Lulusan SMK Nganggur akibat Pola Ajar Salah

Jakarta | Jurnal Asia

Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa mengungkapkan, masih banyak Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau vokasi yang porsi belajar teorinya lebih banyak ketimbang keterampilan kerja.

Pola ajar itu dinilai tidak tepat karena idealnya, pola ajar di SMK atau vokasi 80 persen menguasai keterampilan kerja dan 20 persen lagi memahami teori.

Keadaan itu, lanjut Ledia, diperparah dengan minimnya kompetensi guru. Mayoritas guru SMK hanya menguasai teori, tanpa pernah langsung berkecimpung di dunia industri.

“Para guru tidak diberi bekalan memadai untuk menguasai ilmu dasarnya dan perkembangan keterampilan yang dibutuhkan pasar kerja. Kecepatan kebutuhan dunia usaha dunia industri tidak terikuti,” kata Ledia, kemarin

Ledia juga menilai, hingga saat ini sarana dan prasarana SMK tidak memadai dan tidak dapat mengikuti perkembangan. Karena itu selama tiga tahun, proses belajar siswa SMK tidak jauh berbeda dengan siswa di SMA ataupun Aliyah.

“Regulasi terkait kompetensi pada berbagai profesi yang peringkat terendahnya lulusan SMK yang sering berubah dan tidak terintegrasi,” ungkap dia.

Sarana yang minim tersebut seharusnya tidak melulu dijadikan kendala. Sekolah, kata Ledia, harusnya tertantang dan berinisiasi untuk melakukan kerja sama dengan dunia usaha.

“Kerjasama dengan dunia usaha dalam bentuk praktek kerja maupun magang sampai saat ini masih minim. Padahal itu sangat penting dalam peningkatan kompetensi siswa,” tegas dia.

Diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pada Agustus 2018, tingkat pengangguran terbuka (TPT) didominasi lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yakni sebesar 14,7 juta orang atau 11,24 persen.

Sementara itu Wakil Ketua Komisi X DPR Sutan Adil Hendra menilai tingginya angka pengangguran lulusan SMK sebagai bukti kegagalan pemerintah dalam menggalakkan Industri di Tanah Air.

Problem SMK dari tahun ke tahun tetap sama dan pada kenyataannya pemerintah tidak mampu merumuskan solusi agar lulusan SMK lebih banyak terserap industri.

“Tingginya angka pengangguran dari lulusan SMK ini bukti kegagalan pemerintah dalam menggalakkan industri di Tanah Air,” kata Sutan

Menurut dia, kebijakan pemerintah yang membuka ribuan sekolah menengah kejuruan (SMK) tidak diikuti dengan program industrialisasi yang menampung para lulusan. Akibatnya, saat ini SMK tak ubahnya berperan sebagai mesin pencetak pengangguran setiap tahunnya.

“Dengan meningkatnya angka pengangguran di Tanah Air secara signifikan dan menjadi masalah baru dalam ekonomi nasional,” tegas Sutan.

Sutan menambahkan, data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017 saja SMK menyumbang 11 persen lebih angka pengangguran. Fakta tersebut tentunya menjadi sangat kontra produktif dengan tujuan pemerintah mendirikan SMK sebagai instrumen meningkatkan produktivitas angkatan kerja.

Karena itu, ke depan, dia berharap, pemerintah bisa menyesuaikan antara permintaan dan penawaran angka lulusan SMK dengan penyiapan lahan industri. Sehingga, lulusan SMK bisa lebih terserap secara signifikan di dunia industri.
(rep|swm)

Close Ads X
Close Ads X