Mengenal Lebih Dekat Passang Rinpoche

Passang Rinpoche lahir tahun Kambing Bumi 1979 di Desa Gangtsar, daerah Kandze, Provinsi Sichuan di pagi hari jam sembilan.

Sesaat setelah itu, Khandro Tare Lhamo, Makor Khandro dan Dzogchen Yogi Acho Rinpoche dan beberapa guru besar lainnya mendatangi dan mengenali beliau sebagai reinkarnasi dari Dzongchen Yogi Yeshe tendzin Rinpoche.

Akan tetapi kabar dan berita luar biasa ini disimpan oleh para guru besar dan keluarga Rinpoche agar kehidupan masa kecil beliau tidak terganggu oleh pengaruh dan kondisi dari lingkungan.

Karena jika saat itu lingkungan Rinpoche tahu maka akan banyak sekali umat yang datang untuk meminta berkah sesuai tradisi di daerah sana. Mereka semua menjaga agar pertumbuhan dan perkembangan Rinpoche tidak di pengaruhi oleh para umat awam.

Pada umur enam tahun,keempat Guru Besar dan Lama menjemput Passang Rinpoche untuk tinggal di Vihara Gongtar Monastery (kini berjumlah 400-an Bhikkhu dan Bhikkhuni) dan memulai semua ajaran Buddha Dharma dasar kepada beliau.

Rinpoche sering menceritakan kisah tersebut kepada kami, ketika suatu hari beliau dijemput dan dibawa tinggal di sebuah tempat tinggal jauh dari orang tuanya, pertama kali beliau merasa heran dan ingin tahu karena melihat ibu, bapak juga anggota keluarganya semua sedih dan menangis.

Saat itu beliau tidak merasakan apa-apa, karena diberikan begitu ba­nyak mainan, permen, makanan enak, yang saat itu sangat jarang di­dapatkan anak-anak seusia beliau yang membuat dia sangat senang sekali.

Ketika itu dia mulai dipanggil dengan sebutan Rinpoche, pada saat itu ia merasa alangkah hebat dan nyamannya menjadi seorang Rinpoche, diberikan begitu banyak perhatian, dihormati dan diberikan barang-barang yang tidak pernah beliau lihat waktu berada di rumah.
Sesudah beberapa hari di tempat asing tersebut Rinpoche kecil mulai sangat merindukan orang tua dan keluarganya.

Setiap hari Rinpoche kecil menangis dan minta pulang, akan tetapi para guru tersebut mulai membujuk dengan cara halus sampai dengan hukuman agar Rinpoche mengerti bahwa ia bukan milik keluarganya lagi akan tetapi merupakan milik vihara.

Ketika guru besar tersebut memberi hukuman kepada beliau, Rinpoche masih sangat ingat bahwa para guru akan bersujud, minta maaf dan dengan wajah yang sangat terluka,dengan meninggikan suara dan mengambil ranting kecil untuk menakuti Rinpoche agar jangan menangis dan memulai hari-hari dengan belajar melafalkan mantra dengan cara lisan dan tulisan.

Rinpoche mengatakan selama dua tahun berada di vihara GONTAR MONASTERY para guru besar tersebut mengajarkan tentang disiplin, mandiri, tanggung jawab dan tugas-tugas seorang Rinpoche.
Pada usia 8 tahun Rinpoche diantar ke Institut Buddhist Sertar Larung Five Discipline dan mengambil ordinasi kebhikkhu-an dari Neten Gador Rinpoche dan memilih Raja Dharma (Fak Wang) Khenpo Jigme Phuntsok yang sangat legendarias sebagai guru utamanya.

Sering sekali para murid meminta saya untuk menceritakan tentang kisah-kisah kehidupanku ketika bersama dengan seorang guru besar Khenpo Jigme Phuntsok.

