Makna Strategis Indonesia-RRT di Sekitar Natuna

Beijing | Jurnal Asia
Dinamika konflik Laut Tiong­­kok Se­­­­­latan yang melibatkan bebe­­ra­­pa ne­gara seperti Tiongkok, Filipina, Tai­­­wan, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam telah mem­bawa implikasi terhadap stabilitas kawasan.

Bahkan perkembangan konflik Laut Tiongkok Selatan kini se­­makin meluas dan berimplikasi kepada permasalahan yang di­anggap lebih krusial menyangkut ancaman terhadap kedaulatan teritorial Indonesia.

Apalagi, Tiongkok tetap ber­pendirian tentang klaimnya ter­kait “nine-dash line”, bahkan Tiongkok telah memasukkannya ke dalam peta negara itu pada paspor warga negaranya. Nine dash line adalah sembilan titik imaginer yang menunjukkan klaim Tiongkok atas sebagian besar wilayah di Laut Tiongkok Selatan Indonesia tidak bisa mengabaikan hal tersebut hanya karena Indonesia dan Tiongkok tidak memiliki sengketa teritori di Laut Tiongkok Selatan. Potensi ancaman tetaplah ancaman, yang harus diwaspadai dan diantisipasi.

Terlebih Tiongkok tidak pernah berhenti melakukan manuver di Laut Tiongkok Selatan, termasuk pula di sekitar wilayah perairan Na­tu­na, yang diklaimnya dilakukan di wilayah kedaulatannya, sehing­ga sah menurut Beijing dan ti­dak melanggar hukum laut inter­nasional.

Tak hanya membangun pulau-pulau karang, yang ditengarai sebagai pangkalan militernya di sekitar Laut Tiongkok Selatan, Tiongkok bahkan juga telah membangun sistem pertahanan udara dan maritim di sekitar wilayah perairan tersebut secara bertahap sejak setahun silam.

Peristiwa penghadangan ka­pal patroli Indonesia oleh kapal patroli Tiongkok di Perairan Na­tuna, sepekan silam juga bu­kanlah yang kali pertama terjadi. Dan Indonesia tidak dapat meng­­­abaikan peristiwa tersebut hanya dengan sekadar meng­ang­gapnya sebagai ke­iseng­an atau kesalahpahaman petugas di lapangan.

Indonesia tidak dapat hanya berpegang pada notifikasi kepada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada 20 Maret 2010, yang menyatakan Indonesia tidak mengakui “nine dash line”.
Komitmen Indonesia untuk menegaskan kedaulatannya di Natuna, perlu terus ditegaskan dan dibuktikan nyata. Ada tiga alasan utama mengapa potensi konflik di Laut Tiongkok Selatan akan terus ada.

Pertama, wilayah laut dan gu­gusan kepulauan di Laut Tiong­kok Selatan mengandung sumber kekayaan alam yang sangat besar, meliputi kandungan minyak dan gas bumi serta ke­kayaan laut lainnya.

Kedua, wilayah perairan Laut Tiong­kok Selatan merupakan wila­yah perairan yang menjadi jalur perlintasan aktivitas pelayaran kapal-kapal internasional, ter­utama jalur perdagangan lintas laut yang menghubungkan jalur perdagangan Eropa, Amerika, dan Asia.

Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat di Asia, mem­buat negara-negara seperti Tiong­kok dan negara-negara di kawasan Laut Tiongkok Selatan, bahkan termasuk Amerika Serikat sangat berkeinginan menguasai kontrol dan pengaruh atas wilayah Laut Tiongkok Selatan yang dinilai sangat strategis dan membawa manfaat ekonomis yang sangat besar bagi suatu negara.

Bagi Tiongkok, tindakannya di Laut Tiongkok Selatan akan menegaskan persepsi umum akan intensinya sebagai kekuatan yang sedang tumbuh. Kebijakan nonperang yang diadopsi Beijing akan membuat negara-negara tetangganya merasa yakin bah­wa Beijing menginginkan perkembangan yang damai.

Tiongkok yang terlalu asertif mengubah status quo lewat parade kekuatan militernya akan memberi dampak sebaliknya. Negara-negara Asia Tenggara tidak akan menyambut baik munculnya lingkup kekuasaan di kawasan berdasarkan kebang­kitan militer dan aspirasi kepemimpinan satu negara.

