Memulai Berbahasa Indonesia dari Tiga Ruang

Layaknya sebuah tali yang mengikat erat sejumlah lidi, bahasa Indonesia menjelma sebagai alat pemersatu keanekaragaman bangsa. Tepat pada 28 Oktober 1928, pemuda dan pemudi bangsa berikrar berbahasa satu yakni Bahasa Indonesia, setelah sebelumnya berikrar bertumpah darah satu dan berbangsa satu, Indonesia.

Muhammad Yamin, karena kebanggaan akan keberagaman dan kebanggaannya terhadap bahasa Indonesia, ia (Muhammad Yamin) menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi yang kedua dengan judul Indonesia Tumpah Darahku, dua hari sebelum Sumpah Pemuda, tepatnya tanggal 26 Oktober 1928.

Buku yang ditujukannya kepada seluruh lapisan bangsa: kepada handai taulanku yang menghargai bahasa Indonesia. Sambutlah harapan ini sebagai buah tangan kepada kekasih yang kunanti. Prof. Dr. Sawardi, guru besar Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Yogyakarta (1994) dalam bukunya Rangkuman Sejarah Sastra Indonesia Modern bertutur bahwa di dalam kumpulan puisi itu terlihat kecintaan Yamin yang menulang sumsum kepada bangsa, bahasa, dan tanah air, serta usaha Yamin yang sangat keras untuk memajukan bahasa Indonesia.

Begitulah M. Yamin beserta rasa bangga dan cintanya terhadap bahasa Indonesia. Pada zaman yang serba jari telunjuk ini, baik dalam segala ruang, penggunaan bahasa Indonesia nampaknya sudah berkurang (mungkin perasaan saya saja). Perasaan yang saya alami ini saya sesuaikan dengan fakta di lingkungan saya, bahkan mungkin bisa ditemui di lingkungan pembaca sehari-hari. Contoh sederhananya, mungkin para pembaca bisa menemukannya dalam tiga ruang kehidupan, bahasa Indonesia di ruang keluarga, bahasa Indonesia di ruang publik (tempat umum), dan bahasa Indonesia di ruang maya (media sosial).

Pada ruang yang pertama yakni ruang keluarga, sadar tak sadar setiap hari kita berdonasi menggeser penggunaan bahasa Indonesia dalam ruang ini. Penyebutan peralatan rumah tangga mulai dari dapur sampai ke kasur, faktanya. Penyebutan beberapa anggota keluarga dapur, seperti ricecooker dan cutter misalnya. Rice cooker dalam bahasa Indonesia sebenarnya sudah memiliki padanan kata yakni penanak nasi. Begitu juga dengan kata cutter yang memiliki arti pemotong, sesuai dengan kegunaannya. Kata cutter sudah semestinya kita ganti dengan kata alat pemotong sayur atau pisau sayur.

Ruang keluarga berikutnya ialah sumur (kamar mandi). Terasingnya bahasa Indonesia di ruang ini bisa kita lihat dari penuturan dan pendengaran kita setiap harinya. Bukankah kita sangat akrab dengan sebutan bathroom?. Ucapan bathroom ini merupakan ucapan yang biasa kita ucapkan untuk menyebut sebuah benda berbentuk bak dengan ukuran seorang dewasa dan diperuntukkan untuk berendam.

Padahal kata bathroom jika kita kaji dari segi bahasa mempunyai arti kamar mandi itu sendiri, bukan tempat berendam. Karena bentuknya yang berbentuk bak, mungkin ada baiknya kata bathroom kita ganti dengan kata bak berendam (seperti cucian saja). Kata lainnya yang bisa kita temui di area kamar mandi ialah kata wastafel, kata wastafel mempunyai padanan kata dalam bahasa Indonesia yakni tempat membersihkan diri (cuci muka, gosok gigi, dan bercukur). Letaknya menempel pada dinding (berada di luar atau di dalam dalam kamar mandi), dilengkapi dengan keran air, cermin, dan rak untuk menaruh peralatan untuk membersihkan diri.

Lalu ruang lainnya dalam lingkungan keluarga yakni kasur (kamar tidur). Awalnya kita menyebut tempat merebahkan tubuh dengan bentuk persegi panjang sebagai kasur saja, lalu tuntutan era milenial, kita kemudian menyebutnya springbed. Kasur dan springbed memang dua benda yang berbeda, namun jika dilihat dari segi manfaatnya dan kegunaannya, kasur dan springbed mempunyai satu makna yang sama yakni alas untuk tidur, tempat tidur. jika kita berlandas pada Kamus Besar Bahasa Indonesia kasur memiliki arti yakni alas tidur yang dibuat dari kain atau plastik, berisi kapuk karet busa dan lain sebagainya. KBBI juga mencatat kata pegas untuk menyebut kasur yang dibuat dari susunan pegas berbentuk spiral. Jika dilihat dari bentuk dan susunan springbed yang mempunyai arti ranjang pegas dalam bahasa Indonesia, nampaknya kata springbed mempunyai padanan kata dalam bahasa Indonesia yakni kata pegas.

