Peneliti LIPI: Gempa Bumi di Timur Indonesia Lebih Besar

Puing – puing bangunan yang roboh akibat gempa dan tsunami di pesisir pantai Loli di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Rabu (3/10). Gempa yang terjadi Jumat (28/9) berkekuatan 5,9 skala richter dan gempa susulan sebesar 7,7 skala richter dengan tsunami mengguncang Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah. ANTARA FOTO/Akbar Tado/ama/18.

Peneliti gempa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mudrik Rahmawan Daryono mengatakan kekuatan gempa bumi di Indonesia bagian timur lebih kuat dibandingkan bagian barat.

Oleh karena itu, gempa bumi bermagnitudo 7,4 skala Richter akibat zona sesar Palu-Koro yang mengguncang Sulawesi Tengah mengingatkan akan besarnya gempa yang terjadi di Indonesia bagian timur.

Setidaknya ada empat sesar yang mengelilingi Sulawesi, yaitu Sesar Palu-Koro, Sesar Saddang, Sesar Gorontalo, Sesar Matano dan Sesar Palu Koro. Sesar Palu-Koro membentang dari sebelah barat dan timur Sulawesi Selatan.

“Kekuatan gempa bumi di Indonesia bagian timur lebih besar daripada bagian barat. Sesar Palu-Koro adalah yang paling aktif. Intinya kita harus waspada gempa di Sulawesi Tengah,” ujar Mudrik di kantor LIPI, Jakarta Selatan, Selasa (2/10).

Kendati demikian Mudrik mengakui dampak gempa akan lebih parah di daerah Indonesia bagian barat. Pasalnya pembangunan di Indonesia bagian barat lebih maju daripada bagian timur. Banyak infrastruktur yang dibangun di atas jalur sesar aktif.

“Mengenai risikonya lebih besar di Indonesia bagian barat. Karena pembangunan di Indonesia timur tidak sepesat di Indonesia bagian barat,” kata Mudrik

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Eko Yulianto memberikan gambaran besarnya gempa bumi di Sulawesi dibandingkan dengan Sumatera. Ia mencontohkan pergerakan lempeng di kawasan Sumatera dengan yang ada di Sulawesi.

“Kalau di Sumatera pergerakannya 15 mm per tahun, di Palu Koro pergerakannya 40 mm per tahun, bisa dikatakan kekuatannya hampir tiga kali lipat,”kata Eko.

Mudrik mengatakan rawannya potensi gempa di daerah Sulawesi Selatan ini harus dijadikan bahan pertimbangan pembangunan infrastruktur di Indonesia.

Misalnya tidak membangun infrastruktur di atas jalur sesar aktif. Mundri mengatakan masyarakat atau pemerintah harus menjauhi daerah sesar aktif untuk membangun infrastruktur.

“Kita cukup menjauhi dari sesar aktif itu sekitar 20 meter. Jadi sangat kecil sekali 20 meter, 20 meter adalah retakan permukaan gempa itu,” ucapnya.

Jarak 20 meter tersebut dijamin Mudrik cukup aman untuk pembangunan. Akan tetapi, apabila pemerintah atau masyarakat masih membangun di atas sesar aktif maka akan sangat berbahaya ketika diguncang gempa.

“Jadi sepanjang jalur ini, bangunan apapun yang memotong, dia akan hancur. Jadi di jalur itu tidak boleh dibangun bangunan apapun. Bangunan apapun yang ada di retakan gempa bumi akan hancur,” jelasnya.

Tanah di atas jalur sesar aktif ini nyatanya masih bisa difungsikan, tetapi bukan untuk tanah bangunan. Mudrik mengatakan tanah ini bisa digunakan untuk bercocok tanam.

“20 meter kecil untuk membangun sebuah kota. Kita bikin jalan atau kita bikin jalur jogging track atau jalur sepeda itu kan sesuatu yang bisa bermanfaat. Dan itu tidak boleh dibangun dalam arti dibuat bangunan-bangunan yang vital. Tapi untuk pertanian dan sebagainya itu tidak ada masalah,” tuturnya. (cnn/hut)

Close Ads X
Close Ads X