Jepang Kaget Ada Hakim di Indonesia Ikut Korupsi

Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Yasuaki Tanizaki (kanan), memberikan penghargaan kepada Mantan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional, Satryo Soemantri Brodjonegoro (kiri), di Jakarta, Kamis (23/2). Satryo dianugerahi Bintang Jasa Jepang “The Order of the Rising Sun, Gold Rays with Neck Ribbon” atas jasa-jasanya dalam memperkokoh hubungan antara Indonesia dan Jepang di bidang pendidikan dan pertukaran akademik. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/kye/17

Jakarta – Investor Jepang kaget ketika tahu ada hakim di Indonesia ada yang terjerat kasus korupsi. Menanggapi hal itu juru bicara Mahkamah Agung (MA), Suhadi menyebutnya sebagai sebuah tantangan untuk memperbaiki citra kehakiman.

“Ya itu tantangan bagi MA untuk memperbaiki, mengurangi bahkan meminimalisi dan meniadakan hal-hal seperti itu,” kata Suhadi, Kamis (23/2). Suhadi berpendapat, MA sudah memiliki badan pengawasan dan pembinaan di lingkup kehakiman. Ia juga merujuk pada beberapa peraturan MA (Perma) yang mengawasi para hakim.

“Harus wajib diperbaiki, karena di MA sendiri ada kamar pembinaan dan kamar pengawasan. Nah, tugasnya itu untuk mengambil langkah-langkah tertentu seperti mengeluarkan regulasi seperti Perma no 7, 8 dan 9,” ujar Suhadi.

Kekagetan Jepang terungkap dalam rangkaian regulasi training ‘Study for the Amendment to the Law’ di Osaka, Jepang, yang dilaksanakan pada 12-22 Februari 2017. Saat itu delegasi ditemui advokat senior Kobayashi Kazuhiro dan mengaku sangat mengkhawatirkan tingkat korupsi di Indonesia. Korupsi di Indonesia membuat para pemilik modal masih ragu menanamkan investasinya di Indonesia.

“Bahkan ada hakim yang menerima suap,” kata Kobayashi mengawali diskusinya dengan tim delegasi Indonesia.

Dari Indonesia, pertemuan itu diikuti antara lain Ketua Program Studi S3 Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Prof Adji Samekto, akademisi UGM Zainal Arifin Mochtar, akademisi Unand Feri Amsari, ahli hukum Refly Harun, Direktur Puskapsi Universitas Jember Dr Bayu Dwi Anggono, dan tim dari Ditjen PP Kemenkum HAM. Adapun dari Jepang diikuti oleh pejabat Kementerian Kehakiman setempat serta akademisi Jepang. Seluruh dana studi riset ini dibiayai oleh pemerintah Jepang.

Harus Segera Berbenah
Senada hal di atas, Prof Jimly Asshiddiqie berpendapat masukan itu sangat baik dan Indonesia harus cepat berbenah diri. “Ada semacam norma yang belum berubah, di mana orang yang punya tradisi seperti politik masuk ke lingkungan yang berbeda. Karena dunia kehakiman sendiri itu berbeda dari lingkup pekerjaan yang lain, dia harus menyendiri diam dan lain sebagainya, jadi harus segera diubah,” ungkap Jimly.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu merasa wajar jika negara lain merasa heran dengan apa yang terjadi di Indonesia, khususnya melihat hakim yang terseret kasus korupsi. Ia berharap sistem perekrutan calon hakim lebih ketat menseleksi hakim-hakim.

“Saya rasa, kekagetan pihak asing ketika melihat hakim terlibat kasus korupsi itu kita maklumi. Tapi ini menjadi catatan kita untuk segera membenahi dunia kehakiman kita. Makanya kalau sudah selesai, kita harus punya sistem rekrutmen yang lebih matang lagi di mana calon hakim tidak boleh sembarang dan harus berasal dari lingkungan yang memang bisa bekerja sebaik mungkin,” papar guru besar Universitas Indonesia (UI) itu.

“Tapi kita berterimakasih kalau ada tanggapan seperti itu. Kita harus percaya diri, karena ini sebuah proses dari perbaikan dan pendewasaan,” imbuhnya.
(dtc/ant)

Close Ads X
Close Ads X