hal sejak kecil, selain mengajarinya bersikap kritis. Sementara Ibunya, kata Sylvi, memberikan bekal agama yang cukup kuat, seperti beribadah, mengaji, mencontohkan sifat tawadhu (rendah diri) dan menghormati orang lain. “Waktu kecil, di rumah saya ada meja makan besar untuk anggota keluarga kami yang berjumlah sepuluh orang. Meja yang diberi julukan ‘meja demokrasi’ itu bukan sekadar tempat makan, tapi sarana untuk berkomunikasi antara anak dan orang tua. Di situ kami boleh berdebat, bahkan memprotes kebijakan-kebijakan orang tua. Tapi, jangan harap kami masih dapat memprotes kalau sudah tidak duduk di meja itu. Di luar acara makan, kami tetap harus patuh dan hormat kepada orang tua,” kenangnya.
Kedisiplinan, ilmu tentang hidup dan pelajaran agama yang didapat Sylvi langsung dari orang tuanya serta ditambah energi dan kecerdasannya, rupanya sangat mempengaruhi perkembangan diri sekaligus dalam pergaulan sehari-harinya. Putri ketiga dari sepuluh bersaudara ini sejak sekolah dasar senang hidup membaur bersama teman-teman sebayanya. Rasanya tak mengherankan begitu masuk SMP pun, ia sudah aktif di organisasi intra sekolah dan karang taruna di kampungnya serta dipercaya untuk memegang suatu jabatan tertentu.
“Waktu kuliah saya menjadi aktivis kampus. Lumayanlah, saya cukup dikenal mahasiswa. Selesai kuliah, saya melanjutkan aktivitas di berbagai organisasi, baik organisasi budaya seperti organisasi kebetawian, organisasi wanita maupun organisasi sosial, seperti penanggulangan narkoba dan sebagainya. Kegiatan berorganisasi saya anggap sebagai the first university ketimbang sarana pendidikan formal semacam sekolah maupun kampus. Pendek kata, dunia organisasi menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dari kehidupan saya,” ujarnya sembari melempar senyum.

Pencetus Sekolah Gratis
Selama berorganisasi, Sylvi tidak saja mendapatkan berbagai pengalaman dan pengetahuan, melainkan tantangan, konflik dan intrik. Namun, hampir semuanya bisa dihadapi berkat kedewasaan diri, berpikir luas dan cara memandang serta menyelesaikan sesuatu secara baik dan damai. Hal itu pun sangat membantu saat Sylvi meniti karir di lingkungan pemda DKI selaku pegawai negeri sipil sebagai staf penatar di Badan Pembinaan Pendidikan dan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7). Seiring perjalanan waktu, ia menduduki bermacam jenis kepala biro. Berbagai kebijakannya nyaris tanpa protes atau meninggalkan kesan buruk. Wanita yang dikenal cukup gencar menangani problem kependudukan DKI Jakarta ini justru mencatatkan banyak prestasi.
Dalam jenjang karirnya, saat tak terlupakan ketika Sylvi menerima tantangan dan kepercayaan sebagai anggota DPRD. Kesempatan ini datang menjelang reformasi 1998. Ia sempat cuti di luar tanggungan negara, karena terpilih menjadi anggota DPRD DKI periode 1997-1999 dari Golkar. Ketika terbit peraturan pemerintah (PP) yang mengharuskan PNS tidak memihak atau netral dari partai politik, ia memilih kembali menjadi PNS. Hal itu dilakukannya dengan dua pertimbangan.
“Pertama, karena memang saya berasal dari PNS. Kedua, saya merasa bukan politisi tapi lebih merasa sebagai organisatoris,” ujarnya, diplomatis.
Akibat keputusan tersebut, sebelum terdaftar lagi sebagai PNS, Sylvi sempat dua bulan menganggur. Sebab, berdasarkan ketentuan yang berlaku, setelah berhenti menjadi anggota dewan tidak bisa langsung kembali ke posisi yang lama di PNS, di mana sebagai pegawai negeri waktu itu ia sudah mencapai tingkat Eselon IV.
“Kebetulan karena kebijakan restrukturisasi, ada pejabat dari unsur TNI yang dikembalikan kekesatuannya. Saya akhirnya ditarik ke Biro Dinas Sosial dan ditetapkan menjadi Kepala pada 1999. Itu terjadi setelah dua bulan saya lepas dari anggota dewan,” katanya.
