Emas Hitam Arang Tempurung Kelapa

Lusia Efriani Kiroyan dan produk Batik Girl Kompas/Sri Rejeki (EKI) 23-04-2015 untuk "daya"
Lusia Efriani Kiroyan dan produk Batik Girl
Kompas/Sri Rejeki (EKI)
23-04-2015
untuk “daya”

lus2

Optimisme Lusia Efriani (31) adalah bagian dari gambaran optimism sebagian anak muda yang tetap memandang Indonesia sebagai negara yang penuh berkah. Lautnya menghasilkan aneka ikan, pantainya yang subur menumbuhkan pohon nyiur yang menghasilkan buah kelapa. Garis pantai yang memanjang, dengan nyiur yang melambai-lambai, membuat Lusi jatuh hati pada pantai, pada buah kelapa, dan kemudian arang tempurungnya, yang berwarna hitam.

Baginya, arang tempurung kelapa membawa cerita tersendiri dalam hidupnya. Cerita tentang kesederhanaan, cerita tentang keberpihakan orang-orang yang tak berdaya di era persaingan bisnis yang kian ketat, dan keberpihakan terhadap alam yang telah memberikan anugerah yang besar kepada Indonesia.

Kehidupan alumnus Sastra Inggris Universitas Airlangga yang tertambat tidak sengaja di Kepulauan Riau, yang kaya nyiur dan ikan ini menguatkan keyakinannya, bahwa Indonesia tidak layak menjadi negara miskin, terlebih menjadi negara gagal yang sering kita dengar akhir-akhir ini.

“Bukankah semua potensi dan kekayaan alam yang ada ini adalah sebuah anugerah, mengapa kita tidak mengolah semua yang telah disediakan oleh Tuhan dengan penuh berkah ini untuk kesejahteraan masyarakat,”ujar Lusia.

Belajar Hidup
Arang tempurung kelapa, bagi Lusia adalah emas. Emas hitam. Berawal dari emas hitam inilah kehidupannya juga mengalir, hingga sampai di Batam, Kepulauan Riau. Bermula dari kehidupan masa remaja yang penuh perjuangan, anak keempat pasangan Maria Susiati dan J.B Max Kiroyan ini sejak semester pertama kuliah sudah harus bekerja paruh waktu sebagai guru sempoa dan guru bahasa inggris disela-sela kesibukan kuliahnya. Semuanya ia lakukan untuk membantu keuangan keluarganya.

Meski bukan dari kalangan keluarga berada, tetapi ada yang selalu Lusia ingat saat ia masih kecil dan menjadi kenangan yang tak pernah ia lupakan saat hidup di tengah-tengah kota Surabaya. Sang ibu, Maria Susiati, gemar membantu gelandangan di jalan untuk dibawa ke rumahnya yang sempit. Gelandangan itu dimandikan, kemudian diberi makan, hingga beberapa hari lamanya . Semula ia memprotes apa yang dilakukan ibunya, mengapa banyak gelandangan di rumahnya. Bukankah pemandangannya menjijikkan? Namun setelah ia dewasa, Lusi, demikian ia akrab dipanggil, mulai memahami apa yang dilakukan ibunya adalah sebuah kepedulian, sebuah kebaikan untuk sesama.

Lulus kuliah, Lusi menikah. Suaminya, saat itu mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan elektronik di Batam. Berawal dari sinilah hidupnya bergerak dari Surabaya ke Batam. Sebagai keluarga muda yang perlu dukungan finansial, Lusi bekerja di rumah sakit ternama di Batam untuk menambah keuangan keluarga. Namun tak seberapa lama ia harus mengundurkan diri karena hamil.

Setelah melahirkan Nailah Parahita Putri Prayogo, dan Muhammad Abstrax Danendra Putra Prayogo, ibu dua anak ini hanya menghabiskan waktunya dengan membuka usaha kecil-kecilan, mulai dari membuka wartel, menjadi distributor pulsa, membuka usaha travel dan biro perjalanan, membuka usaha percetakan, dan berbagai usaha lainnya, namun semua usaha yang dirintisnya itu berakhir dengan kegagalan.“Saat bangkrut itu saya bingung. Mau ngapain,” cetusnya.