Saya sulit sekali bisa menceritakan pada kalian, karena perhatian, welas asih, kebijaksanaan, ajaran, pengorbanan, ketulusan dari seorang guru Khenpo Jigme Phuntsok tidak dapat saya utarakan lewat kata-kata.

Akan tetapi jika saya bisa memilih untuk menjadi seekor kuda ataupun seekor anjing yang bisa menemani Guru saya di 1.000 kehidupan di masa akan datang, ini merupakan penghormatan luar biasa tinggi yang bisa saya dapatkan. Juga bila saya diberi kesempatan untuk mengorbankan 1.000 x nyawa dan kehidupan saya untuk seorang guru Khenpo Jigme Phuntsok ini merupakan pengorbanan sangat kecil yang bisa saya berikan.

Kebahagiaan dan suka cita tersebut sangat membantu saya ketika belajar Dharma. Kami semua menyayangi guru kami lebih, lebih dan lebih berharga dari nyawa kami sendiri.

Karena Dharma dan praktek welas asih guru memberikan kami pencerahan dan arti kebahagiaan sesungguhnya, ini merupakan harta pusaka yang akan kami bawa selama hidup kami.

Pada saat itu keadaan kami boleh dikatakan miskin karena sekolah kami sangat sulit dijangkau, jarang kami melihat minuman kaleng, permen bermerek, coklat, atau apa yang bersifat duniawi. Sekolah kami tidak ada televisi atau radio, akan tetapi kami tidak pernah sekalipun merasa miskin duniawi, kami tetap dapat bermain seperti anak kecil lainnya d iwaktu senggang.

Walaupun kadang sepanjang hari perut kami berbunyi karena lapar, akan tetapi hati dan batin kami dipuaskan oleh ajaran Buddha Dharma.

Guru besar Khenpo Jigme Phuntsok di musim semi akan mengajarkan Dharma pada lebih kurang 1.000-5.000 muridnya setiap hari. Saat itu kami semua berkumpul di padang hijau tidak pernah ada satu suara pun yang keluar dari mulut kami, suasana sangat-sangat tenang, semua sangat menyimak dan mendengar dengan kekaguman dan terpesona akan ajaran- ajaran Dharma yang beliau sampaikan.

Saya masih ingat ketika beliau mengajarkan Dharma dalam buku Sutta selain suara burung yang berkicau akan terdengar suara ketika kami membalikkan halaman kertas buku Sutta, suara dari 5.000 halaman Sutta yang serentak dibalik oleh para murid-murid menciptakan suara angin bercampur suara kertas yang luar biasa indah.

Mungkin karena selama 16 tahun kami belajar Buddha Dharma, kami menganggap Buddha Dharma itu lebih Agung dan lebih tinggi nilainya dibanding nyawa kami sendiri.

Jika kalian ingin mendapatkan harta karun kebahagiaan tertinggi dalam kehidupan ini, maka kita harus serius dan disiplin ketika mendengarkan dan mempraktekkan Buddha Dhrama, jika kalian sudah mendapatkan inti dari ajaran Dharma, saya percaya batin dan hati kalian akan tertawa bahagia sepanjang hidup kalian.

Kalian adalah penghibur diri kalian sendiri, kalian tidak membutuhkan penghibur dari luar diri kalian lagi.

Jika di tanya tentang bagaimana cara saya belajar Buddha Dharma selama di sertar larung, saya akan menceritakan sedikit.

Kami memulai aktifitas sejak jam 7 pagi, dengan melafal, menghafal tiap-tiap kata yang ada di Sutta dengan luar kepala dan juga mengartikan, satu halaman bisa kami baca berulang ulang, satu buku bisa kita baca sampai berkali kali, merenungkan dan mempertimbangkan setiap kata dari Sutta Sang Buddha menurut cara pandang kami, cara pandang guru masing-masing bidang kami, menurut cara pandang para bikkhu lainnya, menurut sudut pandang guru besar Khenpo Jigme Phuntsok, semua itu harus kami hafal luar kepala.