Beralih dari lingkungan keluarga kita menuju ke ruang publik (umum). Tampak nyata pengasingan bahasa Indonesia di ruang ini, di ruang inilah hampir bahasa Indonosia tidak mempunyai daya tarik atau nilai jual tersendiri sehingga “tidak layak” digunakan, bahasa-bahasa iklan yang terpajang di pinggir jalan, sudut-sudut jalan kota, bahkan di desa-desa contohnya. Bagi kaum hawa yang suka belanja atau lebih kekinian menyebut belanja dengan sebutan shoping, sudah sangat akrab dengan kata big sale, atau kaum adam yang gemar menonton acara tinju, pasti sudah akrab dengan kata venue. Kedua kata tersebut memang terdengar biasa-biasa saja, namun ketika kita terlalu sering menggunakannya maka bahasa Indonesia pada kedua kata tersebut menjadi sangat asing untuk kita dengar, bahkan lidahpun kaku untuk berucap. Kedua kata tersebut sudah mempunyai padanan kata dalam bahasa Indonesia, yakni obral besar-besaran untuk kata big sale dan arena untuk kata venue.

Menjadi miris lagi ketika bahasa Indonesia dijadwalkan dan sengaja diasingkan, seperti “kekasih yang tak dianggap’ pada setiap hari minggu di beberapa kota di Indonesia. Arus globalisasi kah? Anggapan tidak menarik kah? atau mungkin rasa tidak bangga terhadap bahasa Indonesia? Sehingga bahasa Indonesia begitu tersisihkan pada hari minggu ini. Penggunaan kata Asing untuk menyebut nama kegiatan yang sangat bermanfaat bagi masyarakat pengguna bahasa Indonesia sebagai bahasanya.

Kegiatan yang bertujuan untuk olahraga, budaya, ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia ini seharusnya juga dimanfaatkan untuk mengutamakan bahasa Indonesia. Kegiatan ini ialah kegiatan yang biasa kita kenal dan sebut dengan sebutan CFD (Car Free Day), padahal kata Car Free Day dalam bahasa Indonesia sudah mempunyai padanan kata yakni Hari Bebas Kendaraan Bermotor, jadi kenapa tidak menggunakan padanan kata tersebut?.

Beralih dari ruang keluarga dan ruang publik (umum), ruang terakhir yakni ruang yang menjadi cerminan hidup setiap individu, yakni ruang maya (sosial media). Posisi bahasa Indonesia di ruang ini menjadi bahasa yang sangat asing. Sangat asingnya bahasa Indonesia di ruang ini dapat menjadi satu indikator pengguna yang tertinggal zaman, diasingkan, bahkan menjadi bahan olok-olokan.Asingnya bahasa Indonesia ini bisa kita lihat dari penyebutan medianya sendiri yakni gadget, kemudian aktivitas yang kita lakukan dengan medianya seperti kata browsing, selfie, membuat story dan lain sebagainya, dan lain sebagainya. Langkanya bahasa Indonesia di dunia ini (dunia maya) bisa kita lihat semisal saja terkait dengan bencana alam di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pemberian tagar dengan kata Pray for Lombok sering digunakan pada beberapa unggahan foto maupun video. Hal-hal inilah secara tidak sadar akan menumbuhkan kebiasaan, dan kebiasaan inilah yang semakin mengasingkan bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia sebenarnya sudah mempunyai padanan kata untuk bahasa-bahasa asing yang sering kita gunakan di media sosial tersebut. Mulai dari penyebutan medianya yakni kata gadget yang dalam bahasa Indonesia sudah mempunyai padanan kata yakni kata gawai, kemudian kata browsing yang mempunyai padanan kata yakni meramban, lalu ada kata swafoto untuk menggantikan kata selfie, dan kata cerita untuk menggantikan kata story. Untuk tagar dengan kata Pray for Lombok mungkin bisa kita menggantinya dengan kata Doa untuk Lombok.

(*) Penulis adalah Alumni Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia
UNS Surakarta Jawa Tengah

Close Ads X
Close Ads X