Milenial Harus Melek Digital di Era Globalisasi

 

Kepala Pusham UNIMED, Majda El Muhtaj.Ist

Medan | Jurnal Asia
Generasi milenial merupakan ‘penduduk asli’ dari realitas perubahan global yang ditandai dengan otomasi, digitalisasi, migrasi dan modernisasi aneka perangkat kecerdasan artifisial. Karenanya, kemelekan digital menjadi kata kunci untuk membingkai perubahan supra-canggih ini ke dalam tatanan keseimbangan dan keadilan sosial yang teruji.

Kepala Pusat Studi HAM (Pusham) Universitas Negeri Medan, Majda El Muhtaj mengatakan, dinamika perubahan yang masif kini menuntut keandalan kaum milenial dalam beragam taraf adaptasi yang cerdas. Menurutnya jangkauan perubahan global itu telah mengaksentuasi seluruh aspek kehidupan manusia.

“Akselerasi teknologi digital selain memberikan dampak positif berupa kemudahan dan kecepatan akses informasi juga berimplikasi secara negatif terhadap penyederhanaan pola pikir. Serta pola sikap serta perilaku yang individualistik hegemonik di atas kehidupan sosial masyarakat,” katanya, Rabu (11/12/2019).

Kebajikan publik (public virtue) menjadi persoalan utama yang muncul ketika relasi sosial semakin dirasakan jauh dari keadilan dan kesetaraan. Sebab, dihadapkan pada pilihan tuntutan investasi sebagai ekses dari resesi dunia yang semakin akut dan cenderung menafikan tatanan kehidupan yang adil dan berkesinambungan.

“Belakangan investasi menjadi terma yang acapkali menggelinding sebagai antitesis dari kerunyaman struktur ekonomi global dan berimplikasi pada tatanan ekonomi nasional. Investasi infrastruktur dalam jumlah yang sangat besar dan terjadi secara masif sangat dirasakan belum mampu tegak lurus dengan ekspektasi sosial masyarakat,” ujarnya.

Laju investasi juga belum mampu mengurangi angka buta huruf dan ketidakmelekan digital masyarakat. Laju investasi masih disemangati oleh kemandirian semu yang sesungguhnya menjadi ‘mimpi buruk’ bagi sebagian masyarakat yang dalam faktanya masih berada dalam politik ekonomi marjinalisasi pembangunan yang ditandai denganĀ  penggusuran, pengangguran, kriminalitas, hedonistik dan individualistik.

Di sinilah kaum milenial dipanggil untuk urun rembug secara aktif-partisipatif berdiri tegak memantapkan keajegan nilai-nilai demokrasi yang respek pada hak asasi manusia.

Dalam spektrum hak asasi manusia, investasi sejatinya tetap dipandang sebagai sarana, bukan tujuan pembangunan. Sebagai sarana, investasi yang sarat dengan aktivitas entitas bisnis yang berkorelasi kuat dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Relasi bisnis dan hak asasi manusia meniscayakan hadirnya tiga pilar penting, sebagaimana dirujuk sebagai United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) yang diadopsi oleh PBB pada 2011.

Komitmen internasional, melalui UNGPs, harus menjadi komitmen aksi nasional karena diyakini menjadi kerangka panduan yang mampu mendamaikan polisentrisitas antara tata kelola negara, tata kelola korporasi dan tata kelola masyarakat sipil yang sangat peduli mengadvokasi kepentingan hak asasi manusia secara universal.

“Peringatan Hari Hak Asasi Manusia 2019 harus menjadi momentum bagi segenap aktor negara untuk menyadari hakikat kewajiban internasional dan nasional untuk melindungi hak asasi manusia,” imbaunya.

Peringatan Hari HAM Se-Dunia ke-71, 10 Desember 2019, mengangkat tema ‘Youth Standing Up For Human Rights’ (Kaum Muda Berdiri Untuk Hak Asasi Manusia).

Tema ini dipilih PBB sebagai responsivitas terhadap perubahan dunia yang selain diaktori oleh kecerdasan agregatif kaum milenial, dampak terbesar yang merasakan perubahan besar dunia saat ini juga kaum milenial.(nty)

Close Ads X
Close Ads X