Saur Marlina “Butet” Manurung, Tangguh dan Tak Manja

Butet sedang mengajar anak-anak pedalaman
Adalah Saur Marlina Manurung, wanita berdarah Batak kelahiran Jakarta, 21 Februari 1972, yang sempat nampang di majalah Time Asia. Siapakah dia, begitu hebatnya bisa masuk dan menjadi tokoh yang dibahas di dunia internasional?  Kita mengenalnya sebagai Butet Manurung, sosok wanita hebat yang mau masuk ke pedalaman hutan untuk menjadi guru bagi anak-anak primitif yang sebelumnya tak pernah mengecap bangku pendidikan.
Butet Manurung, menuai prestasi yang luar biasa, sejumlah penghargaan besar berhasil diperolehnya antara lain, Man and Biosfer Award 2001, Woman of the Year bidang pendidikan AnTV 2004, Hero of Asia Award by Time Magazine 2004, Kartini Indonesia Award 2005 dan Ashoka Award 2005, Ashoka Fellow 2006, dan Young Global Leader Honorees 2009.
Wanita yang aktif mengelola yayasan SOKOLA, yang didirikan tahun 2003 itu memang pantas menyandang semua penghargaan yang diterimanya. Pasalnya, ia adalah wanita pejuang yang memang benar-benar berusaha mewujudkan impiannya dan tulus menjalani profesinya sebagai seorang guru di hutan pedalaman, di tempat di mana orang-orang yang tinggal dipandang sebelah mata dan seringkali dianggap sebagai orang yang bodoh dan tak berpendidikan.
Butet lahir dari keluarga berada yang tak cukup memberikannya kebebasan menjelajah alam. Masa kecilnya bahkan sempat dinikmatinya di Leuven, Belgia. Sisa hidupnya ia jalani di kota besar Jakarta, yang selalu penuh dengan hiruk pikuk dan kemewahan modernisasi kota. Lulus dari sekolah menengah atas, ia kemudian kuliah di UNPAD, Bandung.
Dua bidang studi ditempuhnya bersamaan, dan ia menjalani kuliah sambil kerja sambilan mengajar organ dan matematika. Diam-diam dari hasil kerja sambilannya ia menabung, agar setiap bulan ia bisa naik ke gunung, begitulah cita-cita kecil Butet yang sangat cinta akan alam.
Tak seperti gadis kota biasanya, ia adalah seorang pecinta alam yang tangguh dan tidak manja. Puncak Trikora, gua Wikeda di Wamena, gua Maros, Annapuna Range Himalaya, Ujungkulon, Banten, Timor, hingga NTT pernah ia sambangi. Gadis macam apa yang begitu tergila-gila pada alam ini?
Gadis ini adalah gadis yang sempat terketuk hatinya saat melihat suku Rimba, di pedalaman rimba Jambi. Suatu saat perjalanan alam membawanya ke sana, dan konon orang Kubu (sebutan untuk suku Rimba) dikenal sebagai suku yang bodoh, miskin dan primitif. Banyak kasus penipuan yang memang terjadi di sana, perampokan hasil alam seringkali terjadi tanpa disadari oleh penduduk. Mereka sering ditipu dan dibodohi oleh orang kota, orang yang mungkin duduk di atas kursi empuk dengan jas dan dasi melekat di tubuhnya. Seketika itu Butet terdiam dan merenung, ia harus melakukan sesuatu! Itulah awal niatannya membuat sekolah alam, dan mengajarkan mereka banyak hal.
Sempat Putus Asa
Butet tidak mengajar di dalam ruangan ber-AC seperti guru-guru lainnya, dengan meja dan kursi nya­man yang lengkap atau di depan komputer berteknologi tinggi yang siap dihubungkan dengan koneksi internet.
Ia hanya duduk di atas batang pohon yang sudah tumbang atau di atas bebatuan hitam legam yang nyaman bak pualam, dengan semilir dan kesegaran dari alam. Tak ada AC di sana, tak ada meja dari kayu, kursi yang nyaman, dan tak ada teknologi internet. Ia mengajar dengan bekal beberapa buku sederhana yang mungkin sudah dibuang dan dikilokan di kota. Sudah mendapat tempat mengajar yang tak nyaman, tak serta merta kebaikan hatinya diterima pula.
Butet, pernah sempat merasakan putus asa, karena penolakan yang ditunjukkan suku Rimba kepadanya. Mereka adalah orang-orang primitif yang masih percaya pada adat dan budaya. Sehingga mereka tak mau terbuka pada pendidikan, yang mereka anggap menyalahi adat dan budaya. Bahkan terlebih mereka takut bahwa mereka akan ditipu lagi seperti biasanya.
Ya, itu adalah ujian terberat bagi Butet pada awal ia berusaha mengenalkan pendidikan pada orang Kubu. Namun kemudian Butet sadar, bahwa mungkin caranya terlalu memaksa dan salah.
Suku Rimba butuh diyakinkan, bukan dipaksa. Mereka hanya takut dan belum mengerti, bukan berarti mereka bodoh dan tidak mau. Mereka hanya butuh kepastian bahwa apa yang akan mereka terima itu baik, itu saja. Sejak saat itu Butet mulai belajar dan mengenal kebiasaan Suku Rimba, ia rajin mengamati dan mengikuti keseharian mereka. Ia tinggal bersama mereka, tidur di tempat yang sama, makan apa yang mereka makan, bertelanjang kaki dan merasakan gelinya lumpur serta tanah yang menempel di telapak kaki, mengenakan kemben sederhana yang mungkin membuat tubuh menggigil kedinginan.
Butet mencoba memahami dan merasakan bagaimana sih menjadi bagian Suku Rimba itu. Butet sangat kagum pada mereka yang mampu menyusuri sungai dan hutan tanpa tersesat, ia kagum pada anak-anak yang tangkas memanjat pohon tanpa rasa takut akan jatuh, ia kagum pada keramahan alam yang seolah membuai para penduduk dan menjaga mereka dengan baik.
Masuk dalam kehidupan Suku Rimba tentu bukan sesuatu yang mudah baginya. Hidup di alam tentunya tak akan semanja di kota, yang walaupun macet, masih ada tempat tidur dan kasur empuk menanti.
Di alam, ia tidur di atas akar, menyusuri rawa atau sungai yang kemudian membuatnya ketakutan akan lintah yang menempel di tubuhnya, ia takut akan harimau yang sewaktu-waktu menerkam­nya, juga akan kegelapan dan ke­sunyian danau yang di malam hari bagaikan sebuah scene film horor. Butet juga takut, namun ia berhasil mengatasi rasa takutnya. Ia tidak menyerah, tapi ia terus berusaha. (int)

Close Ads X
Close Ads X