Untuk belajar pemahaman Bodhicitta saja kita harus belajar selama 8 tahun.(Rinpoche hanya membutuhkan 3.5 Tahun) Karena setiap minggu akan ada ujian di masing-masing bidang Sutta yang kami pelajari. Jika tidak lulus ini merupakan hal yang memalukan.

Kami juga harus ujian debat di depan semua guru dan jika argumen dan cara pandang kami terhadap Dharma terdapat kesalahan maka di depan ratusan sesama bhikkhu kami akan ditertawakan. Pada saat itu banyak sekali yang suka menonton saya berdebat, karena saya akan membuat lawan debat saya sangat terpojok dan membuat mukanya menjadi sangat merah.

Ya..pada saat itu saya sangat egois, bagi seorang anak kecil yang berumur belasan tahun saat itu ego saya sangat besar. Waktu saya berumur 13 tahun,saya sudah bisa membabarkan Dharma, Saya sangat ingin menjadi pusat perhatian pada saat itu dan mendapat kasih sayang yang lebih besar, maka belajar dan mendapat nilai yang bagus dari Dharma adalah udara bagi hidup saya saat itu.

Jika diingat selama 16 tahun saya tinggal di serta larung, selama 8 tahun hampir saya tidak pernah benar-benar tidur di atas kasur saat itu, waktu belajar dan tertidur juga dalam keadaan terduduk. ketika pelajaran di dalam kelas selesai kami masing- masing harus pulang ke rumah kecil kami untuk lebih serius lagi belajar.

Rumah kecil saya di Serta Larung merupakan ruangan sebesar sekitar 3 meter x 4 meter. Disana saya melakukan aktifitas makan, tidur dan belajar.

Malam hari jika kita mempunyai lilin untuk belajar itu merupakan barang yang sangat mewah, saat malam kami belajar menggunakan kayu panjang di bakar seperti korek api sekarang, asapnya akan membuat muka kami hitam, dan karena kebiasaan membaca dengan api untuk waktu yang lama maka mata saya saat ini sering kali sakit jika melihat cahaya.

Karena di Tibet musim dingin lebih panjang dari musim panas kami jarang sekali mandi, apa lagi ganti baju karena air sangat langka, yang ada hanya belajar Dhrama terus menerus, untuk mengambil air minum saja kami harus jalan berkilo meter untuk membawa air sendiri, jadi tidak heran kalau kami selama 3 bulan tidak mandi dan semua badan kami terkadang ada kutu.

Pada tahun 2003 terjadi gejolak politik dan tekanan dari pemerintah untuk mempersempit ajaran Buddhist di sekolah kami, karena adanya ketidakpercayaan dan curiga pemerintah terhadap Institut Sertar Larung karena perkembangan universitas tersebut dalam sepuluh tahun terakhir sangat luar biasa, dari murid yang berjumlah 3.000 orang berkembang mendekati 20.000 Bhikkhu & Bhikkhuni (sekarang sudah 40.000), dari sebuah vihara kecil menjadi sebuah sekolah Buddhist terbesar di dunia yang terdiri dari para Bhikkhu dan Bhikkhuni.

Saat itu tahun 2003 atas pesan guru besar,saya meninggalkan Serta Larung untuk pergi berjiarah menuju India, ke situs-situs Buddha, dan mulai menyebarkan Buddha Dharma.

Banyak sekali kejadian yang sangat luar biasa sewaktu pertama kali saya meninggalkan sekolah saya, dari Tibet menuju India, China, Singapore, Malaysia dan Indonesia.

Waktu itu listrik baru saja memasuki tempat tinggal kami. Pertama kali ketika lampu menyala kami para Bikkhu memandangi lampu yang berpijar dengan keajaiban, heran dan penuh kekaguman.