Saat dipercaya menduduki jabatan Kepala Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta mulai 19 Oktober 2004, Sylvi mencanangkan prinsip, yakni 60% untuk membuat kebijakan-kebijakan di kantor dan 40% untuk melihat realitas di luar kantor atau lapangan. Wanita berkaca mata ini memang memiliki komitmen amat luar biasa untuk memajukan dunia pendidikan di Ibukota. Hanya dengan pendidikan, tegasnya, seseorang memiliki kesempatan untuk memperbaiki hidup. Untuk itu ia berjuang mewujudkan program pendidikan yang memerdekakan. Bahkan, ia bertekad menjadikan pendidikan dasar DKI Jakarta sebagai barometer pendidikan nasional. Sejumlah strategi dan kebijakan pun diputuskan Sylvi bersama jajarannya. Antara lain sekolah gratis bagi pendidikan dasar, peningkatan kesejahteraan guru, peningkatan kualitas pendidikan, peningkatan sarana dan prasarana, perbaikan sistem, prosedur, manajerial, sumber daya manusia, kunjungan ke sekolah serta pakta integritas pejabat eselon III dan eselon IV. Untuk membuat sekolah gratis bagi SD dan SMP, Sylvi mengatakan bahwa pemerintah perlu menggulirkan program BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang dananya bersumber dari APBN dan BOP (Bantuan Operasional Pendidikan) yang diambil dari APBD DKI Jakarta. Gagasan tersebut disetujui anggota dewan.
Pada 2006, lanjut Sylvi, dana BOS dari APBN yang disalurkan sebesar Rp 332 miliar, sedangkan dana BOP yang dikucurkan sebesar 698 miliar. Total siswa yang berhak menerima dana tersebut, yaitu sebanyak 127 ribu dari 2.500 siswa di Jakarta. Rinciannya, BOS siswa SD sebesar Rp. 19.500 dan BOP sebesar Rp 50 ribu setiap bulannya persiswa. Sementara siswa SMP Negeri mendapat jatah Rp 127.500,-, dengan rincian dari BOS Rp 27.500,- dan dari BOP Rp 100.000,-. Penyaluran BOS dan BOP dilakukan melalui Bank DKI dengan mekanisme langsung dikirim ke rekening setiap sekolah. “Penggunaan sistem ini agar lebih transparan, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan. Kami mengawasi secara ketat kemungkinan masih ada pungutan yang dilakukan pihak sekolah terhadap orang tua murid. Jika ditemukan ada pungutan terhadap orang tua murid, saya tindak tegas,” ancamnya, saat itu.
Prestasi dan peran sangat besar Sylvi lainnya adalah dalam hal peningkatan uang kesra guru di DKI Jakarta. Alhasil, tahun 2006, setiap guru menerima uang kesra sebesar Rp 2 juta/bulan. Menurutnya, uang kesra ini sangat penting untuk meningkatkan loyalitas dan profesionalitas seorang guru dalam melaksanakan profesinya.“Saya bersyukur uang kesra guru tidak jadi dicoret Depdagri,” cetusnya, lega.
Tak heran bila banyak kepala SD dan SMP di Jakarta yang mengatakan, sepanjang sejarah, kepala dinas provinsi yang paling dekat dengan guru ialah Sylviana. Tanpa birokrasi yang berbelit-belit, ia biasa mendadak datang ke sekolah, langsung bertemu dan berdialog dengan guru maupun para siswa untuk menyerap aneka aspirasi dan menampung rupa-rupa keluhan. Dimata pejabat lain, ia disebut-sebut sebagai best practices selama kepemimpinannya. Ia punya andil besar dalam menghasilkan sejumlah kebijakan penting di tingkat provinsi DKI Jakarta. Ada sejumlah peraturan daerah, keputusan gubernur maupun keputusan kepala dinas di bidang pendidikan yang membuka ke arah perbaikan.
Dengan semua fakta tersebut, kiranya Sylvi patut berbangga. Cita-cita dan kerja kerasnya membuahkan hasil dan bermanfaat bagi banyak orang. Perempuan yang sudah melanglang buana mengepalai banyak divisi program di instansi pemerintah maupun organisasi ini rasanya pantas mendapat ‘sesuatu’ yang lebih tinggi lagi dari sebelumnya.

