Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat terdapat 19 pondok pesantren yang terindikasi sarat dengan kegiatan radikalisme yang tersebar di seluruh Indonesia.
Kepala BNPT Saud Usman menuturkan, pondok pesantren tersebut tersebar mulai dari Lampung, Serang, Jakarta, Ciamis, Cilacap, Magetan, Lamongan, Cilacap, Solo, Nusa Tenggara Timur (NTT), Makassar, hingga Poso.
“Ini yang kami profiling banyak terkait dengan kegiatan radikalisme,” ujar Saud usai menjadi pembicara dalam acara diskusi di kantor DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Jakarta Pusat, Selasa (2/2/2016).
Ia menambahkan, data tersebut nantinya akan dibicarakan dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kementerian Agama, dan ormas Islam lainnya.Temuan BNPT ini juga telah dipaparkan di depan Presiden Joko Widodo dan juga Wakil Presiden Jusuf Kalla di waktu yang berbeda. Dalam paparan di kantor Wapres, kata Saud, dikumpulkan pula ulama-ulama dan tokoh Islam. “Dulu ada 20 (pondok pesantren). Tapi pak Wapres mengatakan yang satu tidak, jadi dihapus,” imbuhnya.
Dalam menentukan nama-nama pondok pesantren itu pun masih menemui pro kontra. Pasalnya, lanjut Saud, sebagian menganggap pondok-pondok pesantren itu memberikan pelajaran pada umumnya, namun sebagian menanggap ada ajaran-ajaran radikal di dalamnya.
Meski data BNPT ini mengandung pro dan kontra, Saud mengungkapkan BNPT sudah melihat adanya sejumlah indikasi. “Intinya, di 19 ini kami melihat adanya keterlibatan, apakah dosennya, pengajar, atau santrinya dalam kelompok radikal. Kalau izin kan yang mencabut bukan kami. Ini warning untuk semua stakeholder terkait,” ucap Saud.
Dibina di Lapas Sentul
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Saud Usman menuturkan, sudah ada penjara khusus narapidana terorisme di Sentul, Jawa Barat. Narapidana terorisme yang sudah kooperatif rencananya akan dikumpulkan atau dipindahkan ke sana untuk diberikan proses pembelajaran dan pemahaman deradikalisasi.
Pemindahan dilakukan karena para napi kooperatif juga merasa terancam di lapasnya yang lama. “Kami banyak mendapat masukan dari para napi yang sudah kooperatif. Mereka merasa terancam di sana oleh rekan-rekannya yang masih radikal keras sehingga mereka perlu dipindahkan,” kata Saud di Jakarta.
Pemikiran tersebut, kata Saud, sudah dipaparkan di rapat terbatas dengan presiden. Penandatanganan nota kesepahaman juga telah dilakukan BNPT dengan Kementerian Hukum dan HAM untuk ditindaklanjuti. “Napi yang sudah kooperatif kenapa tidak? Daripada dia nantinya menjadi radikal lagi,” tambahnya.
Namun, untuk memindahkan para napi terorisme yang sudah kooperatif tersebut ke lapas Sentul, kata Saud, dibutuhkan aturan khusus. Pertama, terkait legalitasnya. Kedua, terkait personil yang akan mengawal lapas itu, termasuk administratif.
Ia pun mengupayakan agar pemindahan ke Lapas Sentul ini bisa dilakukan secepatnya karena kapasitas lapas yang sudah membludak. Selain itu, Saud Usman mengeluhkan kurangnya dana untuk kegiatan deradikalisasi. BNPT hanya mendapatkan dana sebesar Rp 310 miliar dalam setahun. Jumlah itu termasuk untuk gaji seluruh personil BNPT dan biaya operasional. Saud mengaku sudah menyampaikan keluhan ini kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro bahwa BNPT membutuhkan kucuran dana lebih.
“Kami tidak ada menerima satu rupiah pun dari bantuan asing dalam rangka kegiatan deradikalisasi. Kami murni menggunakan APBN. Sedangkan biaya kami cuma Rp 310 miliar setahun,” kata Saud.
Oleh karena keterbatasan anggaran itu, Saud mengaku banyak kegiatan yang tak bisa terlaksana. Idealnya, BNPT membutuhkan dana sekitar Rp 330 miliar dalam setahun yang sudah mencakup pelatihan dan modal usaha kepada para narapidana terorisme.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, kata Saud, akan berusaha mencari dana untuk memenuhi permintaan penambahan anggaran tersebut. “Kami bilang ke Menkeu, bapak presiden. Ini kami butuh dana, pak. Untuk kegiatan di dalam maupun luar penjara. kata Pak Menkeu, kita akan cari dananya,” imbuhnya. (kc/ant)