Hal Mengerikan akan Terjadi di Tiongkok pada 2070

Prediksi Para Ilmuwan

Dalam beberapa dekade mendatang, Tiongkok mungkin akan menghadapi permasalahan pelik yang bisa memicu kematian dalam jumlah besar. Hal tersebut bukanlah ramalan ahli nujum, melainkan prediksi para ilmuwan. Sebuah laporan ilmiah terbaru yang dimuat oleh jurnal sains Nature Communications merinci pengaruh perubahan iklim di wilayah utara Tiongkok, yang berisi kota-kota besar seperti Beijing dan Tianjin.

Disebutkan bahwa ladang terbuka yang subur di daerah itu telah menjadi salah satu tempat yang paling padat penduduknya di Bumi, dan akan mengalami fenomena gelombang panas yang ekstrem.
“Wilayah ini akan menjadi tempat paling terdampak gelombang panas yang mematikan di masa depan, terutama akibat perubahan iklim,” kata Elfatih Eltahir, seorang profesor MIT (Massachusetts Institute of Technology) yang memimpin penelitian terkait. Dikutip dari News.com.au pada Kamis (2/8), gelombang panas tersebut diprediksi akan menjadi yang terburuk di Bumi. Bahkan, menurut peneliti, di tempat yang teduh sekalipun, panas dan kelembapan lingkungan bisa membunuh manusia dalam waktu enam jam. Diperkirakan, gelombang panas itu akan menyapu hampir seluruh wilayah Tiongkok hanya dalam waktu 50 tahun ke depan, atau sekitar 2070.

Jika tidak mengungsi atau berpindah ke lokasi lain, peneliti menduga bahwa sebanyak 400 juta warga Negeri Tirai Bambu hanya mampu beraktivitas di luar ruang hanya dalam beberapa jam saja.

Peneliti juga menyebut satu fenomena yang disebut “bola basah” (wet ball), yakni jumlah kelembapan di udara menentukan apakah seseorang mendapat kesempatan untuk mendinginkan diri atau tidak.
Kemampuan tubuh manusia untuk menahan gelombang panas tergantung pada kemampuannya untuk berkeringat, dan keringat itu berfungsi mendinginkan kulit melalui penguapan.

Kelembaban yang ekstrem berarti tidak ada ruang di udara untuk keringat menguap. Akibatnya, bulir-bulir tersebut mengendap dan membuat tubuh memanas.

Bahkan orang dewasa yang sehat tidak akan dapat bertahan hidup di luar ruangan, jika kelembapan berada pada kondisi ‘bola basah’, atau suhu di atas 35 derajat Celsius selama lebih dari enam jam.

“Jika suhu bola basah melebihi suhu kulit tubuh manusia (rata-rata 35 derajat Celsius), keringat tidak lagi berfungsi sebagai mekanisme pendinginan,” kata Profesor Jeremy Pal dari Seaver College of Science and Tech.

“Tubuh akan cepat panas, dan jika hal itu terus terjadi, maka berisiko kematian,” lanjutnya memperingatkan.

Kondisi “bola basah” mulai terasa sangat menggangu ketika suhu udara mencapai 44,4 derajat Celsius, atau sedikit kurang di bawahnya, dan dalam kelembapan 55 persen.

Sebaliknya jika pada 85 persen tingkat kelembapan, kondisi “bola basah” bisa terjadi ketika geombang panas membuat suhu menyentuh angka 37,8 derajat Celsius.

“Ketika sangat terik dan lembab di luar, panas di dalam tubuh tidak dapat dikeluarkan,” kata Camilo Mora, peneliti pada University of Hawaii.

Camiro dan timnya mengembangkan sebuah model untuk menghitung hari-hari panas yang mematikan di bawah skenario perubahan iklim yang berbeda.

“Ini menciptakan kondisi yang disebut ‘hot cytotoxicity’ yang bisa merusak banyak organ,” katanya kepada kantor berita AFP. “Ini seperti terbakar sinar matahari, tetapi di dalam tubuh.” (lp6/hut)

Close Ads X
Close Ads X