Cabut Hak Politik Koruptor

Penegak Hukum Didesak Konsisten

Jakarta | Jurnal Asia

Institusi hukum harus konsisten mencabut hak politik terdakwa kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara. Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Donal Fariz mengatakan inkonsistensi penegak hikum menimnulkan preseden buruk.

Hasilnya, masih banyak mantan napi korupsi kembali nyaleg. Padahal, tuntutan dan hukuman pencabutan politik bisa memberikan efek jera dan pembelajaran bagi para calon anggota legislatif.

“Sekarang memang ke depannya juga belajar dari preseden ini, KPK dan jaksa itu harus secara konsisten menuntut pencabutan hak politik. Pengadilan juga seperti itu,” kata Donal di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu, 16 September 2018.

Berdasarkan catatan ICW, dari 220 anggota DPR dan 105 kepala daerah yang terlibat korupsi dan ditangani KPK, hanya setengah yang dituntut pencabutan hak politik. Itu merupakan fakta KPK belum konsisten menerapkan pencabutan hak politik.

Padahal, kasus korupsi politik yang melibatkan penyelenggara negara by election atau dipilih langsung oleh masyarakat, idealnya dituntut dicabut hak politiknya. Hal itu perlu dilakukan demi melindungi masyarakat.

Donal menyebut pencabutan hak politik ataupun larangan mantan napi korupsi tidak melanggar hak asasi manusia (HAM). Hak politik bisa dikurangi dalam keadaan apa pun.

“Isunya adalah penegakan hukum, dan isunya adalah sanksi administratif kepada orang yang melakukan kejahatan dan tindak pidana korupsi,” ucap Donal.

Selain itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama organisasi lainnya berencana mengeksaminasi publik putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan larangan eks napi korupsi nyaleg.

“Karena ada kejanggalan putusan MA pada saat putusan sudah dikeluarkan,” kata Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz Menurut dia, terdapat kejanggalan formil dan materiil dalam putusan. Ada perdebatan hukum yang mungkin terjadi.

Salah satunya, ihwal dugaan MA menabrak Pasal 55 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal tersebut mencantumkan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.

Padahal, menurut Donal, saat ini MK juga tengah melakukan uji materi terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018. Putusan MK soal uji materi itu belum keluar.

“Ini perdebatan hukum, kita lihat apa argumentasi hakim dalam menerobos pasal yang melarang mereka melakukan judicial review,” tegas Donal. Donal menjelaskan eksaminasi bakal dilakukan setelah salinan putusan MA dirilis. Putusan itu bakal segera dipelajari begitu diterima.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan pihaknya belum membaca utuh pertimbangan hakim MA memutus pembatalan larangan eks napi koruptor nyaleg. Pertimbangan hakim perlu diketahui, karena merupakan dokumen hukum mengikat.

“Kita belum baca bagaimana pertimbangan MA sehingga membatalkan aturan KPU. Ini salah satu hal yang harus diperhatikan MA, dan harus segera dikeluarkan, karena ini dokumen hukum yang mengikat, agar bisa dibaca oleh KPU, parpol, dan masyarakat,” tegas Fadli.
(mtv/put)

Close Ads X
Close Ads X