Ia teringat melihat kesibukan ibunya yang banyak mengurus gelandangan. Ia berfikir, mungkinkah terjun di dunia sosial untuk mengisi waktunya? Kebetulan saat itu Bank Indonesia di Batam membutuhkan beberapa orang untuk dididik sebagai Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB) atau biasa disebut Pembina UKM. Ia mendaftar dan ikut seleksi, Alhamdulilah lolos. Proses berikutnya ia memperoleh pendidikan untuk menjadi seorang KKMB dibawah naungan BI dengan tugas membantu membina usaha kecil dan menengah di Batam yang belum bankable menjadi bankable.
Panggilan Hati

Di sinilah ia menyadari bahwa tugasnya sebagai pembina UKM sepertinya cocok dengan panggilan hatinya. Tahun pertama menjalani tugas sabagai pembina UKM adalah awal yang cukup berat, karena sebagai seorang pembina UKM ia benar-benar bekerja sebagai pekerja sosial murni, tidak ada gaji atau fee.

Untuk mendukung program-program pengembangan UKM yang ia bina, Lusia saat itu banyak bergaul dengan para pebisnis dari HIPMI dan KADIN Kepulauan Kepri. Tujuannya agar pengalaman-pengalaman usaha para pebisnis dapat ditransformasikan kepada para UKM binaannya, termasuk kepada dirinya sendiri.

Ia menyadari bahwa sabagai pembina UKM ia sendiri harus berani membangun usaha lagi, dan bangkit dari keterpurukan seperti yang pernah ia rasakan selama ini. Menurut Lusi, bagaimana ia bisa memposisikan diri sebagai Pembina UKM dan kata-katanya diikuti jika ia sendiri tidak memiliki usaha dan membangun usahanya dengan baik.

Ketika tahun 2008 banyak perusahaan besar di Batam terkena krisis ekonomi, imbasnya sampai juga ke kelangsungan pekerjaan suaminya. Saat itulah ia iangin membantu keuangan keluarga kepada kelangsungan pekerjaan suaminya. Untuk itu ia memutuskan kembali bekerja dan berharap keuangan keluarga dapat pulih dan lebih baik. Tidak disangka-sangka, Avava Group, salah satu group perusahaan besar di Batam yang dikelola anak-anak muda memintanya menjadi Public Relation Manager (PRM) di perusahaan tersebut. Avava Grup adalah perusahaan yang mempunyai Plaza Avava, Pasar Avava Fresh Market dan Pasar Tanjung Pantun. Selain itu juga ada mengelola pabrik arang tempurung kelapa untuk tujuan ekspor di Batam.

Sebelum bekerja di Avava Group Lusi memohon kepada pemilik perusahaan agar tetap diberikan kesempatan untuk menjalankan tugas sebagai Pembina UKM di Batam, selain tugas pokoknya sebagai PRM. Karena posisinya sebagai PRM yang banyak mendampingi pemilik perusahaan di berbagai event dan pertemuan, Lusi banyak belajar bagaimana menjalankan bisnis besar, bernetworking dengan sesama pebisnis, dan mencari peluang-peluang bisnis baru.

“Saya banyak belajar dari CEO Avava, Pak Tarman dan Wakilnya Pak Tonny. Mereka benar-benar memberikan banyak pelajaran dan ilmu bagaimana menjalankan bisnis tetapi tetap bisa membantu banyak orang,” ujarnya.

Ketertarikan Lusi untuk mau bergabung dengan Avava Group salah satunya dilandasi adanya kenyataan bahwa semua lini bisnis yang ada di Avava Group selalu berkaitan dengan ekonomi kalangan menengah ke bawah. Namun karena alasan keluarga, karena suaminya tidak menghendaki ia bekerja, akhirnya ia harus mengundurkan diri.

“Saya sedang diuji untuk memilih karir dan keluarga, dan saya memlilih keluarga. Namun sebelum resign saya sempat berdiskusi dengan Pak Tarman dan Pak Toni, bagaimana caranya walaupun saya resign tetapi tetap mempunyai hubungan baik dengan Avava Group, maka timbullah ide, Pak Toni memberikan saya ilmu untuk memproduksi arang tempurung kelapa dan bisa menjadi supplier tetap untuk PT.General Carbon Industry (GCI) salah satu anak perusahaan Avava Group,” ujar Lusia.Ya akhirnya ia bisa resign dengan lega, dan bisa fokus membina keluarga, serta menjadi pengusaha arang tempurung kelapa tanpa harus putus hubungan dengan Avava Group.

