Mengenal Lebih Dekat Seorang Passang Rinpoche

Sekolahku

Pada umur delapan tahun ketika sampai di Serta Larung, dalam kelas banyak sekali Bhikkhu yang umurnya lebih tua dari saya. Dapat dikatakan dalam kelas yang berjumlah 50 orang, saya merupakan anak paling kecil.

Ada yang umurnya sudah mencapai lima puluh tahun juga dalam kelas yang sama. Total murid-murid yang ada di Serta Larung saat itu mungkin mencapai 1.000 orang.

Guru besar kami HH Jigme Phuntsok mengajar setiap hari, kadang satu sampai dua jam. Dengan berjalannya waktu, ketika guru saya mulai sakit beliau tetap memberikan pelajaran setiap hari akan tetapi di dalam kamarnya melalui mikrofon yang terpasang di kelas-kelas Dharma kami.

Selain menerima ajaran dari guru utama, kami juga harus mengikuti pelajaran Dharma di kelas-kelas yang lebih kecil yang berjumlah puluhan orang. Saat itu kami belum mempunyai aula besar yang memadai, tidak ada pemanas ruangan jika cuaca dingin.

Biasanya guru besar akan memberikan pelajaran untuk kami di luar ruangan jika musim panas, duduk di atas rumput-rumput, mendengarkan suara burung-burung dan suara guru saya merupakan suara yang sangat indah.

Langit di tempat saya lahir dan tumbuh sangat biru karena daerah kami berada di dataran yang tinggi dekat sekali dengan langit. Saat itu, di Serta Larung juga belum ada mobil ataupun motor. Kami menggunakan tenaga kuda untuk perjalanan jauh dan jalan setapak untuk kuda juga tidak banyak.

Jalan menuju Serta Larung merupakan dakian ke bukit dan harus turun ke lembah. Saat itu, kita tidak menggunakan kuda jika menuju bukit karena jalannya curam sekali, kita takut kudanya jatuh bukan takut orang yang jatuh, kerena kuda adalah binatang berharga yang membantu kami melakukan banyak sekali pekerjaan.

Di sekolah tempat kami belajar setiap hari, dari kelas yang satu masuk lagi ke kelas berikutnya. Banyak guru yang berbeda untuk setiap kelas, saat itu sudah belasan murid senior yang membantu guru utama.

Dan dalam satu pelajaran kami mempunyai beberapa guru. Misalkan ketika kami belajar tentang kekosongan, mungkin kalian umat awam hanya belajar tentang kekosongan dari sutta hati.

Dalam ajaran kami sutta hati (Sin Cin) itu terbagi dalam 4 buku besar yang tebalnya sekitar 300-400 halaman dan bukunya besar sekali. Kami menghabiskan waktu empat tahun untuk belajar empat buku tersebut dan dari empat buku tersebut masih di bagi lagi menjadi delapan buku penjelasan yang lebih tebal lagi.

Di Serta Larung, kami tidak ada keperluan dan keinginan lain, hanya hidup untuk mencari kebijaksanaan Dharma, melihat dunia sesuai ajaran sang Buddha tanpa ada keserakahan terhadap duniawi. Karena kami juga tidak melihat kemewahan yang memang tidak ada disana.

Mungkin jika saya menjelaskan dengan terperinci tentang pelajaran Dharma di sekolah kami, kalian akan kebingungan. Bayangkan saja semua waktu yang kami habiskan untuk mengerti penjelasan dari para guru senior, besok paginya harus kami jelaskan di depan kelas dan ditambah dengan penjelasan dari pemahaman kami.

Saat yang paling menentukan nilai adalah pada saat kami harus berdebat di depan guru kami, karena saat pelajaran berdebatlah kami bisa menjelaskan tentang pandangan kami terhadap pencerapan kami atas mata pelajaran tersebut dengan waktu yang sedikit. Dan di depan begitu banyak orang dan kami harus siap menerima pertanyaan dari Lama lain dan guru kami jika penjelasan kami kurang tepat dan tidak sesuai dengan cara pandang mereka.

Kata-kata yang kami pilih juga tidak boleh sama dengan ketika guru memberikan ajaran tersebut. Perumpamaan atas pelajaran tersebut juga harus kita cari sendiri yang harus paling mendekati dan paling sesuai dengan ajaran tersebut.