Tantangan
Berat Sylvi
Selasa, 1 April 2008, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo melantik Sylvi sebagai Walikota Jakarta Pusat. Moment tersebut tentu bersejarah bukan saja karena bertepatan dengan peringatan Hari Kartini, lebih dari itu Sylvi tercatat sebagai perempuan pertama yang menduduki kursi walikota di wilayah Jakarta. Baginya, jabatan prestisius yang sama sekali tidak pernah terbayangkan itu merupakan suatu kepercayaan dari semua pihak yang akan menjadi motivasinya dalam bekerja dan mengabdi. “Yang paling penting, bagaimana saya bisa mempertanggungjawabkan kepemimpinan ini dengan sebaik-baiknya. Ini jelas bukan perkara mudah, karena perlu tekad kuat, integritas tinggi dan totalitas,” katanya.
Pada awal-awal tugasnya, Sylvi mengaku sering berdiskusi dengan Muhayat, Sekretaris Daerah DKI, untuk mengetahui persoalan-persoalan yang akan dihadapi, selain mengumpulkan bahan-bahan dari berbagai sumber. Dalam pandangan Sylvi, Jakarta Pusat dengan jumlah 44 kelurahan yang berada di delapan kecamatan merupakan wilayah dengan rentang strata sosial ekonomi cukup ekstrem, dari yang paling elit sampai paling kumuh. Data terbaru DKI, di Jakarta Pusat terdapat 14.000 orang PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) dan 22.000 kepala keluarga miskin. Jakarta Pusat juga merupakan kawasan terpadat di DKI dibanding empat kota lainnya, yaitu 18.000 orang per satu kilometer persegi dan menjadi satu-satunya kota dengan pertumbuhan penduduk negatif.
“Saya tentu harus mendengar banyak dari bawahan, lurah dan camat, para pemimpin nonformal di wilayah, dan warga. Menurut saya, kuncinya komunikasi harus berjalan agar semua permasalahan bisa terselesaikan secara baik dan komprehensif selama saya menjabat,” tegasnya, penuh semangat.
Mempertahankan Piala Adipura dan meningkatkan pelayanan birokrasi bagi masyarakat menjadi prioritas kerja Sylvi. Sylvi membeberkan, pendekatan pola kerja yang diterapkannya berdasarkan pada prinsip regulasi dan religi. Maksudnya, regulasi harus terus disosialisasikan dan dipegang teguh supaya tatanan masyarakat tidak semrawut atau semau sendiri.
“Soal dimensi religi, saya percaya setiap orang punya sisi spiritualitas. Ini aspek penting yang akan menyeimbangkan kehidupan kita. Bahwa kita kerja bukan hanya untuk urusan dunia, urusan sosial, tapi juga sarat dengan nilai ibadah,” tuturnya.
Karir dibirokrasi yang tergolong cemerlang dan segudang prestasi yang sudah diperoleh dirinya, diakui Sylvi, tidak lepas dari dukungan keluarga, utamanya suami dan kedua anaknya. Sylvi bercerita, anak pertamanya yang sedang meneruskan S2 di New Zealand sering berpesan agar Ibunya jangan sampai lupa menjaga kesehatan. Sementara anak keduanya yang kini kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti mengingatkan tentang bakal makin berkurangnya waktu bersama untuk keluarga. (mm)
“Saya sadari semua konsekuensi tersebut. Sebab, kini saya bukan saja milik keluarga, melainkan sudah menjadi milik warga masyarakat Jakarta (Pusat). Bagi saya, biar semua lancar, kuncinya ada komunikasi, perhatian yang tulus dan team work (kerja tim) yang solid. Saya beruntung karena semua pihak turut mendukung saya, termasuk teman-teman wartawan yang memberi kritik dan masukan. Hal yang bisa saya katakan kepada masyarakat bahwa sejak awal, pengalaman menunjukkan, saya harus selalu memperjuangkan dengan keras setiap capaian hidup dan melakukan sebaik-baiknya,” pungkasnya, tersenyum. (mm)

Close Ads X
Close Ads X