Rupiah Makin Rontok

Dolar Singapura dan Amerika Merajalela

Jakarta | Jurnal Asia

Tak cuma dolar Amerika Serikat (AS) yang menghantam mata uang rupiah. Nilai tukar dolar Singapura juga terus menguat terhadap rupiah. Dikutip dari data perdagangan Reuters, Senin (8/10), nilai tukar dolar Singapura sudah menembus level Rp 11.021. Angka ini merupakan yang tertinggi setelah tembus level Rp 10.000-an.

Dolar Singapura terus menunjukkan penguatan dalam tiga bulan terakhir. Sebelum menembus level Rp 11.000, dolar Singapura masih mondar-mandir di level Rp 10.000-an.

Jika ditarik dalam waktu lima tahun ke belakang, angka ini juga merupakan yang tertinggi. Sedangkan posisi terendah dalam lima tahun terakhir adalah Rp 8.903 yang terjadi pada 2014.

Sementara itu, nilai tukar dolar Singapura menguat terhadap dolar AS dalam tiga bulan terakhir. SGD 1 dihargai US$ 0,72. Bahkan nilai tukar rupiah terhadap mata uang sejumlah negara tercatat mengalami pelemahan. Dari data Reuters, nilai dolar AS tercatat Rp 15.219, dari data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) tercatat Rp 15.193.

Dari pantauan di sebuah money changer Bank Negara Indonesia (BNI) di Bali International Convention Center (BICC, Nusa Dua, US$ 1 dijual dengan harga Rp 15.300. Sedangkan untuk harga beli dipatok Rp 14.900.

Kemudian untuk dolar Singapura dijual seharga Rp 11.200 dan harga beli Rp 10.700.

Lalu untuk Euro dijual dengan harga Rp 17.700 dan harga beli Rp 17.000. Untuk Pound Sterling dijual seharga Rp 20.000, lalu dengan harga beli Rp 19.400.

Demikian dikutip dari data perdagangan Reuters, Senin (8/10). Dolar AS pada hari ini bergerak dari level Rp 15.185 hingga 15.299. Jika ditarik dalam satu minggu ke belakang, rupiah tercatat sudah mengalami pelemahan hingga 1,72%. Tak cuma dolar AS, dolar Singapura juga terus menguat terhadap rupiah.

Kerek Harga BBM

Untuk membendung pelemahan tersebut, usaha pemerintah dan Bank Indonesia (BI) boleh dibilang sudah mati-matian. BI misalnya, agar pelemahan rupiah tak semakin parah mereka sudah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 150 basis poin selama 2018 ini.

Sementara itu, pemerintah telah berupaya sekuat tenaga untuk memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan dengan menekan impor. Upaya tersebut dilakukan dengan menaikkan tarif PPh Impor atas barang konsumsi.

Upaya juga dilakukan dengan menerapkan kebijakan pencampuran biodiesel pada BBM (B20) agar impor minyak bisa ditekan. Maklum, impor minyak selama ini memang memberi beban besar pada defisit transaksi berjalan dalam negeri.

Data Badan Pusat Statistik (BPS), impor migas antara Januari hingga Agustus mencapai US$19,77 miliar atau melonjak 28,29 persen dibanding tahun lalu US$15,41 miliar. Angka tersebut lebih besar dibandingkan pertumbuhan impor secara umum yang hanya di angka 24,52 persen di angka yang sama.

Namun, apa boleh dibuat, sampai sekarang upaya yang dilakukan pemerintah tersebut belum membuahkan hasil sesuai yang diharapkan. Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu lalu mengatakan, khusus untuk kebijakan B20, penurunan impor minyak yang diharapkan belum sesuai harapan.

“Kami berharap, B20 yang dilakukan kemarin bisa menekan impor minyak. Tapi kami lihat sampai September malah masih ada kenaikan impor,” katanya.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan sebenarnya pemerintah punya opsi lain untuk menekan impor minyak, seperti menaikkan harga BBM. Ia mengatakan kenaikan impor minyak selama ini tak lepas dari kebijakan BBM murah yang diterapkan Presiden Joko Widodo.

Catatan wartawan, pemerintah terakhir kali menaikkan harga BBM bersubsidi tanggal 1 April 2016.

Padahal, sejak saat itu hingga kini, harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) dan kurs dolar masing-masing sudah melonjak masing-masing 101,29 persen dan 15,09 persen.

Sebenarnya, Reforminer Institute telah berkali-kali mengingatkan pemerintah soal ancaman peningkatan impor minyak bila harga BBM tetap dipertahankan murah. Lembaga itu juga sudah menyampaikan kajian kepada pemerintah untuk segera menaikkan harga BBM.