Saya sendiri membutuhkan waktu satu minggu untuk memandangi lampu yang menyala setiap malam.
Di sekolah tempat saya tinggal, di sebuah rumah kecil yang kami bangun luasnya sekitar 3x 6 meter. Disana saya belajar, tidur dan melakukan kegiatan-kegiatan pelatihan dasar. Waktu belajar adalah jam tujuh pagi sampai jam enam sore.

Pulang dari kelas kami harus melanjutkan menghafal sampai malam, kemudian tidur dan bangun untuk masuk kelas besok pagi. Kegiatan tersebut saya ulangi setiap hari selama tujuh belas tahun selama tinggal di Serta larung.

Di usia delapan tahun menuju Serta Larung ada seorang Rinpoche guru tua yang menjaga dan menemani saya, beliau yang menyiapkan makanan dan membangunkan saya setiap pagi, membantu saya membuat pelajaran tugas rumah, membantu saya menyelesaikan hafalan-hafalan Tipitaka.

Pada usia sembilan tahun saya pernah melihat turis yang datang ke sekolah kami dengan memakai sandal, waktu itu kami kagum setengah mati. Seumur-umur itu kami satu sekolah di Serta Larung baru pertama sekali melihat sandal jepit dari bahan karet. Dari kecil kami hanya pernah melihat sepatu kain yang di buat orang tua kami.

Saat itulah saya pertama kali mendengar kata negara Singapore, karena turis tersebut datang dari Singapore. Waktu itu dalam hati saya seketika mempunyai pemikiran jika suatu hari saya mempunyai kesempatan maka negara yang akan saya kunjungi pertama adalah Singapore.

Rumah kecil tempat tinggal saya terbuat dari kayu yang dibantu angkat oleh para Lama (Bhikku) dan keluarga saya. Rumah tersebut di bangun dengan bantuan banyak orang. Papan-papan yang disusun untuk membuat rumah tidak akan rapi dan bagus.

Karena semua Bikkhu memang tidak mempunyai keahlian membangun rumah. Jika musim dingin angin yang masuk ke dalam rumah akan membuat ruangan sangat dingin sampai menusuk tulang menjadi ngilu.

Kami para Bikkhu akan menambal lubang-lubang di antara kayu tersebut dengan kertas-kertas bekas juga sejenis karet ban bekas, jika beruntung kami bisa mendapatkan karton dan karet ban yang lebih tebal, akan tetapi jika cuaca makin dingin kertas dan karet ban yang telah mengering tersebut akan saya lepas dan cabut untuk membuat api.

Ketika lampu belum memasuki sekolah, jika malam hari kami menggunakan kayu kecil untuk penerangan, jika satu tahun kami mempunyai 10 hari penerangan dari lilin maka kami sudah termasuk golongan orang kaya.

Saya waktu itu tidak pernah mempunyai penerangan dari lilin. Saya hanya menggunakan kayu kecil untuk penerangan membaca, jika musim panas dan cuaca memungkinkan kami semua akan belajar dengan menggunakan cahaya bulan di luar rumah.

Waktu itu semua orang sangat sibuk. Sibuk mengikuti kelas Dharma yang letaknya berjauhan, dan banyak sekali kelas dan guru yang mengajari satu mata pelajaran.

Setiap Dharma yang kami pelajari harus kami dengarkan dari paling sedikit lima guru yang mengajarkan mata pelajaran yang sama. Karena setiap penjelasan, sudut pandang, pemikiran para guru akan Dharma akan ada perbedaan.

Dan kami para Bhikkhu junior harus menerangkan sudut pandang dan penjelasan yang sesuai dengan pencerapan kami di depan para guru tersebut setiap hari.

Kami para Bhikkhu di Serta Larung setiap hari harus ujian. Pelajaran yang di berikan hari ini harus kami hafal luar kepala besoknya lagi.

Buddha Dharma bagi saya adalah sesuatu yang luar biasa. Dalam hidup, Buddha Dharma dan guru saya Jingme Phuntsok lebih berharga dari nyawa saya sendiri. Semua waktu yang saya habiskan adalah untuk mereka.

