Batik, Pariwisata dan Keindonesiaan Kita!

Pekerja menjemur kain yang telah dibatik dan dicelup dengan pewarna di kampung Batik Palbatu, Jakarta, Jumat (2/10). Badan PBB untuk kebudayaan UNESCO menetapkan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) pada 2 Oktober 2009 karena Batik dinilai sebagai identitas bangsa Indonesia. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/ama/15
Pekerja menjemur kain yang telah dibatik dan dicelup dengan pewarna di kampung Batik Palbatu, Jakarta, Jumat (2/10). Badan PBB untuk kebudayaan UNESCO menetapkan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) pada 2 Oktober 2009 karena Batik dinilai sebagai identitas bangsa Indonesia. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/ama/15

Masih ingat kasus batik yang diklaim milik Malaysia? Setelah kita renungkan kembali, mari kita berterimakasih pada negeri jiran itu. Di balik sejumlah provokasi dan tindakan yang sering meremehkan kedaulatan bangsa Indonesia, Malaysia telah berhasil membangunkan rasa keindonesiaan kita. Sebuah rasa yang sudah lama kita lupakan dalam perilaku kehidupan ber­bangsa dan bernegara. Sebuah rasa keindonesiaan yang hari-hari ini kita remehkan karena mengganggap pesona kemajuan bangsa lain di dunia lebih mem­banggakan ketimbang melihat kemampuan bangsa sendiri.

Pariwisata
Beberapa kali klaim Malaysia terhadap produk budaya In­donesia, mulai naskah kuno, lagu daerah, keris, wayang, seni tari sampai batik, menjelaskan bahwa produk budaya kita memang amat elok sehingga menarik perhatian tetangga kita. Mereka begitu bangganya mengiklankan produk-produk budaya itu untuk memikat wis­atawan datang. Hasilnya, dengan mempromosikan aneka produk budaya itu sebagai milik Malaysia memang kemudian berhasil mendongkrak kunjungan wisa­tawan mancanegara ke negeri seberang Selat Malaka itu.

Melihat fakta itu, kita ter­perangah. Sekian tahun kita gagal meyakinkan mancanegara, bahwa Indonesia negeri cantik dengan beragam budayanya. Bertahun kita menunggu, angka kenaikan kunjungan wisatawan tidak signifikan.

Apresiasi Rendah
Terlepas dari polemik ke­lalaian dan apresiasi kita yang rendah terhadap aset wisata dan budaya, mengapa Malaysia tiba-tiba berhasil mengeruk devisa dari kunjungan wisatawan dengan cara menjual produk budaya kita?

Mestinya, waktu itu kita tidak perlu marah. Biarkan Malaysia meyakinkan dunia dengan pro­mosi wisatanya menggunakan kecantikan budaya kita. Se­hingga dengan demikian kita menggunakan peristiwa itu untuk meya­kinkan diri sendiri ”ternyata kita memiliki kekayaan budaya yang indah dan dibanggakan dunia”.

Meyakinkan diri sendiri bukan urusan sederhana. Mungkin kita sepakat budaya adalah identitas bangsa. Kita juga sepakat, produk budaya adalah kekayaan bangsa yang pantas dilestarikan dan diberdayakan. Namun seberapa yakin institusi pemerintah atau swasta yang dekat dengan urusan pembinaan kebudayaan, men­dukung setiap gagasan meng­gelar even pang­gung kebudayaan kita. Seberapa minat para pen­yelenggara ke­giatan hiburan mendukung dan menampilkan kebudayaan kita?

Selain aspek pembinaan, lunturnya minat dan kecintaan generasi muda terhadap budaya nasional dan gampang jatuh cinta pada budaya luar, sisi lain betapa sulitnya meyakinkan diri sendiri akan keindahan budaya kita. Ingat kasus I La Galigo, epik terpanjang di dunia yang berasal dari Bugis, Sulawesi Selatan.

Sekian lama kebudayaan daerah ini tidak menarik per­hatian seniman, sponsor mau­pun pemerintah sendiri. Epik yang memberikan gambaran pada sejarahwan mengenai ke­budayaan Bugis sebelum Abad 14 ini sulit ditemukan di negeri sendiri, malah dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan Eropa, terutama di Perpustakaan Koninkeilijk Instituut Taal Land en Vokenskundig Leiden di Belanda. Lalu, ketika I La Galigo dipentaskan di Singapura oleh seniman Amerika dan ditonton oleh eksekutif, artis dan menteri dari berbagai belahan dunia, kita terperangah dan bilang: itu kebudayaan kita!

Keindonesiaan Kita
Berterimakasihlah pada Mala­ysia, dengan aksinya ”men­curi” kebudayaan Indonesia, kita menjadi sadar betapa ber­harganya kebudayaan sebagai aset dan identitas bangsa. Se­tidaknya dengan kesadaran itu telah menumbuhkan kembali semangat nasionalisme yang kian memudar akhir-akhir ini.

Sejarah mencatat, kita per­nah memiliki semangat na­sionalisme yang subur di era pergerakan nasional. Semangat itu tumbuh di sanubari bangsa dan menjadi kekuatan moral yang dahsyat dalam menumbangkan imperialisme di tanah air hingga tercapai negara yang merdeka dan berdaulat. Dan budaya adalah identitas bangsa yang harus dijaga dalam semangat nasionalisme untuk menegaskan keindonesiaan kita.
(nasib ts)

Close Ads X
Close Ads X