25 Tahun Beroperasi, Tiga Bukti SMS Ubah Gaya Komunikasi Kita

Pada 3 Desember 25 tahun lalu, sebuah sejarah di dunia telekomunikasi baru saja terpancang. Pada 1992, untuk pertama kalinya layanan Short Message Service (SMS) digunakan.

Neil Papworth adalah pelopor pengirim SMS pertama itu. Pesan elektronik itu dikirimkannya dari komputer ke telepon genggam pada sebuah perayaan Natal di Vodafone.

Pesan pertama yang ditulis insinyur berusia 22 tahun itu sangat singkat, hanya bertuliskan “Selamat Natal”.

Seiring berjalannya waktu, banyak orang kini lebih sering bertukar pesan melalui aplikasi internet. Namun begitu, sejak maraknya penggunaan pada era 2000-an, SMS telah memberikan beberapa pengaruh terhadap gaya komunikasi dan interaksi antar-manusia.

Bentuk pengaruh seperti apa saja? Berikut beberapa pengaruh SMS yang dikutip dari VOA Indonesia pada kemarin:

1. Bahasa Gaul

Pemakaian bahasa tak resmi yang sering digunakan pada SMS telah menjadi sebuah perhatian sosial, terutama terkait pengaruhnya terhadap anak-anak.

Timbul ungkapan, pesan teks telah melahirkan sebuah generasi baru. Hal itu turut terlihat pada perubahan bentuk gaya penulisan, seperti misal kata “Your” yang disingkat menjadi “Ur”.

Nenagh Kemp, dosen psikologi senior dari University of Tasmania, memberikan perhatiannya terhadap efek pesan teks pada tata bahasa.

Dia menguji sebanyak 243 sekolah dasar, menengah, dan universitas di Inggris. Ia ingin melihat apakah pelanggaran gramatikal yang dilakukan saat menulis pesan teks turut memengaruhi kemampuan mereka untuk menggunakan tata bahasa yang benar dalam keadaan lain.

Penelitian yang dilakukan pada 2014 itu menemukan sedikit bukti, bahwa penyimpangan penulisan dalam pesan singkat memengaruhi penurunan gramatikal.

Kemp turut mengajak para ahli di bidang tata bahasa dan ejaan untuk menafsirkan cara baru menulis tersebut, mulai dari kata-kata yang dipersingkat hingga bahasa emoji.

“Saya pikir hal itu timbul dari kecemasan tentang kemajuan teknologi. Tapi jelas, ini memang sebuah cara penulisan yang berbeda. Penulisan SMS adalah cara orang untuk beradaptasi,” tuturnya.

2. Emoji

Beberapa orang dewasa mungkin cemas dengan kata-kata yang digunakan oleh anak-anak sekarang dalam bertukar pesan teks. Hal tersebut seakan digunakan untuk menyembunyikan makna yang sulit untuk mereka tafsirkan.

Makna dari suatu kata memang sering menimbulkan pertanyaan tersendiri akan penggunaannya dalam pesan teks, seperti kata “so” yang acap kali dituliskan “soooo”. Munculnya emoji bahkan membuatnya menjadi lebih rumit.

Situasi ini timbul karena komunikasi via SMS membuat kita tidak bisa membaca bahasa tubuh dan ekspresi sang lawan bicara. Tidak seperti berkomunikasi via telepon, yang masih memungkinkan kita untuk membaca nada dan jeda bicara seseorang.

Terkait situasi ini, muncullah sebuah istilah yang disebut dengan textism. Textism adalah wujud virtual emosi seseorang (biasa disebut emoji), yang sering ditampilkan menyerupai bentuk emosi wajah pada sebuah pesan teks.

Celia Klin, profesor psikologi di Binghamton University, New York, turut mengomentari fenomena ini. “Textism digunakan dalam pesan teks untuk memungkinkan seseorang menangkap beberapa aspek yang hilang saat berkomunikasi via sms, seperti ekspresi dan emosi,” tuturnya.

Dia menambahkan, penggunaan sebuah tanda baca yang paling umum sekalipun dapat mencakup sebuah informasi sosial, tergantung situasinya.

“Tanpa menempatkan tanda titik, dan terdiri dari satu ata dua kata, tampaknya itu masih biasa atau netral saja. Tapi dengan menambahkan sebuah tanda titik pada satu/dua kata, sepertinya itu hendak memberi kesan sarkas, atau mengekspresikan sesuatu yang negatif.”

“Kami juga melakukan studi, untuk melihat pemakaian kata ‘OK’ versus ‘K’. Orang akan mengira, huruf ‘K’ itu memiliki konotasi yang lebih negatif,” katanya.

3. SMS dari Masa ke Masa

Bahasa secara perlahan selalu berubah mengikuti perkembangan waktu. Pesan teks juga ikut mengubah perkembangan bentuk komunikasi dalam kurun waktu yang sangat cepat.

Seperti yang dapat diamati saat ini, ketika bentuk ujaran yang terbilang “norak” seperti “C U Later” semakin jarang digunakan oleh mereka yang berusia di bawah 25 tahun.

Kemp turut menanggapi hal ini dengan mengatakan, “Jika saya bertanya kepada mahasiswa, apakah mereka masih menggunakan singkatan seperti itu, mereka akan tertawa dan berkata bahwa ibu mereka melakukannya, sementara mereka tidak mau.”

“Ketika banyak orang memiliki pemahaman bahwa bahasa apa pun akan terdengar sama saat kita mendengarnya, saat itulah evolusi seharusnya berhenti,” tutur Klin.

Ia menambahkan, “Kita tidak berbicara seperti kakek buyut kita, dan cucu kita nanti juga akan berbeda gaya bahasanya.”

Beberapa tradisi penggunaan bahasa sastra mungkin akan ditinggalkan dan tidak digunakan dalam era modern ini. Kemp juga percaya, tanda penyingkat atau apostrof usianya tidak akan lama lagi.

“Saya pikir itu adalah sesuatu yang mungkin dalam kurun waktu 50 tahun ke depan akan punah,” katanya.

Sementara itu, Neil Papworth menilai, SMS pertama yang terkirim tidak dapat menjadi tolok ukur penggunaan pesan teks pada hari ini. Kata yang ia tuliskan sendiri sudah cukup jelas maknanya, karena tidak berisi singkatan atau makna tersendiri seperti “Merry Xmas”. (lp6)

Close Ads X
Close Ads X