Setiap pelajaran yang kami terima harus diulangi dan renungkan kembali saat di rumah. Banyak sekali kejadian lucu para Bhikkhu dalam usaha belajar merenungkan mata pelajaran.

Termasuk saya sendiri, dari rumah saya menuju tempat pengambilan air bersih untuk keperluan sehari-hari saya membutuhkan waktu hampir 1 jam menuju ke sana dan 1 jam lagi untuk kembali ke rumah. Karena daerah kami perbukitan dan udara cukup tipis.

Kami tidak bisa berjalan dengan cepat, kami hanya bisa berjalan perlahan dengan melafal dan merenungkan pelajaran kami.

Pernah sekali sesudah saya sampai ke tempat pengambilan air bersih dengan membawa ember air, saya kembali lagi ke rumah, sampai rumah saya baru sadar saya pulang dengan tangan kosong. Ember air lupa saya bawa pulang karena pikiran hanya tertuju pada penghafalan, saya harus kembali lagi ke sana untuk membawa air saya kembali, hari sudah gelap hari itu saya membutuhkan empat jam untuk mengambil air. Dan kejadian ini sering sekali terjadi.

Di sekolah kami tempat tinggal para bhikkhu dan bhikkuni di buat batas dengan tembok tinggi dan jalan ke tempat para bhikkuni adalah paling ujung dan paling jauh. Kami para bhikkhu di larang masuk ke area tersebut.

Pernah sekali ketika pulang sekolah karena sibuk menghafal saya berjalan melewati pagar sampai ke tempat tinggal para bikkhuni, saat itu saya di panggil dengan suara yang kencang oleh beberapa bhikkhu. Saat baru sadar saya malu sekali, berlari sekuat tenaga kembali kerumah.

Pernah seorang bhikkhu senior ketika merenungkan tentang isi sebuah paritta, sudah semalaman masih saja tidak mengerti akan sebait kalimat yang tertera di sana, hari sudah malam akan tetapi karena penasaran bikkhu tersebut memberanikan diri mengetuk kamar guru senior untuk dibantu penjelasan.

Setelah guru senior membuka pintu dan memberikan perumpamaan untuk kalimat tersebut, bhikkhu senior menutup pintu dan berpikir bahwa bikkhu penanya tadi setelah diterangkan pasti langsung pulang kembali ke rumahnya.

Akan tetapi besok paginya ketika bikkhu senior membuka pintu, bhikkhu penanya masih berada didepan pintunya sambil ketiduran.

Mungkin setelah mendengar penjelasan dari bikkhu senior, beliau masih merenungkan dan memikirkannya sampai ketiduran, padahal saat itu cuaca dingin sekali, untung tidak sampai mengorbankan nyawa.

Kami tidak pernah mengenal hari libur atau hari minggu, satiap hari adalah hari belajar, belajar bagi kami bagaikan bernapas. Begitulah adanya kehidupan kami saat itu.

Saat musim dingin dan turun salju, cuaca akan dingin sekali, jika salju sudah berhenti dan besoknya hari cerah tanpa salju angin akan berhembus dengan mengeluarkan suara ngiung…..ngiug….saya masih ingat jelas sekali suara tersebut, saat itu dinginnya bisa sampai ke tulang-tulang.

Saat musim dingin tidak memungkinkan kami belajar di luar kelas, biasanya kami akan berdesakan dalam aura kecil sederhana saling berhimpitan untuk mencari kehangatan. Kelas belajar untuk para bikkhuni dan para bikkhu terpisah, para bikkhuni juga diajar oleh bikkhuni senior.

Saat cuaca bagus dan musim panas saat kami berkumpul bersama, para bikkhuni duduk di depan dan para bikkhu di belakang. Siapa paling cepat datang maka dia berhak duduk paling depan dan paling dekat dengan guru utama.

Tidak melihat umur, status sosial dan lainnya. Walaupun kamu seorang guru senior pengajar jika belakangan sampai maka akan duduk di belakang.

Walaupun tamu jauh pendana terbesar di sekolah kami datang mengunjung jika dia datang terlambat maka dia juga harus duduk paling belakang. Di sekolah kami tidak ada orang paling penting atau orang paling hebat. Semua usia diperlakukan sama. Ini merupakan peraturan dari guru utama kami. (netty-rel)

Close Ads X
Close Ads X