Mitra Strategis Komprehensif Indonesia-Tiongkok sepakat me­­nandatangani kesepakatan Ke­­mitraan Strategis pada 25 April 2005, yang kemudian ditingkatkan men­jadi Kemitraan Strategis Komprehensif pada Oktober 2013.

Sejak itu hubungan politik, pertahanan, keamanan, ekonomi, dan sosial-budaya kedua negara terus meningkat. Makin eratnya hubungan Indonesia-Tiongkok juga ditunjukkan kedua pihak pada forum internasional, semisal dalam penetapan Declaration of Conduct of Parties in The South Tiongkok Sea (DoC) pada 2002, termasuk dalam “Guidelines for The Implementation of DoC” pada 2011.

Namun, sikap perilaku asertif Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan ter­masuk beberapa kali di perairan Natuna, terkesan tak sejalan dengan komitmennya sebagai mitra strategis komprehensif bagi Indonesia.

Bahkan protes keras Indonesia yang disampaikan resmi Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi pun bagai angin lalu bagi Beijing. Adakah makna mitra strategis komprehensif antara Indonesia dan Tiongkok, yang dilandasi saling meng­hormati dan menghargai sebagai dua bangsa yang setara ser­ta bermartabat? Terkait itu, Indonesia sebagai negara yang dianggap berpengaruh di Asia Tenggara sekaligus mitra strategis komprehensif Tiongkok, se­ha­rusnya mampu memposisikan dirinya secara lebih proposional dan cerdas.

Terlebih Tiongkok akan se­makin asertif dengan beren­cana membentuk lembaga per­adilan internasional khusus menangani sengketa maritim, menyaingi keberadaan arbitrase internasional milik PBB, termasuk mengantisipasi jika Filipina me­nang atas klaimnya di sebagian di Laut Tiongkok Selatan.

Karena itu, selain meningkatkan ke­mampuan diplomasinya, Indo­nesia juga seharusnya mam­pu merumuskan kebijakan luar negerinya secara cerdas, ter­masuk untuk menghadapi sikap asertif Tiongkok, tidak saja di Laut Tiongkok Selatan secara umum, namun juga di sekitar perairan Natuna, khususnya.

Semisal, dari sisi politik ke­percayaan strategis yang dibe­rikan Tiongkok kepada Indonesia sebagai negara yang berpengaruh di Asia Tenggara, hendaknya dapat dimanfaatkan maksimal sebagai posisi tawar Indonesia dalam pembahasan dengan Tiong­kok terkait nine-dash line.

Sebagai mitra strategis kom­prehensif Tiongkok, Indonesia memiliki kekuatan yang sama dengan Tiongkok dalam meng­hadapi situasi di Laut Tiongkok Selatan. Sebagai mitra strategis komprehensif, Indonesia hen­dak­nya mampu memainkan peran diplomasi yang lebih elegan (quite diplomacy), sebagai bangsa yang sejajar dengan Tiongkok, selain melancarkan “megaphone diplomacy” (diplomasi untuk memaksa pihak lain sejalan dengan posisi yang diinginkan.

Peningkatan Pertahanan Pe­ningkatan anggaran pertahanan merupakan salah satu langkah konkrit yang dapat ditempuh Pemerintah Indonesia dalam upaya memperkuat kekuatan militer Indonesia demi me­wu­judkan daya tangkal (deterrence) dan meningkatkan posisi tawar yang tinggi dalam percaturan politik regional maupun global dalam rangka “balancing power” (kekuatan penyeimbang), ter­masuk menyikapi situasi di Laut Tiongkok Selatan.

Membangun TNI tidak hanya ditujukan guna memperkuat sistem pertahanan negara se­mata, tetapi juga memperkuat posisi tawar dalam berdiplomasi. Hampir tidak ada satu negarapun dalam melakukan diplomasi de­ngan negara lain menegasikan kekuatan militer. Militer yang kuat akan mem­berikan posisi tawar yang tinggi dalam berdiplomasi. Itulah yang dilakukan Tiongkok. (ant) (1)

Close Ads X
Close Ads X