Jakarta | Jurnal Asia
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengharapkan pondok pesantren dapat menjadi lembaga pendidikan yang mengajarkan toleransi.
“Sekali lagi, toleransi itu saling menghargai, saling menghormati satu sama lain, akan menimbulkan toleransi,” kata Wapres RI setelah meresmikan pembukaan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Santri Pondok Pesantren Darul Hikmah Tulungagung, Jawa Timur, Senin (16/1).
Menurut JK, pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan agama harus dapat mengajarkan prinsip kehidupan toleransi atas dasar saling menghargai, seperti yang tercantum dalam Al Quran Surat Al-Kafirun.
“Jadi kalau dari segi agama ya tadi, bagi kamu agamamu, bagiku agamaku. ‘Lakum diinukum waliyadiin’, harus begitu,” tuturnya.
Wapres menegaskan bahwa toleransi melibatkan semua pihak, baik antaragama, antarsuku, antarkepercayaan, dan antargolongan harus saling menghormati.
“Satu sama lain harus saling menghormati dan saling membantu, barulah bisa terjadi toleransi,” kata dia.
Selain meresmikan Rusunawa Santri Darul Hikmah, Wapres juga meninjau pengelolaan Dana Desa di Kelurahan Plandaan, Kecamatan Kedungwaru, Tulungagung.
Dalam kunjungannya ke Tulungagung, Wapres didampingi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basoeki Hadimuljono, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dan Gubernur Jawa Timur Soekarwo.
Menolak Intoleransi
Sementara itu, Alissa Wahid yang merupakan putri Presiden RI ke-4 Abdurahman Wahid (Gus Dur), menyebutkan sebagian besar anak muda atau pemuda di Indonesia menolak terorisme, intoleransi dan kekerasan atas nama agama.
“Mereka tidak percaya bahwa agama itu bisa diwujudkan dalam bentuk teror. Tidak menjadikan orang menjadi suci kalau caranya meneror, tetapi sikap terhadap kelompok lain cenderung lebih intoleran,” kata Alissa Wahid pada Seminar Surabaya Outlook 2017 yang digelar di Aula FISIP Unair Surabaya, Senin (16/1).
Menurut dia, pendapat tersebut merupakan hasil survei yang dilakukannya terhadap ribuan anak muda di Indonesia. “Jadi ada dua kecenderungan yang berbeda, pertama memandang orang lain sebagai musuh itu lebih kuat, tetapi kalau kekerasan tidak. Ini dua hal yang perlu disikapi lebih arif oleh negara dan semua elemen masyarakat,” katanya.
Pemilik nama lengkap Alissa Qotrunnada Munawaroh ini mengatakan pihaknya juga melakukan riset terhadap gagasan gagasan di sosial media terutama yang terkait dengan ekstremisme.
“Ternyata ada pesan pesan utama yang muncul di sana seperti pesan bahwa kelompok kami lebih terdholimi, ternistakan, ditindas, oleh karena itu harus melawan. Kalau pesan ini semakin menguat maka peluang konflik itu lebih besar,” katanya.
Untuk itu, lanjut dia, yang harus dilakukan adalah keikutsertaan negara sebagai penanggungjawab utama dalam memberikan pembinaan kepada generasi muda. “Jaringan Gusdurian tentunya harus lebih bersikap arif. Jadi tidak hanya sekadar pemahaman Islam itu damai, Indonesia Bhineka, melainkan harus punya startegi yang lebih tepat,” katanya.
Ia mengatakan kondisi intoleransi di Indonesia sudah mengkahwatirkan. “Sepuluh tahun lalu kami sudah mengingatkan bahwa ada kecenderungan seperti ini. Bahkan Gusdur sudah mengingatkan pada 1983. Tapi saat itu dipandang itu ekspresi keberagamaan saja. Tapi sekarang sudah real ancaman,” katanya.
Terumana penggunaan tekanan massa untuk menyetir kebijakan publik seperti yang terjadi di Jakarta. “Sudah ada tekanan kepada kepolisian untuk membatasi kelompok-kelompok lain. Pemerintah harus tegas jangan atas nama harmoni tapi membatasi konstitusi,” katanya.
(ant)