Smart Glukokids | Alat Deteksi Diabetes Buatan Mahasiswa USU

Untuk mendeteksi penyakit diabetes sejak dini, biasanya orang menggunakan alat pengukur glukosa dalam darah. Jika kadar glukosa tinggi, artinya seorang itu positif terkena diabetes.

Tapi, ternyata, deteksi glukosa melalui darah kurang efektif, sebab di dalam darah pasti ada gula, jadi tes lanjut diperlukan untuk mengetahui spesifikasinya.

Itulah yang menjadi salah satu alasan mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) membuat alat pendeteksi diabetes dengan membaca urin. Yosatria Juanka Sibarani dan Nurul Anisha Hakim, mahasiswa yang meneliti, menamakan alat deteksi glukosa melalui urin itu dengan Smart Glukokids.

“Organ ginjal adalah organ terakhir yang meregulasi gula, kalau ginjal tidak bisa meregulasi gula, maka gula keluar beserta dalam kencing,” jelas Nurul, saat ditemui dalam acara yang diselenggarakan Tonato Foundation, di Annex Building, Jakarta, Selasa (21/3).

Nurul menjelaskan, bahan dasar yang mereka gunakan untuk membaca glukosa melalui urin ialah elektroda dua plat sejajar atau dielektrik. Ini merupakan suatu bahan atau material yang berfungsi sebagai material penghantar arus listrik yang terbuat dari tembaga.

Dielektrik diaplikasikan sebagai pendeteksi kadar konsentrasi gula di dalam urin. Seyogyanya, jika urin mengandung gula, maka tegangan yang dihasilkan akan rendah, sebab gula merupakan larutan non elektrolit.

“Jika dicelupkan sensor (dielektrik), maka gula tidak akan mengalirkan listrik, makanya tegangan jadi rendah,” kata Nurul.

Nah, untuk mengetahuinya, jika positif diabetes, dielektrik akan mengeluarkan bunyi. Begitu sebaliknya, jika dalam urin tidak mengandung gula, ketika dicelupkan, dielektrik tegangan yang dihasilkan akan tinggi. Sensor pun tidak berbunyi, artinya negatif diabetes.

Nurul menambahkan, untuk dielektrik karena terbuat dari tembaga, perlu dijaga agar tidak berkarat. Mereka mengakali dengan ‘mengoleskan’ Carboxymethyl Cellulosa (CMC) dari limbah tandan kosong kelapa sawit ke dielektrik.

CMC ini merupakan turunan dari selulosa yang didapat dari limbah tandan kosong sawit. Ketika limbah diekstrak, selulosa didapat, kemudian diberi pereaksi hingga menjadi CMC.

“Pengolesan CMC tidak perlu sering-sering, cukup sekali, dielektrik bisa dipakai berulang-ulang,” jelas Nurul.

Dielektrik bukan seperti alat pendeteksi kadar glukosa dalam darah, di mana menggunakan strip lalu dibuang. Dielektrik bisa digunakan seterusnya, cukup celupkan pada sampel, setelah itu dicuci, alat bisa dipakai kembali.

“Alat mendeteksi kadar glukosa dalam darah, tentunya menghasilkan limbah, jarum steril, strip dan itu memerlukan safety tinggi,” tambah Nurul.

Maka dari itu, mereka berharap penemuan ini bisa menjadi alternatif untuk pencegahan dan pendeteksian dini penyakit diabetes. Smart Glukokids juga bisa mendukung dunia kesehatan di Indonesia.

USU merupakan salah satu dari lima Universitas yang didanai Tonato Foundation. Inovasi Nurul dan Yosatria pun terpilih untuk didanai.

Pemanasan Global
Sementara itu, penelitian terbaru tim ilmuwan Belanda menunjukkan pemanasan global bertanggung jawab atas epidemik diabetes di belahan dunia. Hasil penelitian itu menemukan tiap kenaikan suhu 1 derajat celsius terjadi peningkatan 0,314 per 1000 kasus diabetes yang didiagnosis.

Dikutip dari IBTimes, Selasa (21/3), tim Leiden University Medical Centre, Belanda, dalam studinya meneliti suhu tahunan dan insiden diabetes yang terjadi antara 1996 sampai 2009 di 50 negara bagian AS, termasuk di Guam, Puerto Rico dan Kepulauan Virgin.