Usulan kenaikan disampaikan karena harga jual BBM yang dijual saat ini jauh di bawah harga yang seharusnya. Hitungan Reforminer, dengan harga minyak dan nilai tukar rupiah pada Agustus kemarin, harga BBM jenis premium sekarang masih Rp6.450 per liter harusnya sudah Rp8.500 per liter, solar yang saat ini Rp5.150 seharusnya Rp8.300, minyak tanah yang saat ini Rp2.500 seharusnya sudah Rp11.300 per liter.

Kala itu, lembaganya mengusulkan agar pemerintah bisa menaikkan harga BBM secara bertahap. Misal, Rp100 per liter dalam tiga bulan pertama dan Rp100 per liter dalam tiga bulan berikutnya supaya tidak menimbulkan dampak inflasi yang besar. Hanya saja, kala itu rekomendasinya tidak digubris.

Pemerintah tetap tidak menaikkan harga BBM. “Padahal, pemerintah punya ruang untuk menyesuaikan harga BBM, tapi ini tidak dilakukan padahal di sisi lain, rupiah juga terus melemah, impor naik. Jadi, yang terjadi saat ini ya mungkin saja konsekuensi dari itu,” papar dia.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan tingginya impor BBM merupakan konsekuensi dari blunder pemerintah yang tak mau menaikkan harga energi hingga 2019 mendatang. Menurutnya, hanya demi elektabilitas, pemerintah rela ‘menggadaikan’ defisit transaksi berjalan dan depresiasi nilai tukar.
Sampai saat ini, lanjut dia, memang belum ada solusi lain dari pengurangan impor migas selain B-20.

Pasalnya, kalau harga BBM dinaikkan, dan dinaikkannya hanya Rp100- Rp400 per liter, itu semua tidak akan signifikan menekan impor minyak.

Sementara itu, kalau harganya dinaikkan melebihi Rp400 per liter, kekhawatiran lain muncul; daya beli masyarakat bisa terganggu. “Kalau naiknya sedikit, tapi daya beli terpukul. Sementara konsumsi BBM tidak turun signifikan,” ujarnya.

Terlepas dari kebijakan populis jelang tahun politik, menurutnya, pemerintah sudah gegabah tidak menaikkan harga BBM ketika harga minyak di kisaran US$50 per barel. Ketika harga minyak saat ini sudah menembus US$74 per barel, baru pemerintah merasakan imbasnya.

Keputusan pemerintah untuk menahan harga BBM tentu berdampak ke pengeluaran subsidi energi. Untuk tahun ini saja, pemerintah berencana untuk menambah nilai subsidi energi hingga akhir tahun dari pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 dari Rp94,5 triliun menjadi Rp163,5 triliun.

Pilihan Sulit

Bhima mengakui menaikkan harga BBM di tengah tahun politik dan daya beli masyarakat yang rentan merupakan pilihan sulit. Apalagi, BBM adalah kebutuhan primer. Jika harga BBM dinaikkan Rp100 hingga Rp400 per liter, masyarakat masih akan tetap membeli BBM dengan mengurangi pengeluaran lain, misal sandang atau pangan.

“Kalau harga BBM dinaikkan, daya beli instan tergerus, sementara impor BBM-nya tidak signifikan langsung berkurang. (Dibanding masalah keuangan negara), saya masih memilih untuk menjaga daya beli masyarakat,” tutur dia.

Project Consultant Asian Development Bank (ADB) Institute Eric Sugandi mengatakan pemerintah masih punya ruang besar untuk menaikkan harga BBM. Ruang tersebut bisa terlihat dari inflasi hingga akhir tahun yang diprediksi hanya akan mencapai 3,3 persen atau di bawah target pemerintah 3,5 persen.

Ekonom Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menuturkan pemerintah bisa menaikkan harga BBM untuk mengatasi defisit transaksi berjalan dengan cepat. Ia menghitung, jika harga BBM dinaikkan Rp1.200-1.500 per liter, defisit neraca dagang migas bisa berkurang hingga US$1 miliar.

Kalau pemerintah khawatir kenaikan tersebut akan menimbulkan guncangan pada masyarakat, mereka bisa memilih menaikkan harga BBM secara bertahap. Yang penting, katanya, pemerintah sudah mengirimkan pesan ke pasar bahwa mereka sudah tahu masalah sebenarnya yang menghantui ekonomi dalam negeri dan serius mengatasinya. “Itu akan besar dampaknya ke penurunan konsumsi dan defisit neraca dagang migas,” katanya.
(cnn/dtf/put)

Close Ads X
Close Ads X