Emas Hitam
Semula Lusi under estimate terhadap bisnis arang tempurung kelapa. Tetapi setelah melihat banyak perusahaan Korea, Jepang, bahkan China mendirikan usaha produksi arang tempurung kelapa di Batam ia mulai mengerti dan memahami bahwa bisnis arang tempurung kelapa ternyata tidak main-main. Di dalam negeri saja kebutuhan arang tempurung kelapa mencapai 1200 ton per bulan, dan hingga saat ini belum terpenuhi. Ia juga melihat bahwa arang tempurung kelapa ternyata juga di ekspor ke berbagai negara, dan menjadi komuditas bisnis yang memiliki ekonomi sangat tinggi di berbagai negara tersebut karena digunakan sebagai bahan industry, bahan farmasi, dll.

Meski prospeknya bagus, namun Lusi mengalami banyak kendala untuk memproduksi arang tempurung kelapa. Kendala pertama, menurutnya adalah bahan baku tempurung kelapa yang masih sangat terpencar-pencar di pasar-pasar tradisional, atau sentra-sentra pembuatan kopra antara satu dengan yang lain cukup jauh jaraknya.

Kendala kedua, ia pernah diminta oleh Bapedal Batam untuk menutup usaha pembuatan arang tempurung kelapa karena asapnya mencemari udara. Tetapi setelah Lusi menjelaskan bahwa usaha arang tempurung kelapa ini melibatkan banyak tenaga kerja dari kalangan orang-orang marjinal yang bekerja di usaha ini, serta melibatkan tenaga kerja tidak terdidik dan dari kalangan bawah lainnya, Bapedalpun mengurungkan niatnya untuk menutup usahanya. Hingga saat ini Lusi masih memproduksi arang tempurung kelapa untuk mensuplay arang tempurung kelapa ke PT.General Carbon Industry yang memiliki kontrak ekspor ke berbagai negara.

Permintaan 1 Juta Ton
Saat kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Tiongkok beberapa waktu lalu, Lusi termasuk dalam rombongan delegasi dagang Indonesia. Dalam acara tersebut ia memperoleh komitmen kontrak untuk mensuplay arang tempurung kelapa ke Tiongkok mencapai 1juta ton per bulan dengan kisaran harga Rp2500 hingga Rp3000/kg. Padahal kapasitas produksi arang tempurung kelapa di Kepulauan Kepri paling banter hanya mencapai 300 ton per bulan.

Ada keinginan untuk mensinergikan potensi arang tempurung kelapa yang ada di seluruh propinsi di Indonesia. Ia melihat ada beberapa propinsi yang memiliki sumber bahan baku yang cukup dan diharapkan dapat memenuhi peluang bisnis yang sangat besar ini.

Selain itu, peluang usaha pem­buatan arang tempurung kelapa ini berpotensi mengangkat kesejahteraan masyarakat pesisir yang biasanya berada di sentra-sentra penghasil kelapa, dan sebagian besar masih miskin, serta menjadi solusi bagi penanganan limbah tempurung kelapa di pasar-pasar tradisional atau di sentra-sentra produksi kopra.

“Potensi Indonesia sebagai negara penghasil kopra terbesar ketiga di dunia memungkinkan untuk menyediakan arang tempurung kelapa terbesar seperti yang diinginkan oleh China. Sehingga permintan sebesar 1 juta ton arang tempurung kelapa per bulanpun sangat wajar dilakukan. Saya pikir jika satu usaha pembuatan arang tempurung kelapa melibatkan 3-5 orang tenaga kerja maka manfaat bisnis dan penyerapan tenaga kerja akan sangat berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.

Selain arang tempurung kelapa yang memiliki nilai ekonomis tinggi, ternyata pengolahan asapnya juga menghasilkan liquid smoke. Produk ini memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi dan banyak diperlukan di berbagai negara maju sebagai pengannti formalin, pengental karet, sebagai bahan pembunuh hama dan pengganti insektisida. Permintaan liquid smoke, dari Hongkong, Jepang, dan Negara maju Asia lainnya juga sangat besar.

“Akhirnya ketemu juga solusinya. Produk Liquid Smoke ternyata banyak dibutuhkan di Amerika. Mudah-mudahan asap hasil pembakaran arang tempurung kelapa segera diperoduksi. Harganya bagus, pakai dollar lagi. Saya akan benar-benar fokus mengembangkan usaha arang tempurung kelapa. Rangnya bias diekspor ke Tiongkok, asapnya (Liquid Smoke) juga laku di pasar dunia,”cetusnya.
(wc)

Close Ads X
Close Ads X