Dalam studinya itu, mereka menemukan suhu yang tinggi bisa berdampak pada metabolisme glukosa dan akhirnya menghasilkan pengurangan aktivitas jaringan lemak coklat.

Padahal lemah coklat dalam studi sebelumnya telah terbukti membantu menurunkan berat badan dan meningkatkan insulin yang lebih baik bagi tubuh manusia. Lemak coklat juga menambah sensitivitas menjadi lebih baik. Lemah coklat mentransfer energi dari makanan menjadi panas.

Temuan studi itu mengindikasikan tingkat insiden diabetes di AS intoleransi glukosa secara global meningkat dengan adanya suhu luar ruangan yang tinggi.

“Berdasarkan hasil studi kami, tiap kenaikan 1 derajat celsius suhu lingkungan akan menyebabkan lebih dari 100 ribu kasus diabetes baru per tahun di AS sendiri,” ujar peneliti.

Dengan hasil studi ini, ilmuwan menekankan pentingnya riset masa depan dampak suhu lingkungan terhadap metabolisme glukosa dan munculnya diabetes.

Obat Diabetes
Telah banyak riset untuk mengobati penderita diabetes, yang kini dikenal sebagai “penyakit sejuta umat.” Para ilmuwan mancanegara telah mengumumkan berbagai penemuan pengobatan yang mereka klaim efektif, mulai dari olahraga, diet dan lainnya.

Tapi, menarik untuk diketahui, ternyata ilmuwan Indonesia pun tak kalah pintar. Para Mahasiswa dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya mengembangkan cara ampuh untuk mengobati diabetes, yakni dengan metoda stem cell atau dikenal dengan sel punca.

Wakil Rektor IV Unair, Junaidi Khotib, mengungkapkan dengan stem cell penderita diabetes tidak tergantung lagi obat-obatan. Ini berhasil mereka ujicoba pada 120 pasien penderita diabetes.

“Semuanya melepas obat, keefektifannya kira-kira 70 persen,” kata Junaidi saat ditemui di Hotel Sari Pan Pasifik dalam acara Forum Inovasi Industri, (20/3).

Lebih jelas, Junaidi mengatakan, Pengobatan diabetes dengan stem cell ini, masuk ke dalam kategori alogenik. Yakni mengambil stem cell dari orang lain, kemudian stem cell itu dimasukkan ke tubuh penderita, stem cell akan bekerja memperbaiki penyakit.

“Biasanya itu kita ambil stem cell sumsum tulang belakang (orang lain),” kata Junaidi.

Awet Muda
Lalu, kategori kedua ialah stem cell dengan cara autologus. Nah, sistem ini mengambil stem cell dari sendiri, ‘diperbaiki’ di luar dan kemudian disuntikkan lagi ke tubuh. Cara ini digunakan untuk penderita kanker dan untuk mengobati penuaan agar awet muda.

Juanidi menambahkan, ternyata menurut data, sebanyak 60 persen orang Indonesia pergi ke Malaysia dan Singapura untuk pengobatan metoda stem cell. Untuk itu, dia berharap dengan penemuan para mahasiswa UNAIR bisa membuat gebrakan baru dalam teknologi media.

“Kita harapakan memberikan solusi berobat dengan harga murah,” tambah dia.

Penerapan pengobatan telah tersedia di Rumah Sakit Pendidikan UNAIR. Sementara untuk terapan kosmetika atau mengobati penuaan, UNAIR bekerjasama dengan PT Pharos.

Diketahui manfaat sel punca dianggap sebagai ‘pasukan dokter’ mikroskopis yang dipercaya bisa menyembuhkan segala penyakit. sel punca merupakan sel pusat yang bisa membelah menjadi sel apa pun. Ketika sel punca membelah banyak, ia bisa berkembang pada sel darah, sel rambut, atau sel lainnya.

Dengan begitu, sel punca bisa menjadi sel yang beregenerasi dan dipercaya menjadi obat bagi tubuh yang mengalami kerusakan. Prosesnya, setelah sel punca dikembangkan dari material yang mengandung stem cell, kemudian ia disuntikkan pada tubuh yang membutuhkan pengobatan, sehingga lambat laun ia akan menggantikan sel yang rusak karena bertarung dengan penyakit di dalam tubuh.

(vnc)

Close Ads X
Close Ads X