Bedah Buku Etika Budaya Hukum | Penguatan Tradisi Akademik dan Keilmuan di UMSU

Medan – Kegiatan diskusi dan bedah buku Etika dan Budaya Hukum dalam Peradilan yang digelar Komisi Yudisial (KY) bekerjasama dengan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) sarat dengan nilai-nilai akademik dan keilmuan.

“Sudah menjadi komitmen kita akan terus meningkatkan kerjasama dengan berbagai lembaga, termasuk KY dalam upaya penguatan tradisi akademik dan keilmuan di UMSU,” ujar Rektor UMSU Dr Agussani MAP, kemarin pada diskusi dan bedah buku mengenai hukum di Aula kampus tersebut Jalan Kapten Muchtar Basri Medan.

Untuk itu Rektor menyampaikan apresiasi dan ucapan terimakasih kepada KY yang telah memberikan kepercayaan kepada UMSU untuk menggelar kegiatan penting bagi mahasiswa dan pelbagai kalangan serta instansi terkait.

Diskusi dan bedah buku yang diterbitkan Sekretaris Jenderal KY Republik Indonesia dibuka langsung Rektor UMSU itu menghadirkan tiga nara sumber, yaitu Sukma Violetta SH LLM (Komisioner KY), Dr Abdul Hakim Siagian SH MHum (Praktisi Hukum dan Ketua Pusat Kajian Studi Konstitusi UMSU) dan Dr Faisar Ananda Arfa MA (Akademisi UIN SU).

Sementara itu Komisioner KY Dr Farid Wajdi SH MHum dalam prolognya menjelaskan, buku “Etika dan Budaya Hukum dalam Peradilan” ini sebenarnya merupakan kumpulan tulisan atau bunga rampai yang penulisnya terdiri dari tokoh-tokoh hukum dan para anggota KY periode ke tiga serta periode sebelumnya.

Sesuai dengan judulnya, kata Farid, buku ini lebih-kurang ingin menyampaikan pesan bahwa persoalan etika dan budaya hukum merupakan aspek yang sangat penting dalam upaya peningkatan kualitas peradilan di negeri ini.

“Dengan kegiatan diskusi dan bedah buku ini, kita berharap UMSU akan menjadi kawah candradimuka, kiblat atau referensi bagaimana sepatutnya etika dan budaya dalam peradilan menjadi lebih baik lagi,” kata Juru Bicara KY yang juga mantan Dekan Fakultas Hukum UMSU ini.

Tampil sebagai pembicara pertama, Sukma Violetta SH LLM menjelaskan kondisi terkini berkenaan dengan ikhtiar peningkatan kualitas dunia peradilan di Indonesia.

Ia tidak menampik selama ini memang ada semacam situasi rivalitas antara KY dan MA terkait pertentangan prinsip akuntabilitas dan independensi kekuasaan kehakiman.

“Sebaiknya kita tidak ahistoris, bahwa prinsip akuntabilitas dan independensi kekuasaan kehakiman itu tidak pernah berdisri sendiri,” sebutnya.

Sedangkan Dr. Abdul Hakim Siagian SH MHum dalam paparannya lebih menyoroti soal profesionalitas hakim. Menurutnya, terkait persoalan profesionalitas, independensi dan kebebasan hakim dalam hal memeriksa dan memtus perkara di pengadilan itu tidak bisa diintervensi oleh siapapun.

“Artinya, aspek profesionalisme, independensi dan kebebasan hakim itu bersifat ‘harga mati’, tak bisa ditawar. Namun, tentunya setelah hakim memutus sebuah perkara kebebasan itu juga harus dipertanggungjawabkannya.” tegas Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara ini.

Selain itu, ia juga mensinyalir, bahwa selama ini dengan alasan independensi kekuasaan MA sudah sedemikian rupa, seakan-akan tidak bisa lagi dicampuri oleh pihak manapun, sehingga berpotensi menjadi absolut.

Selain itu pembicara Dr. Faisar Ananda Arfa MA dalam presentasinya mengupas persoalan etika hukum dalam perspektif filosofis.

Ia mengatakan, berbicara ikhwal etika dalam konteks dunia hukum adalah sesuatu yang sangat menarik dan unik. Karena menurutnya, etika merupakan topik yang sangat sulit dan rumit.

“Bahkan dalam dunia filsafat hukum sendiri, etika ini tidak begitu populer dibanding dengan teori hukum murni. Itu menunjukkan betapa susahnya membicarakan ikhwal etika dalam konteks hukum,” ujarnya. (swisma)

Close Ads X
Close Ads X