Saya selalu bersyukur orang tua saya yang memberikan nyawa dan kehidupan untuk saya dan guru sayalah yang memberikan kebahagiaan dan kebijaksanaan. Tanpa mereka saya tidak tahu saat ini saya akan berada dimana.

Jika di tanya mana yang lebih penting, dua-duanya paling penting karena demi mereka saya rela berkorban nyawa beribu-ribu kali.

Di usia tiga belas tahun saya sudah menulis tiga judul buku, setelah lewat tiga tahun saya membaca kembali buku yang saya tulis, semua saya bakar habis, karena waktu itu saya melihat semua tulisan saya sangat arogan dan membuat saya malu sekali.

Sampai hari ini saya belum pernah menulis buku lagi (cerita tersebut didengar penulis 2 tahun lalu)
Jika musim panas tiba dalam satu tahun, kami para Bhikkhu akan diberikan waktu liburan selama dua minggu. Waktu itu adalah waktu paling berharga bagi kami.

Kami semua dapat bermain, menari, bernyanyi bersama guru kami Jigme Phuntsok. Kami menunggang kuda, berenang di sungai kecil. Berlomba semua permainan dari lomba lari, lompat tinggi, tarik tambang dan banyak sekali perlombaan.

Kami mendirikan tenda di padang rumput yang jauhnya satu atau dua kilometer dari Serta Larung dan tinggal bersama-sama, dalam satu tenda akan berisi puluhan Bhikkhu, kami masak bersama dan makan bersama dalam waktu bersamaan.

Banyak sekali penduduk yang tinggal di Serta Larung akan ikut melihat kami, mereka juga ikut berdana makanan dan bergembira melihat kami bermain.

Jika ingat masa-masa tersebut itu adalah masa paling bahagia dalam kehidupan saya, dan juga bagi semua Bhikkhu yang tinggal di Serta Larung. Saat hidup di Serta Larung kami semua hidup dengan riang gembira, penuh kebahagiaan, walaupun banyak hafalan Tipitaka yang harus kami pelajari.

Dalam pikiran kami yang ada hanyalah bahwa ajaran Dharma begitu luar biasa dan sempurna. Selama hidup dan sisa hidup ini jika saya bisa mengerti dua puluh persen dari isi Tipitaka maka hidup saya sudah terlalu sempurna dan sangat berhasil saya jalani.

Di sekolah kami hampir semua mengkonsumsi makanan dari tepung yang bernama champa, yang terbuat dari sejenis beras yang digiling menjadi tepung, dengan menggunakan air kita mengaduk tepung menjadi adonan supaya tepung menjadi kental dan makanan.

Akan tetapi karena padatnya jadwal belajar dan pekerjaan rumah yang harus saya lakukan, sering tepung tersebut tidak sempat saya buat adonan, karena untuk membuat adonan kita juga membutuhkan air panas. Tepung tersebut saya tuang langsung ke mulut dan minum dengan air dingin agar dapat saya telan.

Perjalanan dari rumah orang tua saya menuju Serta larung membutuhkan tiga hari jika menggunakan motor traktor petani, jika menggunakan kuda membutuhkan hampir satu minggu perjalanan.

Dalam satu tahun orang tua kadang abang saya akan mengantarkan tepung untuk champa sebanyak dua kali. Sekali pengantaran adalah untuk makanan saya selama enam bulan.

Dari jalan kecil rumah saya mereka harus memanggul champa yang kadang beratnya 20kg menuju jalan besar, ini membutuhkan waktu hampir 5 jam, dan mereka harus menunggu bus yang menuju Serta larung. Bus tersebut hanya lewat seminggu sekali, kadang abang sudah menunggu bus sampai sore akan tetapi bus juga tidak kunjung datang, berarti besok pagi-pagi harus menunggu bus lagi untuk melihat apakah hari itu bus akan lewat.

