Peranan Perguruan Tinggi Dalam Penerapan Triple Helix

Oleh : Prof Dr Ir Hasan Sitorus MS

Perguruan tinggi adalah bagian penting dari model Triple Helix dalam sistem inovasi regional dan nasional. Perguruan tinggi sebagai pusat ilmu pengetahuan dan teknologi (center of exellent) memiliki posisi strategis dalam menciptakan masyarakat berbasis pengetahuan, dan transformasi menuju peradaban modern.

Perguruan tinggi dengan se­gala kemampuannya haruslah bersinergi dengan industri dan pemerintah, sehingga mampu meng­­hasilkan inovasi baru, dan menciptakan strategi pem­bangunan yang dipandu universitas untuk menjawab tantangan pembangunan di berbagai bidang.

Konsep Triple Helix pertama kali diperkenalkan oleh Henry Etzkowitz dan Loet Leydesdorff (1995) dalam menganalisis hubungan antara universitas, industri dan pemerintah. Konsep ini mengadopsi konsep biologi dari Model Triple Helix DNA yang berpusat pada integrasi dan sinergi peranan masing-masing elemen uintuk mengem-bangkan produk berbasis pengetahuan, ekspansi industrialisasi, dan jasa sebagai pondasi dari sistem inovasi regional dan nasional.

Konsep Triple Helix ini kemudian dikembangkan oleh Gibbons et al. (1995) dalam The New Production of Knowledge dan Nowotny et al. (2001) dalam Re-Thinking Science. Konsep ini selain digunakan untuk menjelaskan hubungan ketiga elemen (university, enterprise and government), model ini juga dapat memberikan gambaran mengenai koordinat dari simbiosis (irisan) dari masing-masing elemen. Dalam Triple Helix, masing –masing elemen merupakan entitas yang berdiri sendiri, memiliki perannya masing-masing tetapi mereka bersinergi dan mendukung satu dengan yang lainnya.

Penerapan Triple Helix
Pada masa sekarang ini, konsep Triple Helix telah banyak digunakan di negara-negara maju dalam rangka pengembangan sains dan teknologi melalui kerjasama universitas-industri-pemerintah untuk memecahkan masalah-masalah pembangunan. Pola Triple Helix telah banyak diterapkan di Amerika Serikat, Negara-negara Eropa, India, Jepang dan China, dan telah membawa kemajuan pesat dan berkesinambungan dalam membina kapasitas kemampuan di bidang sains dan teknologi yang diterapkan dalam dunia industri dan tata laksana pemerintahan.

Bila dikaji lebih mendalam, berkembangnya pola Triple Helix ini di negara-negara maju didasarkan pada 3 faktor, yakni :

1) Universitas sebagai gudang ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki sumberdaya manusia yang mampu melahirkan inovasi di berbagai bidang yang dapat diterapkan dalam dunia industri,
2) Pemerintah sangat mendorong universitas melalui bantuan dana riset, dan fasilitas lainnya untuk menghasilkan karya bermutu, dan mengatur perlindungan dan penggunaan hak cipta, dan 3) Industri memberikan dukungan kepada universitas baik dalam kegiatan penelitian dan pengembangan maupun penggunaan hasil riset secara berkesinambungan.

Dengan melihat fakta ini, perguruan tinggi bukanlah me­nara gading di tengah arus pem­bangunan, tetapi harus mam­pu mengembangkan diri sebagai bagian integral dari pro­ses pembangunan itu sendiri. Sebagaimana dinyatakan Etzkowitz (2007) dalam karya ilmiahnya The Triple Helix Model of Innovation and Action : “university is not only critical to the commercial transformation of knowledge, but also to create space for knowledge, assembling and innovation”.

Oleh sebab itu, perguruan tinggi harus membenahi dirinya sehingga mampu melakukan pengembangan kapasitas ilmu dan teknologi, dan dapat menciptakan strategi pembangunan yang dipandu uni­versitas.

Beberapa contoh aplikasi Triple Helix di Indonesia yang pernah dicatat adalah produk padi unggulan hasil kerjasama IPB dengan Balitbang Departemen Pertanian, produk plat baja tahan peluru untuk kenderaan militer hasil kerjasama ITB dengan Dephankam, Disain kapal kargo kerjasama ITS dan PT PAL, dan lain-lain.

Peranan Perguruan Tinggi
Peranan perguruan tinggi dalam segitiga inovasi Triple Helix adalah membawa misi sebagai mesin penggerak dalam pengembangan budaya, peradaban dan kecerdasan masyarakat. Dengan perkataan lain, peningkatan kapasitas perguruan tinggi dalam ilmu dan teknologi akan mewujudkan kemampuan merancang kebijakan dan mengambil keputusan termasuk di lingkungan korporat dan pemerintahan, menuntut pengetahuan yang berkembang di atas pondasi dan peradaban maju. Dengan demikian. per­guruan tinggi menjadi agen peru­bahan yang siginifikan yang mampu menciptakan strategi pembangunan yang dipandu uni­versitas (university led development stra­­tegy).

Untuk mencapai hal yang demikian, salah satu faktor yang fundamental adalah pengem­bangan riset di perguruan tinggi .Lembaga riset atau pusat kajian dan incubator di perguruan tinggi diharapkan mampu melahirkan inovasi baru berbasis ilmu pe­ngetahuan dan teknonologi, se­hingga dapat mendorong per­kembangan industri kreatif untuk kesejahteraan masyarakat.

Oleh sebab itu, Triple Helix adalah motor penggerak pembangunan ekonomi berbasis sains dan teknologi melalui pemanfaatan ber­sama sumberdaya dan komunikasi antara universitas, industri dan pemerintah yang melahirkan inovasi pembangunan.

