Menikmati Keindahan Danau Maninjau

Mendekati musim liburan ini, Anda mungkin merencanakan untuk melakukan perjalanan wisata. Danau Maninjau di Sumatera Barat mungkin bisa menjadi salah satu alternatif tujuan wisata Anda akhir tahun ini.

Melintasi Kelok 44 di sore hari ketika matahari perlahan mulai terbenam, Anda bisa menikmati pemandangan Danau Maninjau yang luar biasa. Mungkin seperti melihat gambar wallpaper di depan mata.

Paduan warna keemasan khas matahari terbenam, dipadu kabut yang menutup tipis pebukitan di sekitar danau dan awan-awan yang terlihat rendah serta menembus bukit tersebut. Pokoknya keren habis!

Danau Maninjau terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, provinsi Sumatra Barat. Berjarak sekitar 140 kilometer sebelah utara Kota Padang, ibukota Sumatera Barat, 36 kilometer dari Bukittinggi, 27 kilometer dari Lubuk Basung, ibukota Kabupaten Agam.

Maninjau yang merupakan danau vulkanik ini berada di ketinggian 461,50 meter di atas permukaan laut. Luas Maninjau sekitar 99,5 km? dan memiliki kedalaman maksimum 495 meter. Cekungannya terbentuk karena letusan Gunung yang bernama Sitinjau (menurut legenda setempat), hal ini dapat terlihat dari bentuk bukit sekeliling danau yang menyerupai seperti dinding. Menurut legenda di Ranah Minang, keberadaan Danau Maninjau berkaitan erat dengan kisah Bujang Sembilan.

Danau Maninjau merupakan sumber air untuk sungai bernama Batang Antokan. Di salah satu bagian danau yang merupakan hulu dari Batang Antokan terdapat PLTA Maninjau. Puncak tertinggi diperbukitan sekitar Danau Maninjau dikenal dengan nama Puncak Lawang. Untuk bisa mencapai Danau Maninjau jika dari arah Bukittinggi maka akan melewati jalan berkelok yang dikenal dengan Kelok 44 sepanjang kurang lebih 10 KM mulai dari Ambun Pagi sampai ke Maninjau

Kawasan Puncak Lawang dikembangkan sebagai lokasi ‘take Off’ Olah Raga Dirgantara Paralayang (Paragliding). Sambil melayang-layang bebas di udara dan menjelang mendarat di Bayur, tepian Danau Maninjau, dari udara kita dapat menikmati keindahan Danau Maninjau yang tiada duanya

Puncak lawang merupakan salah satu tempat terbaik untuk olahraga paragliding di asia tenggara, terletak di ketinggian 900 meter di atas permukaan laut. Bagi mereka yang menyukai tantangan dan lintas alam dapat berjalan kaki menuruni lereng menuju Danau Maninjau atau melintasi hutan lindung ke Objek Wisata Embun atau kembali ke hotel. Dan perjalan wisata kita kurang lengkap jika belum mencoba menikmati keindahan Danau Maninjau dari udara dengan terbang tandem mengunakan paralayang bersama penerbang-penerbang lokal yang cukup handal dan terlatih.

Berwisata ke Sumatera Barat, tak lengkap rasanya jika mengunjungi Kolam Air Tigo Raso. Kolam ini memang memiliki dengan tiga macam rasa air yaitu manis, asam dan pahit. Terletak di Kota Malintang, diyakini oleh masyarakat setempat memiliki kekuatan gaib. Masyarakat mempercayai bahwa airnya bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit kulit. Dan boleh percaya atau tidak, air ini juga diyakini bisa membuat Anda awet muda. Mungkin Anda tertarik untuk mencobanya.

Museum Buya Hamka
“Di tepi Danau Maninjau, di suatu kampung bernama Tanah Sirah, dalam Negeri Sungai Batang, di situlah rumah orangtuaku. Aku masih teringat sebuah rumah atap ijuk bergonjong empat, menghadap ke danau, membelakang ke timur. Halamannya tidak luas, sebab rumah itu di lereng bukit. Di pinggir halaman, ditanam andung (nenek) bungaraya putih, yang senantiasa dipangkas agar mudah bagi ibuku menjemur kain,” begitulah Hamka mengawali kisah hidupnya yang tertuang dalam otobiografi berjudul Kenang-kenangan Hidup.

Secara umum, gambaran seperti dituturkan Buya ini tak banyak berubah. Di tempat itu masih tegak sebuah rumah bergonjong-sebutan rumah adat Minangkabau-dengan empat tanduk. Letaknya, masih di lereng bukit, menghadap Danau Maninjau nan permai. Halamannya tak luas-luas benar, yang masih juga dihiasi bunga-bungaan.

Cuma, ada sejumlah detail yang kini-lebih dari seabad kemudian-jauh berbeda. Rumah itu bukan lagi rumah tua karena sudah direnovasi total dengan tetap mempertahankan model aslinya. Atapnya tak lagi dari ijuk, melainkan bersalut atap modern.

Kini halamannya pun ditutupi rerumputan dan dihiasi bunga aneka warna yang terawat baik. Untuk sampai ke rumah itu, pengunjung mesti mendaki jenjang semen berbentuk huruf U setinggi kira-kira empat meter. Yang paling berbeda, rumah itu bukan lagi rumah tinggal. Bangunan itu sudah jadi museum rumah kelahiran Buya Hamka.
(*)

Close Ads X
Close Ads X