Biasanya tepung campa akan abang saya titip di rumah tetangga yang dekat dengan jalan, dan abang saya harus jalan kaki pulang lagi kerumah, jika ingat itu semua saya selalu bersedih hati, dulu abang saya waktu mengangkat champa usia nya baru belasan tahun, dan kehidupan saat itu susah, berat champa yang diangkat abang saya sering lebih berat dari berat badannya sendiri.

Sampai ke lembah Serta larung mereka masih harus memanggul tepung dengan jalan kaki selama 1 hari penuh, saat itu jalan menuju sekolah sangat terjal, hanya dapat dilalui manusia, kita juga sangat sayang sekali pada kuda peliharaan takut nya kuda tersebut jatuh ke jurang. Karena kuda merupakan hewan yang sangat berharga bagi kami.

Selama setahun saya akan berjumpa dengan keluarga sebanyak dua kali, yaitu saat mereka mengantarkan makanan, dan pada akhir tahun ketika saya pulang ke rumah, akan tetapi seingat saya pernah tiga tahun saya tidak pernah pulang kerumah, karena tidak di jemput. Waktu itu bapak saya sibuk bekerja di luar dan ibu saya sibuk menjaga ternak juga harus menanam dan memanen champa sendiri di bantu abang saya.

Kadang ayah atau ibu, kadang hanya abang saya yang datang, mereka akan tinggal selama dua malam untuk menemani saya.

Jika pulang di rumah selama dua minggu, saya hanya tidur di rumah orang tua dengan keluarga mungkin hanya tiga malam, sisanya saya harus tinggal di vihara saya yang pertama karena harus mengurus vihara dan para Bhikku yang merupakan tanggung jawab saya sejak saya dipilih sebagai ketua vihara tersebut.

Sesudah sepuluh hari di vihara saya harus segera pulang lagi ke Serta Larung dengan motor bajak petani melalui jalan gunung selama tiga hari.

Di keluarga kami empat bersaudara cowok semua, abang pertama juga memasuki sangha pada usia 16 tahun, abang kedua merupakan seorang pengusaha, abang ketiga seorang karyawan pada perusahaan pengangkutan dan perkayuan.

Ketika abang ke tiga saya menikah saya tidak pernah tahu karena jarak yang jauh antara sekolah dan rumah. Setelah anak abang ketiga saya sudah berumur tiga tahun saat itu saya baru mempunyai kesempatan melihat keponakan saya.

Ayah saya juga merupakan seorang pedagang, dan ibu merupakan seorang ibu rumah tangga.
Ketika di rumah ada seorang menantu cewek, ibu saya menyerahkan semua tanggung jawab dan kewajiban untuk menjaga rumah pada menantunya, ibu saya konsentrasi melatih diri dengan membaca paritta setiap hari mulai dari bangun pagi sampai menjelang tidur, tradisi tersebut merupakan kebiasaan adat yang sudah berlangsung sangat lama sekali di Tibet.

Para orang tua akan mulai meninggalkan banyak urusan duniawi dan serius konsentrasi dengan pelatihan diri untuk belajar melepas samsara. Untuk manusia yang paling berharga adalah cara menjalani kehidupan. Dan dalam agama Buddha kebenaran yang sejati adalah kematian.

Kita para murid sang Buddha harus selalu sadar untuk menyiapkan diri untuk kematian. Kadang orang sering bertanya berapa usia seseorang? Ada yang mengatakan 70 tahun, ada yang mengatakan 80 tahun malah ada yang mengatakan 100 tahun.

Akan tetapi usia seseorang adalah ketika masih ada nafas yang masuk dan ada nafas yang masih keluar, bukan tergantung dari tahun. Gunakan waktu setiap hari untuk selalu tekun belajar Dharma agar pencerahan Anda semua terjadi pada kehidupan ini.
(netty/van)

 

Close Ads X
Close Ads X