KPK Bidik Aset Bupati Nonaktif Labuhanbatu

Jakarta | Jurnal Asia

Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang membidik aset milik Bupati nonaktif Labuhanbatu, Sumatera Utara, Pangonal Harahap (PHH). Hal itu, untuk memaksimalkan pengembalian aset negara dari tindak pidana korupsinya.

”Untuk memaksimalkan pengembalian aset atau asset recovery dalam kasus ini, maka KPK juga melakukan pemetaan aset di daerah Sumatera Utara, termasuk adanya indikasi upaya penjualan aset PHH pada pihak lain,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin (17/9).

Selain itu, KPK sendiri sedang fokus mengembangkan dugaan penerimaan-penerimaan lain Pangonal Harahap. Awalnya, KPK hanya menemukan Rp500 juta saat operasi tangkap tangan (OTT), namun setelah ditelisik, ada dugaan penerimaan lainnya yang diduga berjumlah Rp46 miliar.

“Dari bukti transaksi sekitar Rp500 juta yang diamankan saat tangkap tangan. Saat ini, telah teridentifikasi dugaan penerimaan hingga Rp46 miliar yang diduga merupakan fee proyek-proyek di Labuhanbatu dari tahun 2016-2018,” terangnya.

Febri mengimbau kepada pihak-pihak yang ditawarkan aset oleh Pangonal Harahap agar menolaknya dan menyampaikan ke KPK. Sebab, suatu saat KPK dapat menyita aset tersebut untuk kepentingan bukti.

”Sekali lagi, kami ingatkan pada pihak-pihak yang ditawarkan aset oleh pihak PHH agar berhati-hati karena aset yang diduga terkait tindak pidana korupsi tersebut dapat disita dalam proses penyidikan,” pungkasnya.

Sejauh ini, KPK telah menetapkan tiga tersangka terkait kasus dugaan suap sejumlah proyek di Labuhanbatu. Ketiga tersangka tersebut yakni, Bupati Labuhanbatu, Pangonal Harahap; bos PT Binivan Konstruksi Abadi (PT BVA), Effendy Sahputra; dan orang kepercayaan Pangonal, Umar Ritonga.

Pangonal diduga telah menerima sejumlah uang suap dari Effendy Syahputra berkaitan dengan pemulusan sejumlah proyek di lingkungan Pemkab Labuhanbatu tahun anggaran 2018.

KPK telah mengantongi bukti tran­saksi sebesar Rp576 juta ketika melakukan penangkapan terhadap sejumlah pihak yang terkait dalam kasus ini. Bukti transaksi sebesar Rp576 juta itu diduga merupakan bagian dari per­mintaan Pangonal sebesar Rp3 miliar.

Sebelumnya, sekira Juli 2018, diduga telah terjadi juga penyerahan cek sebesar Rp1,5 miliar. Namun, cek tersebut belum berhasil dicairkan oleh pihak penerima suap.

Adapun, uang sekira Rp500 juta yang diberikan Effendy kepada Pangonal melalui Umar Ritonga yang bersumber dari pencairan dana pembayaran proyek pembangunan RSUD Rantau Prapat, Labuhanbatu.

Atas perbuatannya, Effendy sebagai pihak pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

Sedangkan, Pangonal dan Umar yang diduga sebagai pihak penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. (dtc/put)

Close Ads X
Close Ads X