Secara fakta kehadiran lem­baga riset di perguruan tinggi baik di perguruan tinggi nageri (PTN) maupun perguruan tinggi swasta (PTS) masih didominasi sebatas menghasilkan informasi dasar dalam berbagai bidang kajian dan sifatnya lebih banyak mengembangkan fungsi kelem­bagaan perguruan tinggi. Dengan perkataan lain, out put riset lebih banyak digunakan dalam rangka pemenuhan angka kredit dan akreditasi program studi dan insitusi dan kerangka penjaminan mutu. Dalam tataran yang demikian, perguruan memiliki posisi yang lemah dalam konsep triple helix, dan akibatnya perguruan tinggi belum dapat dipercayai industri dan pemerintah sebagai pembawa inovasi pembangunan berbasis ilmu pengetahuan.

Untuk menjadikan posisi per­guruan tinggu sebagai tempat ber­tanya bagi pemerintah baik dalam perencanaan pem­ba­ngunan regional dan nasional, maka perguruan tinggi harus melakukan reformasi pendidikan untuk meningkatkan kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga output riset perguruan tinggi meningkat statusnya dari fungsi pengembangan kelem­bagaan perguruan tinggi menjadi solusi masalah pembangunan.

Upaya mencapai hal tersebut tidak­lah mudah jika hanya me­ngan­dalkan kemampuan sendiri, karena adanya keterbatasan sum­­­berdaya manusia dan pen­danaan riset. Solusi yang tepat adalah mengembangkan model kerjasama dengan industri dan pemerintah. Untuk beberapa aspek, perguruan tinggi sudah banyak menjalin kerjasama dengan lembaga pemerintah, baik melalui pendanaan riset dan fasilitas lainnya, namun hasilnya masih didominasi dokumen ilmiah yang belum dapat dimanfaatkan secara nyata dalam masyarakat.

Demikian halnya dengan dunia industri, hasil-hasil riset perguruan tinggi belum bisa dimanfaatkan untuk mendorong industri krea­tif, dan idustri lebih banyak mengggunakan output riset luar negeri. Tentu kita merasa miris, bila sumberdaya di Indonesia melimpah, tetapi teknologi, modal dan tenaga kerja terdidiknya berasal dari luar Indonesia.

Kita hanya penyedia sementara yang lain menjadi pemerahnya. Terdapat 2 faktor penyebab hal demikian, pertama : pihak industri belum meyakini bahwa perguruan tinggi mampu menghasilkan produk atau disain berbasis sains dan teknologi yang dapat diaplikasikan dalam dunia industri, dan kedua : disain kurikulum perguruan tinggi belum link and match dengan kebutuhan industri. Dalam kondisi yang demikian, terdapat gap yang besar antara dunia industri dan perguruan tinggi.

Untuk mengubah situasi yang demikian, perguruan tinggi sangat perlu menjalin komunikasi dengan dunia industri dengan hubungan mutualistik, sehingga kebutuhan industri untuk ekpansi dapat didukung perguruan tinggi melalui produk riset berbasis sains dan teknologi, dan sebaliknya dunia industri juga dapat memberikan dukungan dalam pembiayaan riset perguruan tinggi.

Untuk mengimplementasikan hal ini maka peranan pemerintah sangat penting melalui regulasi yang memungkinkan perguruan tinggi memiliki akses awal masuk ke dunia industri, sehingga isolasi yang sering terjadi antara industri dan perguruan tinggi di Indonesia dapat diruntuhkan dan membangun pola kemitraan yang saling mengun-tungkan. Disisi lain, perguruan tinggi sebagai agen transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi juga harus mereformasi diri dengan mengembangkan kemampuan dan kapasitasnya yang pantas dilirik oleh dunia industri.

Pengembangan kapasitas tersebut haruslah berorientasi pada permintaan pasar (orientation to market demands), melihat pada scoop yang lebih besar (seeing a global pictures), mengikuti kecenderungan/tren (following trends), dan memiliki inisiatif menciptakan konsep baru (initiating new concepts).

Terciptanya hubungan yang sinergi antara perguruan tinggi dan industri sebagaimana sudah banyak dilakukan di negara-negara maju, akan menghasilkan output yang langsung dapat dimanfaatkan industri, maupun masyarakat. Itulah posisi dan peran ideal perguruan tinggi dalam model triple helix sistem inovasi regional dan nasional.

Dalam kondisi faktual se­karang ini, perguruan tinggi ban­yak disibukkan dengan urusan administrasi birokatif yang tidak terlepas dari sistem pendidikan nasional saat ini. Sumberdaya yang banyak terpakai untuk hal itu menyebabkan perguruan tinggi tidak mudah mengembangkan kapasitasnya dalam sains dan teknologi.

Dapat kita bayangkan bagaimana banyaknya SDM per­guruan tinggi yang digunakan untuk urusan administrasi birokratif ini, sehingga apsek pengembangan sains dan teknologi melalui kegiatan pendidikan dan penelitian menjadi tertinggal.

Dengan adanya kebijakan pemerintah menaikkan anggaran pendidikan sampai 20 % APBN sesungguhnya memberikan peluang bagi insan akademis perguruan tinggi untuk melakukan riset dan menghasilkan inovasi berbasis IPTEK. Namun secara faktual budaya meneliti masih lemah karena mindset para akademisi sudah terperangkap pola pragmatisme.
*)Penulis adalah Staf Pengajar di Universitas Nommensen Medan

Close Ads X
Close Ads X