LIPI: Patahan Bawah Laut Jadi Penyebab Tsunami Palu

Satu unit kendaraan tertimbun akibat gempa 7,4 pada skala richter (SR), di kawasan Kampung Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (2/10). Petobo merupakan kawasan yang mengalami kerusakan paling parah akibat gempa. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/kye/18

Peneliti Geofisika Kelautan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nugroho Dwi Hananto mengatakan tsunami pascagempa yang terjadi di Sulawesi Tengah disebabkan sesar Palu-Koro memiliki komponen deformasi vertikal di dasar laut.

Nugroho mengatakan Teluk Palu juga memiliki geomorfologi yang unik. Pasalnya daerah teluk ini memiliki bentuk yang sangat curam. Sehingga gelombang Tsunami bisa berdampak lebih parah.
“Kawasan Teluk Palu hingga Donggala juga mempunyai bentuk mirip kanal tertutup dengan bentuk dasar laut yang curam. Akibatnya jika ada massa air laut datang, gelombangnya lebih tinggi dan kecepatannya lebih cepat,” jelas Nugroho.

Nugroho mengatakan bentuk geomorfologi akan mengamplifikasi dampak Tsunami. Fenomena ini merupakan hal yang baru dalam bencana tsunami, pasalnya sesar mendatar ternyata bisa mengakibatkan Tsunami.

Nugroho juga berasumsi kemungkinan longsor bawah laut akibat tebing bawah laut runtuh karena gempa. Sehingga runtuhnya tebing ini juga bisa mengakibatkan tsunami.

“Kondisi Geomorfologi yang curam dam tipe batu yang tidak terkonsolidasi mungkinkan terjadinya longsor tebing laut,” tutur Nugroho.

Masih rancunya penyebab tsunami ini dianggap Nugroho agar peneliti bisa memiliki alat-alat yang mampu memetakan dasar laut. Indonesia ia sebut perlu studi geosains kelautan yang selama ini sulit.

Kesulitan ini terjadi karena faktor infrastruktur, sumber daya manusia dan biaya. “Gempa dan tsunami Palu menjadi pelajaran penting perlunya data geo-sains yang lebih lengkap untuk bisa mengkaji potensi terjadinya gempa yang sumbernya berasal dari bawah laut,” pungkasnya

Oleh karena itu, Nugroho menyebut pemahaman terbaru tentang sesar yang bisa mengakibatkan Tsunami juga bisa mengubah SOP dan early warning system terhadap Tsunami.

Pemerintah saat ini memerlukan kebijakan untuk bersama-sama dengan instansi terkait demi kebutuhan pengetahuan. Sehingga bisa memerlukan regulasi terkait mitigasi bencana.

“Pemahaman kita terhadap sesar mendatar bisa akibatkan gempa bisa berubah SOP untuk ditingkatkan early warning system. Kita harus perhatikan kota kota serupa dengan palu yang curam, dan teluk dalam, kalau perlu kita pasang sensor tinggi permukaan laut,” kata Nugroho.

Tak Ada Teknologi

Eko Yulianto juga mengatakan hingga saat ini belum ada teknologi yang bisa memprediksi gempa secara akurat dan presisi. Apabila pendapat yang menyatakan mampu memprediksi kapan gempa bumi terjadi adalah hoaks.

“Jika ada pendapat yang menyatakan mampu memprediksi kapan terjadi gempa bumi beserta kekuatan magnitudonya, bisa dipastikan itu adalah hoax,” jelas Eko.

Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Geologi Kegempaan LIPI Danny Hilman meminta agar media tidak memberikan persepsi yang salah terkait potensi gempa di Jawa.

Pasalnya potensi gempa tidak hanya terjadi di Pulau Jawa saja mengingat Indonesia yang menjadi pertemuan empat lempeng tektonik dan sabuk vulkanik yang yang memanjang dari Pulau Sumatera-Jawa-Nusa Tenggara dan Sulawesi.

Oleh karena itu, masyarakat di daerah tersebut harus dipersiapkan agar selalu siaga terkait penyadaran mitigasi bencana. Kendati demikian, Danny mengakui potensi gempa memang ada.

“Tentang gempa di Jawa semua ada potensi gempa, Sulawesi, Jawa, Sumatera, hingga Papua. Kami lihat potensi diplinitir menjadi yang akan terjadi dalam aktu dekat. Kalau potensi itu benar, tapi tidak terjadi dalam waktu dekat,” ujar Danny.
(cnn/hut)

Close Ads X
Close Ads X